Yayang dan Hana mengekoriku hingga ke halaman belakang. Sebuah pemandangan terasa menusuk hatiku, Fian tampak lekat di pangkuan David meski aku yakin dia berusaha menahan rasa sakit di tangannya demi kenyamanan Fian. Mereka tampak asyik dengan buku. Fian menunjuk gambar-gambar, lalu David menjelaskannya dengan bahasa Inggris. Mereka tampak akur.
"Manisnyaaa, Fian serasa punya Daddy, ohhh Sugar Daddy..." celetuk Hana konyol disusul tawa lepasnya. Yayang kembali menepuk kepalanya dengan gulungan kertas.
David dan Fian langsung melirik ke arah kami. "Mamah, Daddy bacain buku Fian!" serunya membuat hatiku mencelos. Hana dan Yayang tampak bengong mendengar ucapan Fian.
"Ku bilang apa 'kan? Daddy! Daddy yang manis seperti gulaaaa..." celoteh Hana. Ah, dasar ABG labil, tahu saja mana yang manis dilihat.
"David, she is my daughter, Hana," aku mengenalkan Hana padanya. Yayang, dia sudah tahu kemarin. David mengulurkan tangannya ke Hana, dan disambut anak itu dengan wajah sumringah.
"Glad to meet you, Hana," ucap David.
Anak itu terus memasang senyum lebar, berbanding terbalik dengan kakaknya yang tampak frustasi.
"Ganti baju dulu sana!" ucapku pada mereka berdua. Rasanya kikuk menghadapi mereka semua.
"See you again, Daddyyyy....!" seru Hana sambil berlari ke arah kamarnya dengan tawa yang terdengar jelas. Wajahku terasa memerah, andai kulitku putih. Huft!
****
Hana lebih santai saat makan malam, tak lagi petakilan seperti tadi sore. Yayang mungkin sudah mem-briefingnya. Hanya saja Fian menjadi lekat dengan lelaki itu, sampai-sampai membuka kado dari dokter Gugun pun harus dengannya. Isinya sebuah bantal selimut dengan karakter Pororo yang lucu.
Selepas makan malam aku membereskan semua cucian dan juga membersihkan kembali meja makan. David dan anak-anak sudah ku suruh pindah ke ruang keluarga. Aku ingin mereka akrab dengan sendirinya.
Beberapa saat kemudian ku dengar tawa mereka dari arah ruang keluarga. Sepertinya David sudah bisa berbaur dengan ketiga anakku, entah bagaimana caranya. Bahkan suara Yayang sesekali menimpali candaan David dan Hana, padahal tadi sore ia masih memasang wajah masamnya.
Saat aku kembali ke ruang keluarga, ku lihat Fian sudah terlelap di pangkuan David. Tangan kanan David menjadi sandaran yang nyaman untuk kepala Fian, sepertinya. Yayang dan Hana tampak asik dengan televisi, sesekali menjawab pertanyaan atau komentar David tentang apa yang mereka tonton.
Aku menghempaskan badanku di samping Hana. Hana langsung merebahkan kepalanya di pangkuanku. "Kalau Fian kayak gitu aja, aku kan bisa manja sama Mamah, ya, gak harus rebutan sama dia terus," ujar Hana sambil memonyongkan bibirnya ke arah Fian.
"Huss!" ucapku sambil mengacak rambutnya. Hana terkekeh.
"Tapi kalau ada keluarga kita lengkap, enak ya, Mah. Jadi anak yatim kadang bikin aku suka nyesek. Apalagi kalau ada temenku yang diantar Papahnya. Suka ngiri aku lihatnya, Mah," Ah, anak ini malah semakin menjadi. Bukannya jaga perasaan, malah curcol.
Aku menarik nafas berat. "Kita cuma menjalankan takdir, Nak, Tuhan lebih tahu apa yang terbaik buat kita," tuturku mencoba menghiburnya.
"Tuhan maha mengabulkan do'a 'kan, Mah?" tanyanya lagi. Aku mengangguk.
"Aku mau minta Papah baru buat Fian. Bukan aku melupakan Papah, tapi aku lihat Fian butuh sosok Ayah," air mataku langsung lolos tanpa bisa ku tahan. Segera ku hapus sebelum David dan Yayang melihatnya.
"Mamah belum berpikir untuk mencari pendamping hidup lagi, belum tentu ada yang mau menerima kalian sebagai anaknya," ucapku.
"David kayaknya mau menerima kami bertiga, Mah," ucapnya pelan dan segera ku hadiahi cubitan di pipinya.
"Kalau bermimpi jangan terlalu tinggi, jatuh dari mimpi itu menyakitkan," bisikku padanya yang langsung membuatnya cemberut.
"Siapa tahu Tuhan mengabulkan..." desisnya ngeyel.
"Hai, kamu tahu kalau dia belok?" tanyaku.
Hana membelalakkan matanya, tangannya segera menutupi mulutnya. " Oh My God..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments