BAB 9

Naya meringis merasakan kepalanya berdenyut sakit. Matanya yang masih tertutup meraba-raba ke atas nakas. Biasanya, ia selalu menyimpan air putih di atas nakas tempat tidurnya.

Seseorang yang sedari tadi melihat Naya yang belum membuka matanya, menyodorkan air mineral ke arah tangan Naya yang sedang mencari sesuatu. Dengan sangat malas, Naya mendudukan tubuhnya lalu meminum air di gelas itu. Ini semua gara-gara bartender semalam yang pasti berbohong tentang kadar alkoholnya. Benar, bartender, semalam, di club.

Naya yang merasakan kejanggalan langsung membuka matanya dengan cepat lalu menoleh ke arah seseorang yang sudah berdiri dengan tangannya yang bersedekap menunggunya bangun.

“Sampai kapan kau akan tidur? Ini bukan hotel.”

Naya sangat terkejut. “Ma-maaf Tuan.” Naya memeriksa pakaiannya. Masih lengkap.

“Kau pikir, aku akan memanfaatkanmu saat kau tidak sadar?”

“Ah, bukan begitu Tuan. Saya hanya takut tidak melayani anda dengan baik.” Naya berbohong.

“Bangunlah. Saya akan mengantarmu.”

“Tidak perlu Tuan, saya bisa sendiri.”

“Bagus, saya juga tidak perlu repot menjelaskan ke Riya karena menculikmu saat jam kerja.”

Naya tersentak. Madam Riya akan membunuhnya karena telah menghilang semalam.

“Tu-tuan, jika anda tidak sibuk, apakah saya bisa meminta bantuan anda?” Naya berusaha sekuat tenaga menahan rasa tidak tau dirinya.

“Bergegaslah.” Noah hanya melirik sekilas ke Naya dan keluar dari kamar VVIP itu.

Naya tersenyum berterima kasih, ia segera berlari kecil untuk menyusul Noah.

Noah berhenti di depan sebuah pintu besar dengan kedua daun pintu yang tertutup rapat. Noah juga tidak repot-repot mengetuk pintu itu. Ia langsung mendorongnya dan masuk dengan santai. Sementara wanita dengan rokok di mulutnya tersenyum sinis melihat Noah dengan Naya yang berada di belakangnya.

“Anda selalu saja membuat saya harus mengeluarkan tenaga untuk mencari satu pelacur yang ternyata tidak hilang.” Madam Riya tentu saja berbicara kepada Noah.

“Jangan salahkan dia, ini salahku karena tidak tahan melihat tubuhnya saat di club.”

Naya hanya menunduk mendengarkan kedua manusia di sana membicarakan dirinya.

Madam Riya terdengar mendengus kesal. “Itulah kenapa saya selalu melarang mereka naik ke lantai atas. Mereka bisa saja dipakai tanpa dibayar. Saya bisa rugi.”

“Kau meragukanku?” tantang Noah.

Madam Riya tergelak. “Tentu saja saya tidak berbicara tentang anda, Tuan. Tidak mungkin seorang pewaris tunggal perusahaan terbesar di Negara ini tidak mampu membayar satu pelacur.”

Kini Noah yang tertawa keras. “Kirimkan tagihanmu.” Noah lalu melirik kecil ke arah Naya yang masih berdiri tidak jauh di sampingnya. “Tubuhnya sangat sepadan dengan uang yang aku habiskan.”

Naya mengangkat wajahnya saat mendengar ucapan Noah itu. Sementara Noah sudah menyeringai di sana.

...----------------...

Naya tidak tau apa yang terjadi setelah ia disuruh keluar dari ruangan itu, meninggalkan Noah dan Madam Riya di dalam sana. Naya kini berjalan ke arah asrama, ia harus mencari Clara.

Saat membuka pintu kamar, ia bisa melihat Rose dan Clara sedang bercanda satu sama lain. Clara yang terkejut melihat Naya langsung memasang ekspresi penyesalan.

“Kau boleh membunuhku, Nay,” lirih Clara dengan pasrah.

“Kau kemana semalam? Kenapa kau menghilang?” tanya Naya dengan kesal, sambil menutup pintu di belakangnya.

“Aku tidak menghilang. Aku bertemu dengan kenalanku, dan dia membawaku ke mejanya.”

“Apa kau tidak khawatir?” Naya kecewa, Clara tidak mencarinya.

Clara tersenyum penuh arti. “Karena aku tau siapa yang membawamu.”

Naya bahkan sampai lupa mengganti dress hitam yang ia pakai. Clara mengeluarkan sebuah baju kaos bergambar abstrak dan celana panjang dari lemarinya lalu menyerahkan ke Naya.

“Aku hampir dibunuh sama Madam Riya,” cerita Naya sambil menerima pakaian Clara.

Clara terkekeh, “Madam Riya tidak akan membunuhmu, apalagi Noah yang bersamamu.”

“Bagaimana kau bisa sangat yakin?”

“Nanti … nanti aku ceritakan semuanya,” janjinya.

Naya hanya mengangguk, tidak ingin memaksa Clara. Ia lalu melirik ke arah Rose yang sedari tadi mendengarkan ocehannya bersama Clara. Syukurlah karena tubuh Rose yang sakit, kemarin ia diizinkan istirahat. Hanya saja, malam ini ia kembali harus melayani tamunya.

“Bagaimana perasaanmu?” Naya bertanya dengan nada yang sangat lembut.

“Aku sudah baik, Kak,” jawab Rose dengan suara yang parau. Mungkin karena ia banyak berteriak beberapa hari lalu, suaranya masih belum kembali normal.

