...❝Cinta itu tanpa syarat, karena kalau bersyarat itu bukan cinta.❞...
...—My Bilo—...
...Banyak hal yang aku suka di dunia ini, termasuk menyenangkan hati. Dengan cara membayangkan interaksi kita yang awalnya kukira hanya sebatas mimpi.—Bianca Gibella...
...💫...
Bel jam pelajaran pertama telah berbunyi, itu artinya pelajaran Sosiologi telah berakhir yang sama dengan hukuman Bianca, Lolita, Kinar, dan Gitta pun telah berakhir pula.
Dengan tergesa-gesa mereka segera berjalan menuju kelasnya. Tentu saja, mereka masih ingin selamat dari hukuman guru selanjutnya.
"Bi ada yang pengin gue tanyain sama elo," ucap Kinar disela-sela perjalan mereka menuju kelasnya. XII Iis 3
"Ngapain musti izin, sih, Ibu Menteri Lingkungan Hidup?" timpal Lolita.
Bianca baru saja mendapat kiriman email dari Pak Fras yang merupakan tangan kanan keluarganya dalam urusan bisnis.
"Bentar Kin, ini Om Frass chat gue," sahut Bianca yang seluruh fokusnya mulai berporos pada ponselnya.
"Yaudah, nanti aja, nggak penting-penting juga sih," turur Kinar yang diangguki Bianca.
"Yaudah gue aja, tanya ke gue." Lolita memberi solusi.
"Otak lo nggak bakal mampu," jawab Kinar enteng.
"Iya Loli, kamu, kan, tau diantara kita nilai ulangan kamu yang selalu jelek. Mana mungkin kamu bisa jawab." Dua jempol teracung dari Kinar untuk Gitta.
"Gitt lo tau, 'kan, kalau gue hobi mukul samsak?" peringat Lolita yang sayangnya tak ditangkap Gitta.
"Jelaslah Loli, kita udah sahabatan lama banget. Aku juga tau kalau kamu udah taekwondo sabuk hitam. Kamu the best kalau dalam urusan pukul memukul." Rentetan kalimat tanpa beban itu lah yang selalu membuat Lolita enggan memberikan Gitta pelajaran. Gitta itu kaum lemah lembut, pantang bagi Lolita menyerangnya. Bahkan berani bertaruh, kalau Gitta tidak tahu bahwa Lolita sedang kesal padanya.
Mereka memilih untuk diam saja. Ketiganya tentu sangat memahami, jika Bianca bukan hanya sekedar seorang pelajar dia juga anak pengusaha kaya raya yang diharuskan ikut turun tangan dalam perusahaan di usianya yang masih sangat muda. Sulit, tapi Bianca sudah terbiasa.
"Lol, Kin, itu Bilo, 'kan?" bisik Gitta pada Lolita dan Kinar.
Bilo adalah nama panggilan yang dikhususkan Bianca untuk Bintang Milano si vokalis Band The Star, Alasannya sederhana, Bianca hanya tidak ingin yang lain tahu dan curiga kalau dirinya mencintai seorang most wanted yang nyaris diminati seluruh siswi Starmoon.
Lolita dan Kinar mengikuti arah pandang Gitta. Lolita dan Gitta saling berpandangan, hanya butuh tiga detik untuk mereka mendapatkan pemikiran yang sama. Lolita lantas menarik tangan Kinar untuk ikut berpartisipasi dalam rencananya dengan Gitta.
Bianca tidak sadar kalau ke tiga sahabatnya tak lagi di sampingnya, dirinya terlalu memusatkan perhatiannya pada dokumen-dokumen Laporan Keuangan yang tertera.
Lolita, Kinar, dan Gitta sudah menempatkan diri lebih dulu. Mereka memilih bersembunyi dibalik tembok tepat di belokan koridor.
Dan...
"Awsh ... siapa yang naro dinding di tengah jalan sih!" gerutu Bianca yang belum sadar kalau yang ditabraknya barusan bukan lah dinding melainkan, Bu Yura.
Bu Yura ialah guru yang punya postur tubuh tinggi besar yang kini tengah tertidur di lantai akibat tabrakan dadakannya bersama Bianca, yang mana cukup membuat ke duanya terjatuh ke lantai.
