Anggara merebahkan tubuhnya di sofa kamar hotel. Menggoyangkan kepala memutar dan menarik kedua tangannya ke atas. Lelah sekali, rasanya tulang-tulang tubuhnya akan patah.
Sesaat tadi setelah pesawat landing, Anggara meminta semua pihak proyeknya di kumpulkan di lokasi hotel yang akan dibuka dua minggu lagi. Ia memeriksa sendiri semua persiapan tidak ingin ada yang terlewat. Setelah tiga jam barulah dia bisa merebahkan tubuhnya di kamar hotel.
Anggara melirik jam dinding , lalu merogoh ponselnya di saku celana.
Ada banyak pesan yang belum sempat ia baca.
Ibunya yang mengomel tentang pola makan.
Ayahnya yang mengingatkan tentang kesepakatan beberapa perusahaan di Australia yang akan bekerjasama dengan hotel mereka nanti.
Raisa sekertarisnya yang mengatakan sudah mengirim email beberapa berkas yang butuh di periksa.
Dan masih banyak lagi.
Anggara mengernyitkan keningnya selagi membaca pesan-pesan di ponselnya.
Tidak ada satupun dari Andreea. Sejak menikah, gadis itu tidak pernah menelpon atau mengirim pesan. Dari banyaknya orang, Anggara malah mengingat gadis itu. Gadis remaja yang tiba-tiba saja kini menjadi istrinya. Tanpa sadar, Anggara tersenyum.
Sekali lagi , Anggara melirik jam dinding. Pukul tujuh malam. Artinya di Jakarta jam tiga sore.
Anggara memanggil nomor Andreea.
“Halo, Kak.” Di ujung sana Andreea sedikit berteriak.
Anggara menjauhkan telinganya. “Berisik sekali, aku tidak bisa mendengarmu.”
Andreea lekas menarik Anshara dari sana. Mereka memang sudah selesai bermain, hanya belum benar-benar keluar dari time zone.
“Aku sudah berjalan keluar Kak. Apa suaraku terdengar?”
“Sedang dimana?”
“Timezone. Bersama Shara. Tapi ini sudah mau pulang.” Jawab Andreea sambil terus berjalan keluar dari mall dan menuju parkiran basement.
Anggara terperangah, lalu berdehem pelan. “Aku sedang di Australia.”
“Aku tahu.”
Anggara menghela nafas. “Kenapa tidak menelpon atau mengirim pesan?”
“Maafkan aku Kak, lain kali aku tidak akan lupa meminta izin saat pergi kemanapun.”
Andreea salah menangkap maksud dari Anggara membuat pria itu memijit pelipisnya pelan.
“Baiklah. Hati-hati di perjalanan.” Ucapnya sebelum memutus sambungan telepon.
“Dia benar-benar menganggapku sebagai kakaknya.” Anggara tertawa pelan lalu melempar begitu saja ponselnya ke atas meja. Ia disini sedang mengurus pembukaan hotel barunya dan istrinya disana bermain di time zone. Yang benar saja.
Anggara tertawa lagi saat menyadari bahwa dia menikahi gadis kecil yang bahkan belum genap sembilan belas tahun.
**
“Apa Kak Gara marah?” Anshara bertanya cemas. Selama ini memang Anggara sangat posesif kepadanya , saat ia tinggal di Inggris pun setiap hari harus mengirim pesan sedang apa dan akan kemana bersama siapa.
Ketika Andreea mulai tinggal bersama mereka pun begitu. Anggara akan menghubungi salah satu dari mereka jika keduanya sedang keluar rumah.
“Sepertinya begitu, kau tidak memberitahunya jika kita pergi hari ini?” Andreea balik bertanya sambil membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya diikuti oleh Anshara.
“Tidak, ku pikir dia sedang sibuk karena ke luar negeri, lagi pula kita sudah minta izin pada Ibu.” Anshara membela diri.
Andreea dan Anshara tidak ambil pusing. Lagipula Anggara masih di luar negeri sampai dua minggu lagi. Semoga saat pria itu pulang sudah melupakan kejadian ini. Mereka hanya harus memastikan tidak mengulangi lagi kesalahan hari ini. Kalaupun nanti Anggara tetap marah, yasudah terima saja.
**
Seperti biasanya , keluarga Stockholm selalu berkumpul di ruang tengah setelah makan malam. Meski hanya beberapa menit, Anita tidak pernah membiarkan keluarganya melewati hari tanpa saling bercengkrama santai. Suami dan anak sulungnya sangat sibuk , ia tidak ingin Anshara kehilangan waktu Ayah dan kakaknya. Terlebih sekarang ada Andreea bersama mereka.
"Ayah , boleh tidak? Hm?" Anshara masih terus merengek, tentang apa lagi jika bukan mobil tanpa supir yang masih terus di usahakannya.
"Tidak!" Thomas tidak terpengaruh. Ia terus menyesap teh buatan istrinya.
"Aku dan Andreea sudah besar, Ayah. Ini memalukan jika kemana-mana diikuti oleh supir."
"Bukankah Ayah sudah pernah bilang? Supir hanya mengantar, tidak akan mengikutimu kemana-mana seperti bodyguard." Thomas menatap putrinya jengah.
Keluarga Stockholm, bukanlah pengusaha kelas menengah. Hanya satu mobil, Thomas tidak akan berpikir berapa uang yang di keluarkan. Tapi untuk Anshara, bukan hanya perkara uang. Putrinya itu belum bisa bertanggung jawab dan menjaga dirinya sendiri. Terlebih sekarang ia memiliki dua putri, apa yang akan dia katakan pada Ardhani dan Miranda jika sesuatu yang buruk terjadi.
"Ibu.." Anshara beralih pada Anita. Diliriknya Andreea di ujung sofa yang menahan tawanya.
Anshara melempar tatapan kesal seolah berkata "Bantu aku! Jangan tertawa!"
"Dengarkan Ayahmu , lagipula.." Anita melirik sekilas ponsel Thomas yang berdering. "Andreea pun tidak keberatan jika dengan supir. Kau belum dewasa, belum bisa menjaga dirimu sendiri."
"Sayang, aku ke ruang kerja." Thomas nampak tergesa , setelah mendengar beberapa kalimat di ponselnya.
Anita hanya mengangguk saja , ia tahu yang menelepon adalah Anggara.
"Kalian naiklah , Ibu akan menyusul Ayah." Anita berdiri , membelai bergantian kepala Andreea dan Anshara lalu melangkah pergi.
"Apa ada masalah?" Andreea merapatkan tubuhnya mendekati Anshara.
"Tidak tahu. Haissh kapan Ayah akan membiarkan kita tanpa supir?"
Andreea menoleh, memukul pelan lengan Anshara. "Ayah terlihat panik dan kesal. Semua baik-baik saja kan?"
"Tidak perlu banyak berpikir. Sudah pasti itu tentang pekerjaan."
Anshara berdiri lebih dulu dan melangkah menaiki tangga menuju kamarnya.
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Reni Anjarwani
lanjut thor semanggat
2023-08-29
0