“Syukurlah. Jika ada yang kau butuhkan atau ceritakan, aku dan Clara akan mendengarkannya, ya,”

“Meskipun kami tidak bisa membantu, tapi kami bisa ikut menyumpahi orang yang membuatmu kesal.” Clara mencoba memasang wajah marahnya.

Rose terkekeh. Sementara Clara dan Naya ikut tersenyum melihat Rose yang benar-benar sudah membaik.

“Nay, kamu mau balik ke rumah hari ini?”

Naya tidak langsung menjawab, ia sedikit menimbang. “Entahlah. Mungkin suamiku masih butuh waktu untuk menerima pekerjaan ini.”

Clara tidak ingin bertanya lagi, kecuali Naya sendiri yang mau menceritakan semua.

Naya menarik napasnya saat keheningan tercipta diantara mereka. Clara sudah pernah bercerita tentang dirinya, mungkin sebaiknya Naya mulai mempercayai Clara juga.

“Aku berasal dari panti asuhan.” Naya menjeda. Clara dan Rose menoleh ke arah Naya dan bersiap mendengarkannya.

“Suamiku, Brian adalah orang yang memperkenalkan arti keluarga untukku. Aku mencintainya, aku juga tidak menyalahkannya untuk yang terjadi padaku sekarang.”

Naya mencoba menghindari tatapan mereka berdua dan menyibukkan diri dengan melipat dress hitam yang tadi ia kenakan.

“Tahun pertama pernikahan kami sangat indah. Aku tau, Brian juga sangat mencintaiku. Sampai saat aku hamil, seorang putri cantik. Kebahagian itu terasa berkali-kali lipat.” Naya tersenyum lebar mengingat kenangan itu.

“Brian dan aku selalu mengelus perutku yang bertambah besar tiap hari, entah sejak kapan, tapi kami mulai memanggilnya ‘cinta’. Aku ingin anakku kelak bisa merasakan cinta yang besar dari kedua orangnya.” Mata Naya sudah mulai basah tapi bibirnya mengulas senyum. Hatinya perih mengingat kenangan yang tidak akan pernah ia rasakan lagi.

Clara menyodorkan beberapa helai tisu untuk Naya tanpa mengucapkan apa pun.

“Tapi, aku ceroboh. Aku jatuh dari tangga dan anakku meninggal. Hatiku hancur saat mendengarnya, tapi saat dokter mengatakan kalau rahimku juga ikut diangkat. Duniaku runtuh seketika. Suamiku dan kedua mertuaku juga menangis mendengarnya.” Suaranya mulai lirih. Tetesan-tetesan air dari mata sayunya bergantian jatuh.

“Tahun kedua pernikahanku, Kedua mertuaku mengalami kecelakaan. Ayah mertuaku meninggal, dan ibu mertuaku koma. Suamiku depresi hebat. Ia sampai menjual semua warisan yang ditinggalkan ayahnya untuk membayar uang rumah sakit ibunya.”

Matanya menerawang ke arah jendela, diluar sedang mendung. Seperti kehidupannya waktu itu.

“Kami pikir semua musibah akan berhenti datang. Setelah tahun ketiga pernikahan kami, perusahaan start up yang dibangun suamiku sejak kami lulus sekolah harus dinyatakan pailit. Investor meminta pengembalian dana yang bernilai miliaran. Tidak sampai disitu, di tahun itu juga, ibu mertuaku meninggal setelah koma selama hampir setahun,” lanjutnya.

Clara dan Rose kini juga kini menatap Naya dengan mata yang berkaca-kaca.

“Sejak saat itu, suamiku jarang pulang. Ia habiskan waktunya di rumah judi. Ia berharap bisa mendapatkan jackpot besar dan bisa melunasi semua utang-utangnya. Tapi, ia hanya semakin menambah utang kami. Judi dan alkohol benar-benar merusaknya. Setiap kali pulang ke rumah, ia akan memarahiku dan menyalahkanku untuk semua kesialan yang ia alami. Padahal aku berusaha sekuat mungkin untuk membantunya. Aku bertahan dengan berada disisinya.”

“Kenapa kau masih bertahan, Nay?” tanya Clara yang sudah sangat tidak tahan.

Naya tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Apa kau pernah iri melihat seorang anak kecil berusia tiga tahun di gendong oleh orang tuanya sambil makan ice cream di pinggir jalan? Atau apa kau pernah merasakan bagaimana sebenarnya memiliki keluarga yang benar-benar keluargamu sendiri?”

Clara dan Rose tidak menjawab, mereka tertegun. Meskipun mereka memiliki nasib yang sama, tapi setidaknya mereka punya kedua orang tua dan keluarga yang menghiasi kehidupan kecil mereka.

“Brian tidak meninggalkanku saat aku jujur tentang diriku yang merupakan anak buangan tanpa kedua orang tua, dan masih tinggal di panti asuhan sampai aku selesai SMA karena tidak ada keluarga yang mau mengadopsiku.”

Naya mengangkat wajahnya melihat Clara dan Rose bergantian. “Suamiku tidak meninggalkanku saat itu. Karena itu, aku juga tidak akan meninggalkannya di saat terburuknya. Meskipun ia sering kasar kepadaku, tapi dia adalah satu-satunya keluargaku. Keluarga yang tidak pernah aku miliki.” Naya menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia meredam tangisannya sendiri.

Clara tidak tahan lagi, ia mengambil Naya kepelukannya. Rose yang juga menangis ikut memeluk Naya di sana. Siang itu entah kenapa, Naya ingin berteriak dan mengeluarkan semua sakit dalam hatinya. Sakit yang selama ini ia pendam. Sakit yang tidak pernah ia ceritakan bahkan ke suaminya. Mungkin Tuhan menunjukkan jalannya untuk bertemu Clara dan Rose. Yang memahami lukanya.

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!