Bianca panik saat melihat bahwa yang menjadi korban kecerobohannya kali ini adalah Sang Guru. Bianca merutuki kebiasaanya yang selalu saja tak acuh akan sekitar jika sudah memfokuskan diri pada satu hal.
Bianca lebih dulu bangkit, saat dirinya berniat membantu Bu Yura ia baru menyadari jika Bu Yura tidak sendirian, tepat di belakang beliau terdapat seorang pemuda tampan yang sedang tercenung dengan tumpukan buku ditangannya.
Pupil matanya melebar, bola matanya seperti ingin keluar.
Niat Bianca untuk menolong Bu Yura telah lenyap di makan gugup. Kini mata yang biasanya menyorotkan kobaran kepercayaan diri kala membanggakan diri di depan para sahabatnya berganti dengan sorot mata salah tingkah.
Jantungnya mulai bereaksi, keringat dingin juga mulai membanjiri. Kenapa Bintang selalu membuatnya sekacau ini?
Bahkan dirinya sampai lupa dengan niat awalnya yang ingin menolong Bu Yura.
Tadi aku jatuhnya elegan nggak ya?
Muka aku terkontrol nggak ya tadi pas jatuh?
Kalau jelek gimana?
Bianca malah asyik berperang dengan pertanyaan-pertanyaan konyolnya, dan melupakan bom waktu yang siap meledak dalam hitungan detik.
Dan pada akhirnya suara bom atom itulah yang menyadarkannya.
"Bianca! Saya jatuh bukanya kamu bantuin, malah bengong!" bentak Bu Yura kesal.
Bianca gelagapan, dirinya langsung sigap membantu Bu Yura yang kini sudah terduduk.
"Maaf Bu, saya nggak sengaja. Saya tadi lagi nggak fokus, jadi enggak liat," jelas Bianca ketar-ketir. Dirinya bukan takut kena semburan Bu Yura, tapi dirinya lebih ke malu. Takut Bintang ilfil sebelum waktunya.
"Alasan kamu!"
"Maafkan saya Bu." Bianca menunduk merasa malu juga merasa bersalah.
Bu Yura mendengus.
"Ya ya saya maafkan! Lain kali kalau jalan itu jangan cuma kaki yang dimanfaatkan, matanya juga, jangan main handphone terus," cecar Bu Yura. Bu Yura memang terkenal karena kejudesan dan kegalakannya, jadi Bianca sudah tidak ambil hati akan nada ucapan Bu Yura.
Bianca hanya mengangguk patuh, lagi-lagi alasannya, karena malu dan merasa bersalah.
Jujur Bianca tidak masalah jika dimarahi di depan 100 siswa dari pada di depan satu siswa tapi itu Bintang, sang gebetan. Sungguh itu terlihat memalukan.
"Yasudah saya permisi dulu—"
"Tolong bantuin Bintang bawa bukunya, anggap aja sebagai hukuman buat kamu!" Bianca terhenyak mendengarnya, ternyata hukuman terindah sepanjang masa itu keluar dari mulut Bu Yura.
Setelahnya Bu Yura pergi seraya mengomel ngalor-ngidul meninggalkan Bianca dan Bintang dalam suasana yang sangat canggung.
Mereka saling lirik, Bianca dengan pandangan menahan malu dan Bintang yang tersenyum kecil sebagai bentuk sapaan.
Senyuman pemuda itu masih jadi candu. Meskipun Bianca enggan untuk melihatnya secara terang-terangan, tapi lirikannya masih mampu menangkap lengkungan itu dengan jelas.
"Sini gue bantuin," ucap Bianca pada akhirnya, dia sedang berusaha memberanikan diri meskipun hatinya sedang di buat mleyeot habis-habisan karena jarak ke duanya terlalu dekat, rasanya dia ingin melarikan diri saja. Bukan apa-apa, kakinya sudah mulai melemas, dan sangat tidak lucu jika nantinya dia harus meluruh dengan alasan yang mungkin akan terdengar konyol di telinga pemuda itu.
"Enggak perlu," imbuh Bintang dengan pandangan yang melekat ke arah mata Bianca.
Bianca mengerjapkan matanya, apa itu bisa diartikan Bintang tidak mau berdekatan dengannya? Semacam sebuah penolakan kah?
"Oh yaudah." Hanya dua kata itu yang mewakili rasa kecewa Bianca karena asumsinya yang berlebihan.
