David mengaduh ketika botol air itu mengenai dadanya. Sebagian airnya tumpah membasahi baju pasiennya sehingga tercetak pola dada bidang disana. Aku yang panik segera meletakkan botol di atas nakas dan mengambil tisu untuk menyeka air yang membasahi dadanya.
Tapi bajunya terlalu basah untuk bisa ku keringkan hanya dengan tisu. Aku teringat baju ganti yang dibawakan Yayang kemarin siang.
"Can i change your shirt, please?" tanyaku penuh sesal.
Dia mengangguk. Tatapannya terus mengarah ke mataku. Tuhan, bisakah dia memejamkan mata sebentar? Atau setidaknya melihat ke arah lain?
Aku berupaya meninggikan sandarannya sehingga dia dalam posisi yang lebih tegak. Lalu ku mulai membuka kancing bajunya hingga tampak dada bidang dan abs-nya yang kotak-kotak seperti roti kasur.
Aku ingin secepatnya mengakhiri semua ini, tapi aku tak bisa melepaskan bajunya cepat-cepat karena tangannya yang masih cedera. Dengan hati-hati ku lepaskan bajunya agar tak membuat tangannya bertambah sakit. Lalu segera menyeka dadanya yang basah dengan tisu perlahan, karena ku lihat beberapa goresan tampak disana.
Dia mengerang pelan ketika tak sengaja aku mengenai lukanya. "Sorry, sorry..." desisku hampir tak terdengar. Tanganku gemetar, aku yakin dia melihat itu.
"Calm down, I'm fine," ucapnya dengan tangan kanan meraih tanganku yang gemetar.
Aku semakin gugup, rasanya air mataku akan berjatuhan karena rasa bersalah dan rasa malu yang jadi satu.
"Don't cry, please," ia berusaha menghapus air mata yang lolos ke pipiku.
Aku segera memasangkan kemeja yang kemarin dibawa Yayang padanya. Ukurannya pas di tubuh tingginya. Almarhum suamiku cukup tinggi, meski tak setinggi dia. Setelahnya segera ku atur kembali ranjangnya agar ia bisa merebahkan badan dengan lebih nyaman.
"Sorry, I didn't mean to make you nervous. I shouldn't have asked about your relationship with that doctor" ucapnya lirih.
Aku menggeleng. "It's okay, He's not my boyfriend," ucapku sambil berusaha bersikap senormal mungkin. Dia justru menggeleng, "I don't think so..."
"Whatever you say," desisku. Ia terdiam dan kembali menatapku.
Untunglah pintu kamar terbuka dan ku lihat Yayang muncul dari baliknya.
"Mamah belum sarapan?" tanyanya. Anak sulungku selalu penuh perhatian meski tampak cuek. Mirip sekali dengan bapaknya.
"Sudah, tadi dokter Gugun membawakan bubur ayam," jawabku sambil memeluknya, tak lupa mengacak rambutnya.
Sesaat dia melirik ke arah David yang mengenakan kemeja Papahnya. Wajahnya terlihat berkabut, tapi hanya sesaat. Lalu kembali menghadap ke arahku.
"Yayang bawa makanan kesukaan Mamah, pisang goreng dan kopi pahit," ia tertawa kecil sambil mengeluarkan kotak bekal dan botol kopi milikku.
"Thank you, ini sangat baik untuk meningkatkan mood Mamah," ucapku sambil menghirup aroma kopi. Sepotong pisang goreng segera ku gigit dan memenuhi mulutku dengan rasa manisnya yang berpadu renyah tepungnya.
"Pasti Hana yang bikin," ucapku. Yayang terkekeh. "Yayang yang bikin, memangnya cuma Hana yang bisa bikin pisang goreng," elaknya.
Aku menggeleng, "kamu nggak bisa bohong sama Mamah, ini rasa pisang goreng Hana," ucapku dengan tawa lepas. Kamar ini jadi kembali hangat, tak lagi penuh kegugupan seperti sebelumnya.
David sepertinya tak terganggu dengan tawa kami. Matanya terpejam, mungkin obat yang baru diminumnya memberi efek mengantuk yang luar biasa.
Yayang menarik tanganku ke arah balkon. Aku mengikutinya dengan heran. "Mamah tahu siapa dia sebenarnya?" tanya Yayang pelan, mungkin dia khawatir David mendengar perbincangan kami.
Aku mengangguk. Yayang menatapku tak percaya.
"Really, Mah?"
Aku mengangguk lagi.
"Dia aktor terkenal Thailand, pemain Bromance, Mamah sering dikasih lihat fotonya sama Tante Karin." Ucapku.
Yayang menarik nafas panjang lalu menghempaskannya. "Mamah tahu dia belok?"
Aku kembali mengangguk. "Tante Karin pernah bilang dia punya pacar sejenis, dan itu bukan urusan Mamah. Mamah hanya menolongnya, dia sendirian disini," jelasku sambil menatap manik hitamnya.
"Yayang cuma khawatir Mamah jatuh cinta sama lelaki itu, terus Mamah kecewa," desahnya.
Aku tertawa lepas. Anakku berpikir terlalu jauh.
"Justru Mamah khawatir dia jatuh cinta padamu karena kamu laki-laki, dia kan kabarnya belok," selorohku. Yayang bergidik dan segera meraih tas punggungnya.
"Mamah gak asik! Yayang pulang aja lah!" ucapnya sambil menggerutu. Aku kembali tertawa.
"Jangan bolos kuliah, hari ini kamu ujian kan?" seruku sebelum ia menghilang di balik pintu.
"Iya, Mamah cerewet!"
Aku tertawa kembali melihat anakku yang ngambek gak jelas. Tawaku rupanya membuat David terbangun kembali.
"Want to try fried bananas?" tanyaku sambil memperlihatkan pisang goreng yang tadi dibawakan Yayang. "I have the coffee too," ucapku sambil menggoyangkan botol kopi di hadapannya.
"Coffee please," aku memberikan botol kopi padanya. Ia menyeruput kopi itu perlahan lalu kemudian mengernyitkan dahinya. Lucu sekali, ingin sekali ku ambil gambarnya saat ia menampakkan mimik wajah seperti itu.
Dia mengembalikan botol kopi itu padaku. "Why so bitter?"
Aku tertawa. "This fried bananas are sweet. So when you drink the coffee and eat this fried bananas, you can get a balance taste," terangku dengan bahasa Inggrisku yang... Ah sudahlah. Dia ngerti, syukur. Nggak ngerti, masa bodoh!
Tangannya meraih pisang goreng yang ku pegang, lalu perlahan menikmatinya. "Yummy," ucapnya.
"Coffee?" tanyaku sambil mengarahkan botol kopi kembali padanya. Ia terdiam sejenak, lalu meraihnya dan menyeruput perlahan.
"Is it better?" tanyaku.
"No, it's bitter," jawabnya sambil meringis. Tawaku berderai kembali.
"I like your laugh," ucapnya membuat tawaku berhenti seiring jantungku yang terasa terkena tsunami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Alia Harumdani
ini mah beloknya bakalan sembuh😁
2023-08-30
1