Aku menghentikan tawaku. Tangannya kembali meraih tanganku yang memegang pisang goreng, lalu mengarahkannya ke bibirnya. Ia menikmati pisang goreng dari tanganku dengan mata yang terus menatapku.
Aku segera melepaskan tanganku dan meletakkan pisang goreng di tangannya. "Do it your self!" desisku. Dia tertawa kecil.
Aku jengah dengan tatapannya, tapi dia sepertinya senang melihatku salah tingkah.
"I want to get out of bed," ucapnya sambil berupaya bangun. Tapi kemudian dia melihat labu kateter yang tergantung di samping ranjang. "****!" rutuknya.
Aku tertawa kecil, dia terlihat seperti bayi besar yang bodoh sekarang. Aku mengerti dia tak mungkin turun dari ranjang dengan selang kateter yang masih terpasang.
Aku segera memencet bel darurat. Seorang perawat segera muncul dari balik pintu.
"Kenapa, Bu Lala?" tanyanya.
"Dia ingin selang kateternya dibuka, mungkin ingin belajar jalan sebentar." Jawabku sambil melirik David.
Perawat itu segera menuju David, untung dia juga laki-laki. Aku segera memalingkan wajah ketika perawat itu melepaskan selang kateter. Aku tak mau mataku ternodai oleh pemandangan yang tidak seharusnya.
"Sudah, Bu Lala, saya akan membereskan ini dahulu. Ibu bisa membawanya belajar berjalan di sekitar kamar ini saja," ucap perawat itu membuatku segera kembali menghadap ke David.
Aku menaruh lengan kanannya di bahuku setelah ia berhasil duduk di tepi ranjang. Ia meringis sesaat dan berupaya mengelus perutnya yang kemarin dijahit oleh dokter Gugun. Aku reflek mengelus bagian itu. "Does it still hurt?" tanyaku khawatir.
Dia menarik nafas perlahan. "Yes, but when you touch it, it feels so much better," senyumnya kembali terpasang membuat pipiku terasa menghangat. Lelaki ini pintar menggombal rupanya.
Perlahan ia beringsut dan menurunkan kakinya ke lantai. "Ouch, ****!" desisnya. Aku tahu kakinya juga masih belum bisa banyak di harapkan. Tapi ia bersikeras berdiri dengan tangan bertumpu di bahuku. Matanya menatap balkon, mungkin dia ingin kesana.
"Let's go there, you can see the best part of this town," aku menunjuk ke arah balkon. Dia mengangguk.
Aku hanya setinggi bahunya, sehingga ketika tangannya bertumpu ke bahuku, badannya jadi sedikit membungkuk.
Aku memapahnya perlahan. Ia mengaduh kembali ketika memaksakan kakinya untuk berjalan.
"If I can get there, you have to give me a present," bisiknya di telingaku.
"With pleasure," jawabku ngasal.
"Are you sure?" tanyanya lagi.
"of course!"
Dia menatapku. "Promise?"
"Yes!"
"All right, lets go there"
Ah, aku jadi curiga, jangan-jangan sebenarnya ia bisa berjalan dan hanya berpura-pura tak bisa saja. Tubuh tingginya terasa berat di bahuku yang kecil, tapi melihat wajahnya yang bersemangat menjangkau balkon membuatku berupaya membantunya agar bisa sampai kesana.
Akhirnya kami sampai di balkon, ia segera duduk perlahan di kursi yang ada di sana dengan hati-hati, lalu menyandarkan punggungnya setelah memastikan bantal di kursi itu nyaman untuk sandarannya.
Wajahku penuh keringat. Dia menepuk kursi di sebelahnya.
Aku menghempaskan tubuhku di kursi itu. Dia meraih tisu dan menyeka keringat di wajahku.
"Sorry to bother you," ucapnya lirih.
"I'm okay," jawabku.
"So can I claim my present now?" tanyanya kembali.
Aku mendengus pelan. "As long as it's not weird,"
Dia terkekeh. Sesaat kemudian wajahnya berubah serius. "I think I changed my mind, I don't need any other gift, meeting you is the best gift for me,"
What? Kamu percaya itu, Lala? Lelaki memang buaya, tak peduli dia orang mana, selalu gampang bermulut manis dan membuat hatimu melambung, apalagi dengan tatapan lembutnya yang seolah ingin mengatakan semua rasanya untukmu.
Ah, aku jadi tertawa. "You are a bad liar," ucapku kembali dengan tawa berderai. Seketika wajahnya berubah penuh mendung, lalu ia memalingkan wajahnya ke arah luar.
"Even when I tell the truth, you don't believe it," desahnya murung. "This time I don't like your laugh,"
Tawaku berhenti, aku menatapnya, mencari kejujuran di manik matanya. Tapi ia menghindari tatapanku dan memilih mengarahkan pandangannya pada pemandangan di luar.
Hening. Aku dan dia terdiam dalam situasi yang aneh. Aku ingin membuatnya bicara kembali, tapi aku juga tak mau mendengar gombalan-gombalannya yang membuatku deg-degan. Aku tak mau jadi gila, apalagi aku tahu siapa dia. Tuhaaaann, aku tidak salah 'kan?
"Wah, pada disini rupanya?" sebuah suara memecah keheningan. Aku tersentak dan melihat dokter Gugun berdiri di pintu balkon.
"Iya, dok, ia ingin belajar jalan katanya," jawabku.
"Saya mau mengabari kalau dokter ortopedi sudah ada di ruangannya. Sebaiknya David dibawa kesana agar kita tahu langkah terbaik untuk terapi berjalan dan juga bagaimana menyembuhkan tangan kirinya."
Aku mengangguk mendengar penjelasan dokter Gugun. Aku menatap David yang berupaya mencerna ucapan dokter Gugun meski mungkin gagal total karena dia terlihat planga-plongo tak jelas. Tapi itu membuat wajah tampannya jadi imut. Huft!
"We're going to the orthopedic doctor's office now," ucapku sambil menepuk bahunya pelan.
Dia mengangguk tanpa melihat ke arahku, lalu berupaya berdiri dengan tangan kanannya mencengkeram pagar balkon.
"Let me help you," ucapku sambil meraih tangannya. Tapi dia menepiskannya dan berupaya bangun sendiri hingga wajahnya memerah.
"Sepertinya ada yang sedang ngambek, Bu Lala," seloroh dokter Gugun sambil mengedipkan sebelah matanya padaku. Aku tersenyum kecut.
"Saya ambilkan kursi roda dulu," ia segera berbalik dan meninggalkan aku dan David berdua.
David masih berupaya melangkahkan kakinya ke arah kamar. Tangan kanannya meraih bagian atas kursi lalu perlahan menyeret kakinya. Sejenak ia berhenti dan meringis ketika dua langkah telah dilaluinya. Sekarang ia berupaya menjangkau pintu balkon dan kembali menyeret kakinya. Tapi tangannya tak bisa menyentuh pintu balkon sehingga badannya limbung dan aku segera berupaya menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
Sial! Aku tak bisa menahan tubuh David sehingga akhirnya kami malah terjatuh berdua dengan posisi David menindihku. Hidung bangirnya tepat di atas pipiku sehingga membuatku terasa semakin... Ah, sial!
"Aish, saya melewatkan sesuatu sepertinya," suara dokter Gugun mengembalikan kesadaranku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments