Aku segera menarik wajahku menjauhinya. Tapi tangan kanannya merengkuh bahuku semakin kuat. "I miss your laugh. These few hours have been so lonely without your laugh," bisiknya.
Aku merasa dia menatapku, dan aku tak ingin melihat matanya, wajah tampannya, alis tebalnya, ah... Aku tak mau terjebak dalam perasaan yang salah. Aku ingin hidupku normal kembali. Aku tak mau gila seperti Karin yang begitu mengidolakannya.
Berpikir tentang Karin, dia saja yang hanya melihat David di internet begitu tergila-gila pada lelaki ini, jadi bukankah normal jika aku juga mendadak gila karena mendapat sedikit perhatian dari lelaki ini?
Ah, apa pula pikiran absurdku ini! Sadar, Lala, dia hanya berterima kasih karena sudah kamu tolong, itu saja, titik!
Aku mencoba melepaskan tangannya dari bahuku.
"Can you allow me to enjoy the time with you now? Please, na na na..."
Aku menarik nafas perlahan lalu membiarkan tangannya kembali di bahuku. Kami berdiri berdampingan, menatap pantai yang jauh disana. Menikmati semilir angin, membiarkan semua angan beterbangan entah kemana. Aku tak ingin memenuhi pikiranku dengan lelaki ini, tapi kenapa dia tak mau pergi dari benakku.
Rangkulan di bahuku, apakah dia melakukannya pada orang random pula? Bisa saja iya, bukankah artis suka merangkul fans mereka sekadar untuk berfoto? Bahkan kadang suka memberi tanda hati dengan tangan atau jarinya pada fans-nya, dan itu biasa saja. Hanya sekadar gimmick atau tanda keramahan semata. Jadi aku pun tak perlu berpikir jauh dengan rangkulannya ini. Baiklah, aku akan menganggap semua ini wajar adanya.
"Ehm, maaf, saya akan memeriksa Mr. David dahulu," suara bariton terdengar di belakang kami. Aku segera melepas tangan David dan sesosok lelaki berpakaian dokter tampak tersenyum di pintu balkon.
"Saya dokter Willy, saya yang bertugas sore ini. Jika kondisi Mr. David memungkinkan, dia boleh keluar sore ini," ucapnya masih dengan senyum yang sama.
David meraih bahuku kembali dan menjadikannya tumpuan untuk bisa melangkahkan kakinya ke dalam ruangan. Aku memapahnya perlahan dan memastikannya berbaring kembali dengan nyaman sehingga dokter Willy bisa memeriksanya.
Dokter Willy membuka gips di tangan kiri David. "Dokter Adam tadi menghubungi saya, katanya sore ini gips-nya bisa dilepas," ujarnya. Dia melanjutkan memeriksa luka-luka di tubuh David yang terlihat, juga memeriksa jahitan di bagian perut dan pinggangnya. "Semua tampak membaik, saya rasa Bu Lala bisa membawa Mr. David pulang," ucapnya kembali dengan senyuman.
"Oiya, tadi dokter Gugun menitipkan hadiah untuk Fian. Kebetulan tadi sempat ada games dalam rangka ulang tahun Rumah Sakit ini, dan dokter Gugun jadi juara di lomba merangkai sarung tangan. Katanya hadiahnya buat Fian,"
Aku menerima sebuah kado berpita merah, entah apa isinya sehingga dokter Gugun memberikannya pada Fian. Apa pula maksud dokter itu dengan hadiah ini. Rasanya pikiranku tak bisa menjangkau ruang pikirnya.
"Terima kasih, dokter, sampaikan terima kasih saya juga untuk dokter Gugun," ucapku tulus. Aku ingin mendamaikan hatiku dan tak ingin membuat kecemburuan hadir di hatiku lagi. Mungkinkah?
"Sama-sama, Bu Lala, nanti saya sampaikan pada dokter Gugun. Saat ini beliau sedang ada tindakan operasi di lantai lima," balas dokter Willy. Aku hanya menganggukkan kepala.
Aku segera membenahi kotak nasi dan botol kopi yang akan ku bawa pulang, berikut baju kotor yang lupa ku titipkan pada anakku untuk dibawa pulang. Lainnya tak ada yang harus dibereskan, karena tak banyak barang yang dibawa ke Rumah Sakit ini.
Ku pastikan telepon David juga sudah masuk ke tasnya, juga dokumen miliknya lengkap semua. Aku tak berharap ada yang hilang atau tertinggal disini ketika kami pulang.
Perawat membawakan kursi roda untuk membawa David ke parkiran. "I think I prefer to walk slowly with you," ucapnya sambil menatapku dan kursi roda itu bergantian.
"Are you sure?" tanyaku.
"Yes!" ucapnya yakin.
Ia melingkarkan tangan kanannya ke bahuku, dan aku terpaksa melingkarkan tangan kiriku ke pinggulnya agar bisa memapahnya berjalan perlahan.
"I think i feel better," ucapnya dengan penuh senyum ketika lift membawa kami turun. Ia tak peduli pada dua pasang mata lain yang menatap kagum pada wajahnya. Keluar dari lift menuju mobilku juga sama. Hampir setiap pasang mata terlihat kagum dengan wajah tampan lelaki ini. Tapi dia super cuek seolah tak melihat apapun.
Aku membukakan pintu mobil dan membantunya masuk ke mobilku. Sejenak aku mengatur kursinya agar tubuh tingginya bisa duduk dengan leluasa. "I can't wait to get to your house," ucapnya dengan senyum mengembang, rasanya seperti melihat seorang anak kecil yang dibawa berlibur ke rumah neneknya.
"My house isn't that nice, but I hope you can feel comfortable there,"
"Sure, as long as it's with you, I'll be comfortable,"
Ah, gombalannya keluar lagi. Aku harusnya sudah kebal sekarang. Tapi tetap saja ucapannya membuat darahku berdesir dan seruang hatiku terasa hangat.
Aku segera mengemudikan mobil keluar dari Rumah Sakit menuju rumah. Jarak rumahku dengan Rumah Sakit tak jauh, hanya sekitar dua puluh menit perjalanan.
"Just choose the song you like," ucapku ketika melihatnya menatap layar di dashboard. Ia mengeluarkan flash disk dari tas pinggangnya, lalu menghubungkan dengan audio player di mobilku.
Sebuah lagu yang ku hapal terdengar tak lama kemudian.
I walk a lonely road
The only one that I have ever known
Don't know where it goes
But it's home to me, and I walk alone
.........
Lelaki itu penggemar Green Day juga rupanya, tapi aku hanya memikirkan dalam hatiku, tak sampai ku ucapkan padanya.
Dia mengikuti setiap lirik lagu itu dan suaranya jauh dari kata buruk, itu suara yang sangat bagus.
My shadow's the only one that walks beside me
My shallow heart's the only thing that's beating
Sometimes, I wish someone out there will find me
'Til then, I walk alone
Dia lalu menatapku, "I'm not alone now, there are you beside me," ucapnya lirih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments