Ya, Kosim amat tidak suka mertua perempuannya menyebut nama pria muda yang seumuran dengannya.
Itu tak lain karena selama ini si Johar kerap dibanding-bandingkan dengannya jika Amih Iah sedang marah atau kumat penyakit dengkinya kepada Kosim.
Siapa pun tahu kalau si Johar pemuda tampan dan karenanya wajar jika para gadis menyebutnya sebagai pria idaman. Tentu idaman untuk dijadikan teman hidup.
Bagi Kosim pun si Johar itu pria idaman, tetapi bukan idaman ingin hidup bersama, melainkan pria idaman bogem kepalan tangannya.
"Habis dia tak tahu diri, masih saja mau dibujuk-bujuk Amih. Padahal tahu kalau aku suami sahnya Yani," gumam batin Kosim ketika melihat perilaku si Johar.
Sama dengan Deni bahkan keduanya berteman, si Johar juga mahasiswa di kota, tetapi lebih banyak pulang kampungnya mengambil uang dari orangtuanya.
Bagi Johar dan Deni uang bagaikan tanah yang dengan mudah bisa didapatkan kapan pun mau.
Bahkan kini sudah berubah menjadi supermarket yang pembelinya hampir berdatangan setiap detik tiada henti. Makanya tak heran kalau Amih selalu bersemangat ingin menjodohkan Yani yang telah resmi menjadi istri Kosim dengan si Johar.
Kosim mencomot satu buah goreng pisang dan siap-siap disantap lalu sedianya akan diiringi dengan kopi panas bikinan sang istri.
"Pasti manis semanis wajah istriku," bisik hati Kosim. Namun belum juga angan-angannya itu kesampaian padahal sudah di depan mata, tiba-tiba terdengar teriakan Amih bak halilintar saat hujan besar.
"Kosiiim, sinih!" kata Amih Iah.
Goreng pisang yang sudah di tangan dan siap dilahap, kembali disimpan di atas piring. Kosim hanya mampu melihatnya, demikian pula kopi panas yang masih mengepulkan asap plus aroma penggodanya tak bisa segera dicicipi.
Kosim bangkit, lalu menghampiri Amih Iah.
"Ada apa ya Mih?" sahut Kosim dengan wajah kesal, maksud hati mencicipi gorengan dan air kopi, malah dipanggil nyonya besar si mudah gusar.
"Kamu tolong belikan Amih gula pasir, minyak goreng, dan telur," kata Amih.
"Iya, siap," sahut Kosim.
"Ntar dulu jangan bilang siap, siap, tapi tidak dilaksanakan!"
Kosim tak mengerti apa maksud omongan mertua galaknya ini. Wong perintah sudah jelas beli gula pasir, minyak goreng, dan telur, bahkan kantongnya pun sudah dipegang Amih.
"Maksudnya apa, Mih? Kan sudah jelas semuanya?"
"Dengarkan dulu! Kamu gimana sih kalau orangtua bicara dengarkan dulu jangan main potong begitu, emang kamu mau burungmu aku potong biar tidak ganggu anakku?" celoteh Amih membuat Kosim geleng-geleng kepala.
"Dipotong kan sakit Mih. Cobain potong dulu tuh hidung Amih!" ujar Kosim tak kalah gertak membuat ejekan. Tanggung terus dihina, Kosim berusaha menjaga harga dirinya.
"Apa kau bilang? Mau potong hidung saya?"
"Canda dong Mih."
Akhirnya Kosim mengalah.
"Ya sudah cepet kamu laksanakan perintah tadi. Ya, beli gula pasir, minyak goreng, dan terlur. Tapi ingat belinya harus di kota kecamatan!"
"Apaaa? Di sekitar warung sini kan banyak Mih?"
"Jangan protes. Kata Amih harus beli ke kota kecamatan, laksanakan!"
"Tapi mengapa tidak boleh beli di sekitaran sini yang dekat saja?"
"Baiklah kujelaskan pemuda tolol! Warung itu belinya dari pasar di kota kecamatan, tentu dengan harga murah karena mereka pengen punya laba. Jadi harga di sini akan beda dengan harga di pasar kecamatan. Jelasnya harga di pasar kecamatan akan lebih murah daripada harga di warung-warung sini. Paham?"
Kosim tak menyahut. Benaknya saja yang ngedumel. Lalu bertanya-tanya, apakah apa yang dikatakan mertuanya barusan benar atas perhitungan untuk mendapatkan harga lebih murah atau ada hal lain?
Kosim masih berpikir tentang hal itu. Kenapa sih orang sekaya Amih Iah masih memperhitungkan selisih harga di sini dan di pasar yang palingan beda seribu dua ribu rupiah?
Ini pasti ada rencana jahat yang tengah dirancang mertua perempuannya ini. Jarak dari sini ke kota kecamatan itu hampir 10 kilometer.
Akhirnya Kosim mengangguk tanda menyetujui perintah mertua perempuannya. Lalu Amih Iah memberikan tas untuk nanti Kosim membawa hasil belanjaan.
"Nih uangnya, nih tasnya!" kata Amih Iah.
Kosim melongo melihat mertua perempuannya memberikan uang selembar Rp 50.000. Mana mungkin cukup untuk membeli tiga barang dengan uang segitu, belum lagi ongkos ojek.
"Kenapa kamu malah diam bukannya segera pergi?"
"Ini mana cukup untuk membeli 1 kg gula pasir, 1 kg telur, 1 kg minyak goreng Mih. Belum lagi ongkos naik ojeknya," protes Kosim.
"Ya udah belikan secukupnya uang itu saja, mau setengah mau seperempat," kata Amih Iah makin menambah kecurigaan Kosim bahwa sesungguhnya mertuanya sedang mempermainkan dirinya kalau tak boleh dikatakan sedang menganiaya dirinya.
"Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus melawan," bisik Kosim.
"Ongkos ojeknya Mih kan ke pasar itu lumayan jauh ada sekitar sepuluh kilometer," kata Kosim pura-pura mengeluh jarak jauh.
"Enggak usah naik ojek segala. Jalan kaki saja biar sambi berolahraga. Olahraga itu penting biar tubuh tetap sehat!" kilah Amih Iah seperti yang benar saja menyayangi sang menantu.
"Ya iyalah Mih," timpal Kosim.
Dia menerima uang Rp 50.000 dan tas dari mertuanya. Namun tas itu disimpan di atas meja.
"Kok disimpan di atas meja?" tanya Amih dengan mata membulat.
"Mau buang air kecil dulu," balas Kosim sambil masuk kamar mandi.
Kosim tak mendengar lagi omongan mertuanya. Dia pun segera buang air kecil. Setelah beres, dia keluar dari kamar mandi. Di ruang dapur sudah tak tampak mertuanya.
Kosim mendekati ruang tengah, juga tidak ada. Kosim lantas memperhatikan ruang tengah dengan cermat untuk beberapa saat. Istrinya pun tak ada, namun tiba-tiba terlihat Amih Iah memasuki ruang tamu, diikuti oleh Yani.
"Hah? Ada apa di ruang tamu? Aku harus melihatnya!" gumam hati Kosim, makin yakin kalau mertuanya tengah mempemainkannya dengan menyuruh belanja jauh-jauh ke pasar kota kecamatan.
Mulailah Kosim beraksi. Dia bawa tas dari mertuanya ke dalam kamar kosong mirip gudang namun bukan gudang sepenuhnya, hanya tempat menyimpan barang-barang sederhana.
Akan tetapi di kamar ini ada lubang untuk naik ke atas para atau langit-langit rumah. Tak menungu waktu lama, Kosim menutup pintu kamar itu. Tadinya akan dikunci dari dalam, namun urung karena kalau Amih masuk ke kamar ini lalu di dalam dikunci, pastilah akan dicuriga ada orang.
Akhirnya Kosim tak mengunci pintu kamar kosong itu dari dalam. Dia hanya menutup rapat. Lalu dengan mudahnya dia menaiki tangga dan memanjat ke langit-langit rumah.
Dia mengendap-endap dengan hati-hati meniti kayu-kayu balok di atas langit-langit. Tak khawatir dengan penerangan karena cukup banyak celah cahaya masuk dari sela-sela genting.
Kosim sudah sampai di atas langit-langit atau plafon ruang tamu. Sudah mulai samar-samar terdengar pembicaraan di ruang tamu antara mertua wanitanya dan tamu yang entah siapa.
Kosim berusaha mencari lubang di plafon agar bisa melihat dengan jelas siapa gerangan yang sedang bertamu. Dasar lagi betuntung, Kosim menemukan sedikit bolongan plafon rumah, dan tampaklah sang tamu yang tak lain dan tak bukan dia adalah si Johar.
"Kurang ajar, si Johar!" hardik Kosim dalam hati, jantungnya berdegup kecang melihat si Johar dan akal-akalan mertuanya mencari cara agar Kosim menjauh, ternyata ini maksudnya.
"Jadi harap bersabar dulu Nak Johar. Jika saatnya sudah tiba, pastilah Nak Johar akan ibu sandingkan dengan putri ibu," ujar Amih Iah dengan suara lemah lembut.
Berbeda ketika berbicara dengan Kosim, mendadak urat lehernya bermunculan andai bicara penuh nafsu.
"Iya Bu. Johar akan tetap bersabar menunggu. Makanya Johar kerap ke sini menemui ibu itu sebagai tanda kangenku kepada Yani dan juga Ibu. Ditambah aku teman baik Deni," kata si Johar membuat Kosim serasa ingin muntah saja mendengarnya.
"Nah syukur kalau begitu. Dengar-dengar toko Juragan Darmin bapakmu sudah jadi supermarket?" tanya Amih Iah.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Hadimulya Mulya
ini mantu dan suami gila,walo pun rupamu jelek to miskin yg penting nafkahi istrimu,krj cari uang walo jadi pemulung krj harga diri laki2 krj nyukupi kehidupan rumah ttg
2024-02-25
0