Tepat saat Bianca berbalik arah. "Siapa yang nyuruh pergi?" tanya Bintang datar.
Bianca pun kembali memutar tubuhnya. "Katanya gak usah di bantuin." Bianca melarikan matanya. Tanda kalau dirinya sedang gugup.
"Temenin aku! Kamu cukup nemenin aku, jalan bareng aku, di samping aku!" ujar Bintang yang lebih mirip perintah mutlak.
Bianca mematung. Aku kamu? Apa Bintang biasa seakrab itu dengan seseorang?
"Jangan bengong!" Bintang menjentikkan jarinya ke depan wajah gadis yang kembali tersadar dengan pipi yang tak lagi seputih tadi. Gadis itu sedang merona.
Dan itu tak luput dari penglihatan Bintang, tanpa disadari gadis itu Bintang terkekeh geli menyaksikan perubahan warna di pipi Bianca.
Bianca pun menuruti ucapan Bintang.
Mereka berjalan tanpa bicara. Bianca yang sibuk menenangkan debaran jantungnya dan Bintang yang sibuk mencuri-curi pandang ke arah Bianca.
Dan sampailah mereka di pintu dengan tulisan 'XII IIS 5' di atasnya.
"Tunggu ya!" ucap Bintang sebelum benar-benar memasuki kelasnya.
Bianca bingung, tapi karena stok kata-katanya yang mendadak habis jadi dia memilih menurut saja.
Setelah meminta izin terlebih dahulu pada Bu Yura, Bintang pun langsung menghampiri Bianca, dia menarik tangan Bianca untuk lebih menjorok ke luar agar interaksi ke duanya tak terlihat oleh para siswa yang berada di kelas.
Bintang mengulurkan tangannya ke arah Bianca. "Kenalin aku Bintang, kamu ..." Bintang melirik sekilas ke arah name tag Bianca. "Bianca Gibella?"
Bianca belum berani mengembuskan napasnya sesaat setelah dengan berani Bintang memegang tangannya. Entah kenapa tangannya yang dipegang tapi justru hatinya yang tergenggam.
Apalagi barusan Bintang mengajaknya kenalan. Meskipun nyatanya, Bianca sempat sedih karena Bintang telah melupakan wajahnya, karena kalau Bintang ingat harusnya tidak perlu ada sesi kenalan ulang.
"Iya aku Bianca." Dari sekian kata yang ingin diutarakan, hanya kata-kata itu yang mampu diucapkan oleh gadis itu.
"Kita udah kenalan, jadi dari mulai hari ini kita dekat. Kalau kita ketemu aku sapa, kamu harus nyaut ya?"
Jantungnya mulai berulah kembali, Bianca takut Bintang bisa mendengarnya saking kuat debarannya, di tambah pipinya yang terasa panas.
Bintang tentu menyadari pipi Bianca yang merona.
"Gimana, boleh?"
Seperti terhipnotis Bianca hanya mengangguk patuh.
Bintang tersenyum kecil. "Yaudah aku masuk dulu ya."
Bianca hanya bisa mengangguk.
Saat Bintang ingin berbalik, Bintang teringat sesuatu. Ia merogoh kantong kemeja putihnya menyerahkan satu bungkus tisu dengan gambar motif Doraemon pada Bianca.
"Buat lap keringet kamu ... sama buat nutupin pipi merah kamu," jelas Bintang kemudian masuk kelas seraya mengulum senyuman.
Pada akhirnya, Bianca tak lagi kuat untuk menahan lengkungan otot di bibirnya yang sedari tadi sudah meronta-ronta minta dibebaskan.
Ucapan Bintang tadi itu seperti de javu. Bedanya kali ini Bintang menambahkan kalimat lain diakhir.
Bianca semakin di buat senang saat Bintang memberinya sebuah tisu dengan motif Doraemon tokoh kartun favoritnya.
Bianca meninggalkan kelas Bintang dengan perasaan bahagia.
Bianca dengan dunianya, Bintangnya.
Tring!
Mr. Lucky
Semua akan berjalan sesuai apa yang kamu pikirkan. Berasumsi lah bahwa apapun yang ingin kamu miliki adalah milikmu, maka kamu akan mendapatkannya. 💙
...💫...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments