"Aku... "
Tak sempat aku melanjutkan ucapanku, Om Rey menarik tanganku dan membawaku ke kamarnya tanpa membiarkanku melawan sedikitpun. Dikuncinya pintu kamar, melepas kunci itu dari lubangnya, dan meninggalkanku di belakang pintu yang terkunci itu.
Ku pegang pergelangan tanganku yang sedikit merasa sakit akibat cengkramannya.
Ia berjalan menuju kamar mandi yang berada di kamarnya. Dilepasnya blazer dan kemejanya yang basah kuyup sebelum ia memasuki kamar mandi.
Seketika aku berbalik, menjaga pandanganku. "Om, kenapa buka baju disini?! Aku mau keluar!"
"Kamu gak akan pergi kemanapun. Malam ini kamu akan berada di sini."
"Hah?!" Saat aku berbalik Om Rey sudah masuk ke dalam kamar mandi.
Maunya apa? Kenapa aku dikurung di kamarnya seperti ini? Bukannya apa-apa, tapi jantungku sudah tak karuan sejak Om Rey tiba-tiba saja menarikku masuk ke kamar ini.
Seketika aku menyesal, kenapa juga aku harus terbangun dan merasa haus. Kalau saja aku tetap di kamar, aku tak akan bertemu dengannya. Membuat pelarianku seharian ini menjadi sia-sia.
Sambil menunggu Om Rey selesai mandi, mataku menyapu seluruh kamar itu. Aku tak melihat satupun foto Om Rey ataupun Tante Manda. Aku juga baru sadar di seluruh rumah ini juga tak ada jejak Tante Manda. Di meja riasnya juga sudah tak ada kosmetik Tante Manda.
Sudah sehambar itukah hubungan Tante Manda dan Om Rey?
Pintu kamar mandi terbuka dan sosok Om Rey keluar hanya dengan selembar handuk yang menutup bagian bawah tubuhnya, menampilkan otot-otot perut dan bisepnya yang terbentuk sempurna.
Segera aku memalingkan pandanganku sementara ia masuk ke lorong sebelah kamar mandi, yang sepertinya walk in closet berada di sana.
Sungguh tak pernah terpikirkan olehku sama sekali, perasaanku saat melihat Om Rey akan menjadi berbeda seperti ini. Biasanya aku selalu menatapnya dengan penuh rasa hormat. Tapi kini, aku menatap Om Rey seperti ia adalah seorang... laki-laki.
Tak lama Om Rey sudah menggunakan celana tidurnya, dan sebuah kaos putih polos sedang dipakainya seraya melangkah ke arahku yang masih berdiri di belakang pintu.
Saat ku palingkan wajahku, Om Rey kembali meraih tanganku dan membawaku ke arah tempat tidurnya.
Ia mendorong pundakku hingga tubuhku duduk di sisi tempat tidur. Diraihnya sebuah kursi di sudut ruangan, meletakkannya tepat di depanku, dan mendudukinya. Kedua kakiku berada diantara kedua kakinya.
Jantungku kembali berdetak tak karuan saat berhembus wangi shampo dan sabun yang baru digunakannya. Kedua matanya yang biasanya ramah, kini menatap tajam ke arahku. Rambut basahnya yang masih berantakan, membuatnya terlihat begitu... mengundang.
Tanpa sadar aku menelan salivaku.
"Jawab, kenapa ponsel kamu mati seharian ini?" Tanyanya tanpa basa-basi.
"Aku matiin soalnya kuliah terus kerja." Ujarku seraya mengalihkan pandanganku.
"Tapi kamu gak ada di kafe. Jam lima Om jemput kamu kayak biasa, tapi bos kamu bilang kamu lagi lembur sampai jam 7 malam. Setelah itu jam 7 Om kembali ke kafe, tapi kamu gak ada. Kamu kemana?"
Tepat pukul tujuh aku pergi dari kafe setelah Om Tanoe menyuruhku, seingatku sih seperti itu.
"Kamu tahu, Om nyariin kamu setelah itu. Kesana kemari tapi kamu gak ada dimanapun." Nada bicaranya sedih bercampur kesal.
"Terus... Om sampai hujan-hujanan nyariin aku?" Cicitku tanpa menatap ke arahnya. Jujur aku sedikit merasa bersalah mengingatnya yang tadi basah kuyup dan terlihat begitu putus asa.
"Iya. Om khawatir terjadi sesuatu sama kamu. Dan saat Om udah gak tahu lagi nyari kamu kemana, tiba-tiba aja kamu ada di rumah. Bilang, jam berapa kamu nyampe rumah?" Nadanya begitu dingin dan mengintimidasi.
Ku lirik sekilas wajahnya yang sejak tadi tak lepas menatapku. "Jam sembilan lebih." Cicitku lagi.
Ia sandarkan tubuhnya di kursi itu dan mengusap kasar wajahnya.
"Bisa 'kan lain kali gak usah kayak gitu? Kalau kamu marah, kamu boleh menghindar tapi jangan sampai matiin ponsel kamu dan hilang dari jangkauan Om. Om bisa gila, Dan!"
Om Rey benar-benar sudah kehilangan akal sehat. Masa hanya karena aku tak bisa dihubungi ia sampai mengatakan akan menjadi gila dengan ekspresi frustasi seperti itu.
"Aku mau ngekost." Ujarku. Tiba-tiba saja terpikirkan begitu saja.
Om Rey kembali mengintimidasiku dengan tatapan tajamnya.
"Setelah apa yang Om lakuin sama aku, dan juga karena perasaan Om itu, aku gak mungkin masih tinggal di sini." Terangku, membuat logikaku merasa menang.
Ia terdiam beberapa saat sampai akhirnya. "Om tahu kamu juga suka sama Om." Aku sampai tercengang mendengarnya.
Aku mendengus. "Maksud Om?"
"Kamu balas mencium Om. Kalau kamu gak merasakan sesuatu pada Om, kamu gak akan menyambut Om seperti kemarin malam."
Tatapannya yang tajam berubah. Kini menatapku seakan ingin melahapku, membuat jantungku berdebar kembali dengan kencangnya.
"Kenapa wajah kamu memerah?" Tanyanya, kembali menyudutkanku. Sontak aku menyentuh pipiku dan benar saja rasanya hangat.
Aku benci ini. Kenapa tubuhku cepat sekali bereaksi pada apa yang Om Rey ucapkan?
"O-om itu..." Ucapku terbata. "Om itu suami Tante Aku! Aku akan secepatnya pergi dari sini!"
Tubuhnya diam tak bergerak. Kedua matanya mengunciku.
"Emang kenapa kalau kamu ponakannya Manda?" Tanyanya akhirnya dengan dingin tanpa rasa.
"Ya salah dong, Om!" Teriakku emosi. Bisa-bisanya ia seperti ini. "Aku tahu Tante Manda itu nyebelin. Dia sering seenaknya. Dia sombong, manja, dan mulutnya itu kadang suka gak dijaga, tapi dia tanteku! Adik dari mamaku! Aku gak paham kenapa Om Rey yang aku kenal sebagai laki-laki yang baik, sopan, penuh kasih sayang, tiba-tiba aja berubah kayak gini! Om kesepian? Om bosen, marah, karena Tante Manda selalu mentingin pekerjaannya dibandingkan Om? Kalau Om mau cari pelarian, cari pelampiasan, jangan bawa-bawa aku! Aku gak mau ikut-ikutan ngelakuin hal gila kayak gini!" Pundakku sampai turun naik setelah mengatakannya.
Sudah. Sudah ku katakan semuanya. Semoga ia mengerti dan segera sadar dan kembali menjaga hatinya hanya untuk Tante Manda. Ku bawa diriku berdiri dan bersiap menuju pintu namun sepersekian detik Om Rey sudah menarik tanganku hingga aku kembali duduk di antara kakinya. Bahkan kini kedua kakinya mengunci kedua kakiku.
"Lepasin, Om! Om jangan makin nekat ya!"
Kedua tangan Om Rey meraup pipiku, sedangkan bibirnya mulai melakukannya lagi, menjadikan bibirku tempatnya bermain. Ku coba untuk terus mendorongnya, namun sia-sia. Tenaga Om Rey begitu kuat.
Entah darimana datangnya, rasa itu kembali muncul. Aku pun jatuh ke kubangan kenikmatan itu lagi. Bukannya mendorong Om Rey untuk melepaskan cumbuannya, kini tanganku naik ke tengkuknya dan mulai meremas rambut hitam suami tanteku itu.
Gila. Iya, aku sudah gila. Ciuman Om Rey sungguh tak bisa kutolak. Rasanya begitu candu untukku.
Perlahan tangan Om Rey melepaskan raupannya di pipiku dan meraih pahaku, dan seketika aku sudah duduk di pangkuannya. Sungguh, aku tak kuasa menolaknya.
Dengan bibir yang masih terus tertaut, tangan Om Rey terus menjelajah di punggungku dan juga pinggangku.
Perlahan tapi pasti, bibirnya turun mengecup daguku, menjelajah leherku, dan rasaku semakin melayang karena perlakuannya.
Dan seakan ingin menghukum segala perbuatan kami, tiba-tiba saja seseorang mencoba membuka pintu yang terkunci itu dan kemudian...
"Rey! Buka pintunya!"
Jantungku seperti lepas dari rongganya mendengar suara Tante Manda di luar pintu kamar, bersautan dengan suara gedoran pintu dari tangannya yang ingin segera dibukakan pintu kamar.
"Om, itu Tante Manda!!" Bisikku panik, sepanik-paniknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments