Life Cycle, Of Sarah Parker
Metrocorp, perusahaan besar milik Alan Parker.
Siapa yang tidak tahu dengan seorang Alan Parker dan Metrocorp? Mereka adalah dua sisi mata uang yang tidak mungkin terpisahkan.
Setiap orang yang mengenalnya pasti akan membahas perusahaan besar miliknya. Alan Parker dan Metrocorp adalah tolak ukur kesuksesan perusahaan di sana, hingga bukan hal yang aneh jika setiap orang memimpikan agar bisa menjadi bagian di dalamnya.
Semakin tinggi pohon, maka semakin kencang pula angin yang bertiup. Sepertinya perumpamaan itu memang layak disematkan untuk perusahaan besar sekelas Metrocorp. Dari banyaknya orang yang mengaguminya, maka pasti ada beberapa pihak yang mengharapkan kehancurannya.
Begitulah hidup, apapun yang kita lakukan, semua orang memiliki pandangannya sendiri-sendiri. Ada yang suka dan bahkan lebih banyak lagi pembenci.
*
*
Kediaman Alan Parker.
Alan Parker sudah siap dengan pakaian kantornya saat si kecil Sarah Adelio Parker bergelayut manja di lengannya. Sarah Adelio Parker, putri semata wayangnya, satu-satunya kenangan berharga peninggalan mendiang istrinya, Jeane Paula Parker.
"Ayah, tak bisakah Ayah menemaniku les menari hari ini? Semua temanku selalu diantar oleh Ibunya. Sementara aku? Aku hanya punya Ayah," ucapnya manja dengan mendongak melihat kepada sang ayah.
"Hari ini Ayah benar-benar sibuk sayang. Ayah janji akhir pekan ini, semua waktu dan raga Ayah seutuhnya milik Sarah. Oke sayang?" Alan Parker menundukkan tubuhnya menyamai sang putri lalu memeluknya lama.
"Coba Ayah hitung, sudah berapa ratus kali Ayah berjanji?" ucapnya dengan melepaskan pelukan Alan. Ia berjalan cepat menuju ruang keluarga, kakinya ia hentakkan berulang-ulang, hal yang membuat Alan Parker menyunggingkan senyumannya.
Bocah kecil nan cantik jelita itu kemudian naik keatas sofa untuk lebih jelas lagi melihat wajah sang ibu yang terbingkai dalam sebuah pigura besar.
"Ibu, kembalilah! Ayah sudah tak menyayangiku sekarang. Setiap kali aku meminta, maka setiap kali itu juga Ayah akan menolaknya dengan semua alasannya," ucapnya dengan memandang nanar wajah ibunya, seolah ia memang tengah berbicara terhadap Jeane Paula Parker, sang ibu.
Alan berjalan mendekat, kembali memeluk putrinya yang kini berbalik menghadap dirinya.
"Apakah Ayah juga akan berjanji kepada almarhumah Ibu? Lalu Ayah juga akan mengingkari?" ucapnya, lalu beranjak turun dari sofa besarnya. Namun, entah karena suasana hatinya yang sedang tidak baik-baik saja, atau memang ia yang kurang berhati-hati, hingga ia terpeleset saat akan turun dari sofa.
"Sarah!" pekik Alan, lalu dengan gerakan cepat menyambar tubuh mungil Sarah yang bergetar karena rasa terkejutnya.
"Ayah, Sarah mohon, jangan pergi kemanapun hari ini," ucapnya seolah hal yang buruk akan terjadi terhadap orang tua satu-satunya ini.
"Ayah akan segera kembali dan menjemputmu les menari, setelah urusan Ayah selesai." Alan menggendong sang putri menuju mobilnya.
"Tunggu Ayah, jangan kemana-mana! Sampai Ayah datang. Oke?" pintanya dengan mengusap pelan puncak kepala Sarah.
Sarah meraih tangan sang ayah, ia berlama-lama menggenggam tangan kekar itu. Memeluk, mencium, lalu menariknya agar ikut serta bersamanya.
"Jadilah wanita yang tak hanya cantik rupanya, akan tetapi cantik hati dan mampu berdiri tegak di atas kakimu sendiri. Buat Ayah dan Ibu bangga!" ucap Alan seraya melepas genggaman tangan putri kecilnya itu.
Setelah kendaraan yang membawa Sarah sudah hilang dari pandangan matanya, Alan bergegas menuju kendaraannya. Seorang pria dengan perawakan tegap datang menghampiri Alan.
"Kita berangkat sekarang Pak?" tanyanya dengan menundukkan kepala.
"Saya akan berangkat sendiri hari ini. Kamu bisa bersantai sejenak di rumah."
"Bapak yakin?" tanya sopir pribadi Alan terlihat ragu.
Alan hanya mengangguk tanpa menjawab. Ia segera melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang.
Di perjalanan, sebuah pesan suara diterima oleh Alan.
"Bisa segera datang ke rumah sakit, Pak! Putri Anda mengalami kecelakaan." Begitulah pesan suara yang didengar oleh Alan melalui earphonenya.
Jika sudah membahas putrinya, maka Alan Parker benar-benar akan berubah menjadi seorang ayah sekaligus ibu untuk anak itu. Ia tambah kecepatan kendaraannya hingga ambang maksimal.
Semua ucapan, permintaan dan gelagat sang putri terus saja berputar di ingatannya, lalu tersaji seolah nyata di pelupuk mata.
Ayah, Sarah mohon jangan pergi kemanapun hari ini.
Alan Parker sudah seperti orang yang hilang akal sehatnya saat kendaraannya melaju kencang melewati jalanan yang cukup lengang. Hingga tiba pada sebuah tikungan tajam, ia tak mampu mengendalikan laju kendaraannya, tiba-tiba rem pada kendaraannya tidak berfungsi sama sekali, hingga,
Brakkk,jeddduar!
Kendaraan itu sudah berbalik arah dan juga posisinya. Suara klakson terdengar terus menerus tanpa henti dari arah dalam. Tak ada tanda- tanda Alan akan keluar dari dalam mobilnya.
Beberapa kendaraan berhenti saat melintas di jalanan tersebut, membuat suasana yang semula lengang menjadi bising dan macet.
Tak lama kemudian sebuah ambulans datang, tubuh Alan segera dibawa menuju rumah sakit terdekat.
Berita kecelakaan tragis yang menimpa Alan Parker tentu saja segera menjadi tranding topik di seantero media masa, terutama di kalangan para pengusaha.
"Apakah dia masih bisa diselamatkan? Siapa yang akan menjadi pewaris seluruh kekayaannya?" kasak-kusuk beberapa pencari berita mencari informasi tentang Alan Parker.
Sementara itu, Sarah Adelio Parker. Dia meminta sang sopir untuk berhenti di depan pintu gerbang sebuah pemakanan elit di kota Metroultimate tersebut.
"Nona?" ucap sang sopir masih belum membuka pintu mobilnya.
"Aku ingin bicara dengan Ibuku, Pak. Aku tidak ingin menjadi seorang penari, itu bukan cita- citaku," jawabnya dengan gerakan akan membuka pintu mobilnya.
"Tuan Alan akan memarahi saya, jika Nona bolos menari hari ini. Tolong, jangan membuat saya bingung Nona," pintanya dengan menahan remote control di tangannya.
"Kenapa semua orang lebih mementingkan dirinya sendiri? Lalu siapa yang peduli dengan keinginanku, siapa?" ucapnya lirih dengan air mata berderai di pipinya.
"Maafkan saya Nona. Saya hanya sedang menjalankan kewajiban saya terhadap Nona. Nona adalah tanggung jawab saya," ucap sang sopir coba memberi pengertian kepada putri kecil itu.
Sarah terdiam. Ia memikirkan cara agar sopir pribadinya ini mau menuruti keinginannya. Rindu, sungguh dia rindu terhadap ibunya. Setelah berbicara dengan pigura sang ibu pagi hari tadi, kini ia ingin berbicara langsung di depan pusara ibunya. Namun, Pak sopirnya ini ternyata tidak mengizinkannya.
"Aku janji, Ayah tidak akan mengetahui tentang hal ini. Bapak harus percaya sama aku," ucapnya dengan mengguncang pelan lengan sang sopir yang kini menatapnya dengan senyum tipis di bibirnya.
"Bukankah Nona paling anti dengan yang namanya sebuah janji? Lalu sekarang apa?"
Sarah tersenyum mendapat pertanyaan dari pria yang berusia 25 tahun itu.
"Hanya hari ini, janji," pintanya lagi dengan menampilkan senyum manisnya, tak lupa satu jari manis dan tengahnya ia acungkan juga.
"Saya pegang janji Nona," balas sang sopir dengan menangkup jari kecil nona mudanya itu.
Senyum sumringah langsung saja tampil di wajah Sarah. Tak menyangka Pak sopirnya akan dengan mudah ia taklukan, hanya bermodalkan janji yang ia sendiri belum pasti bisa menepati, karena sekali permintaannya dipenuhi, maka akan banyak permintaan yang sama untuk yang kedua, ketiga dan seterusnya.
Suasana hatinya sedikit terobati atas penolakan sang ayah pagi tadi. Ia melompat-lompat kecil menuju pusara sang ibu. Namun,belum lagi kakinya sampai pada tempat yang dituju. Sebuah deringan ponsel memaksanya ikut berhenti.
Ia perhatikan raut wajah sang sopir yang kini berubah sedih setelah menerima panggilan suara tadi.
"Siapa dan ada apa Pak?" tanyanya dengan berjalan mendekat kepada sang sopir.
"Sebaiknya kita segera pulang ke rumah, Nona," ucapnya tanpa menjawab tanya Sarah.
"Bapak menjawab apa yang tidak kutanyakan. Kenapa?"
Masih dengan tidak menjawab tanya Sarah, sang sopir meraih tangan nona kecilnya itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Kenapa Bapak menangis? Apakah Bapak menyesal telah memenuhi permintaanku, lalu sekarang Ayah memarahimu?" tanyanya bertubi-tubi. Namun, sang sopir tetap bergeming.
Ada sesak di dadanya yang jika ia keluarkan maka dapat ia pastikan bahwa sesak dan sakit itu akan berpindah tempat kepada gadis cantik nona kecil di depannya ini.
Sementara Sarah Adelio Parker, gadis kecil itu masih bisa tersenyum manis melihat wajah pria yang sudah menjadi sopir sekaligus pengawalnya sejak ia duduk di bangku taman kanak-kanak itu tanpak sendu. Tak ada yang diucapkannya, hingga Sarah masih menganggap bahwa dugaannya itu adalah benar.
"Aku akan membela Pak sopir, jika ayahku memarahimu."
Selamat membaca.
🌿🌿🌿🌿🌿
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Ira
keren
2024-11-11
1
Nuri
4 iklan maluncur
2023-10-02
1
꧁☠︎𝕱𝖗𝖊𝖊$9𝖕𝖊𝖓𝖉𝖔𝖘𝖆²꧂
ehhh ternyata panggilan tadi itu palsu, begitukahh 🙄
2023-09-29
2