"Perih?" Tanya Angkasa saat Bulan meringis ketika ia mengoleskan salep pada lukanya. Lukanya memang tak seberapa, tapi cukup perih dan membekas.
Bulan mengangguk, membuat angkasa meniupi lukanya. "Kenapa kamu repot-repot ngurusin aku Sa?"
Sesaat Angkasa diam tak bergerak, ia menatap Bulan lalu tersenyum, "Gak papa," jawabnya.
"Zeni itu sahabat kamu juga, kalau kamu mau belain dia silahkan. Aku memang salah dorong dia," ungkap Bulan. Ia akui ia salah, tapi ia melakukan itu untuk membela diri.
Angkasa menghela napas panjang, menutup tube salep lalu menyimpannya di bangku. Ia tatap Bulan lalu tersenyum, "Ini bukan perihal sahabat atau bukan, Lan. Gue gak suka aja dia main kasar," ucapnya.
"Aku juga udah kasar dorong dia," lirih Bulan. Ia duduk lurus, menatap bunga-bunga indah di hadapannya.
"Gue ngerti, Lo lakuin itu supaya dia lepasin Lo kan? Kalau gue boleh tahu, kenapa kalian bisa berantem?"
"Ish, aku gak berantem.." elak Bulan. "Cuma dorong dikit doang," ucapnya lagi.
Angkasa tertawa, mengusap gemas puncak kepala Bulan, "Sama aja, beda-beda tipis."
"Berantakan rambut akunya, lagian kamu kepo banget urusan cewek."
Melihat bibir mengerucut Bulan, angkasa mencubit pipi gadis itu dengan gemas, "Gak usah manyun juga kali."
"Sakit, Sa. Aku tahu aku ngegemesin, tapi jangan di cubit juga."
Angkasa kembali tertawa, kali ini Bulan pun ikut tertawa.
"Dia bilang, aku harus tahu diri. Aku gak boleh ngejar-ngejar Bintang lagi, aku gak terima lah.."
"Terus, kenapa dia bisa bikin luka tangan Lo? Lo ngomong apa emangnya?"
"Aku bilang, suka-suka aku. Emang dia siapa? Pacarnya Bintang juga bukan kan? Mana ada sahabat posesif gitu, eh dia marah terus narik tangan aku. Jadi gini deh.."
"Ternyata Lo berani juga yah," komentar Bintang seraya tertawa. "Dari pada ngejar-ngejar Bintang, gimana kalau Lo pacaran sama gue aja?"
"Hah?" Bulan menganga, "Ceritanya kamu nembak aku?"
Angkasa semakin tertawa melihat wajah Bulan yang tampak begitu polos dan menggemaskan, "Ya kali gue mau pacaran sama cewek yang gak bisa move on dari sepupu gue. Ogah.."
"Ish, ngeselin!"
Angkasa menghentikan tawanya, ia menatap Bulan dengan lekat, "Andai aja Lo gak suka sama Bintang, mungkin gue bisa leluasa deketin Lo."
"Ngeselin lagi kan, udah ah aku mau ke kelas." Bulan beranjak, meninggalkan Angkasa yang tampak terkekeh. Pemuda itu lalu beranjak menyusul Bulan, mensejajarkan langkahnya lalu merangkul bahu gadis itu.
***
Zeni berdecak karena sejak tadi Bintang mendiamkannya. Pemuda itu tak bicara apapun sejak pergi membawanya menjauhi Bulan.
"Bintang, Lo marah?" Tanya Zeni, "Dia yang dorong gue. Lagian juga gue tuh kesana cuma mau bantuin Lo supaya dia gak ngejar-ngejar Lo lagi."
Bintang menghela nafas panjang, lalu menoleh menatap Zeni, “Kamu gak perlu lakuin itu. Bulan urusanku,” ucapnya.
Zeni menatap Bintang dengan lekat, “Lo mulai suka sama dia kan?”
“Zen, aku bilang itu urusanku. Kamu bisa kan gak ikut campur?”
Zeni tak menjawab, ia pergi begitu saja. Membawa rasa kesal karena sikap Bintang. Namun beberapa saat kemudian gadis itu kembali menghampiri Bintang lalu duduk di sebelah pemuda itu, membuat Bintang menoleh tanpa bertanya.
“Gue suka sama lo!”
Tiba-tiba Zeni menyatakan perasaannya. Gadis itu menatap Bintang dalam, berharap pemuda itu menerima perasaannya meski ia sendiri ragu mengingat Bintang sangat sulit untuk membuka hatinya.
“Udah sejak lama, Bintang. Udah lama gue suka sama lo. Dan kali ini gue gak bisa diam lagi, gue cinta sama lo.” Zeni mempunyai ketakutan tersendiri dengan kegigihan Bulan mengejar Bintang. Sementara selama ini, ia hanya menyukai Bintang dalam diam, tak mempunyai keberanian seperti Bulan untuk menunjukan rasa sukanya secara terang-terangan. Nalurinya sebagai perempuan kuat, ia bisa melihat ketulusan dan kekuatan cinta Bulan. Dan tidak menutup kemungkinan Bintang akan luluh, bahkan mungkin sudah.
“Zen..”
“Dengerin gue dulu Bintang,” ucapnya.
Bintang hanya mengangguk sebagai jawaban. Helaan nafas gusar terdengar berhembus dari bibirnya, ia sudah mengira Zeni memang menyukainya. Hanya saja gadis itu tetap diam, dan diamnya Zeni memang yang Bintang harapkan.
“Udah sejak kita masih SMP, Bintang. Tapi gue gak punya keberanian untuk bilang, gue takut lo justru ngejauhin gue. Gue takut rasa cinta gue ke lo justru merenggangkan persahabatan kita. Tapi kali ini gue gak bisa nahan lagi, gue mau lo tahu kalau gue sayang sama lo. Bukan hanya sayang sebagai sahabat, tapi lebih dari itu. Maafin gue, gue gak bisa nahan perasaan gue, gue cinta lo Bintang..”
Bintang memejamkan matanya sejenak, ini yang dia tak mau. Ia bingung harus menjawab apa, jika ia menolak, hubungan persahabatan mereka tak akan senyaman sebelumnya. Canggung, itu pasti.
“Zen, tapi buat aku persahabatan kita lebih penting. Aku lebih nyaman kita sahabatan. Dalam persahabatan gak ada kata putus, maaf.”
Zeni menunduk, setetes air bening membasahi ujung matanya, “Please Bintang, kasih gue kesempatan sebentar aja. Biarin gue ngerasain jadi pacar lo, gue mohon..” lirihnya.
Bintang menggeleng, “Sorry, Zen. Aku gak bisa, aku lebih suka kita sahabatan aja. Kita bisa tetep deket sebagai sahabat, ok?”
Zeni tak dapat lagi menahan tangisnya, dadanya sesak. Ternyata penolakan itu semenyakitkan ini. Lalu kenapa Bulan bisa begitu kuat meski berulang kali Bintang menolaknya? Apa cinta yang Bulan punya bukan cinta biasa? Hingga Bulan terus gigih mengejar Bintang walau tak sekali dua kali Bintang bahkan mengatakan terganggu dengan semua yang Bulan lakukan.
Bintang yang tak tega melihat Zeni menangis menarik gadis itu dan mendekapnya, “Maaf..” lirihnya.
Tanpa Bintang sadari, di dekat pintu masuk Bulan berdiri menatapnya dengan nanar. Pemandangan itu benar-benar menyakitinya. Bintang memeluk Zeni untuk menenangkannya karena pertengkarannya dengan gadis itu beberapa saat lalu, begitu yang Bulan pikirkan.
“Lan, lo gak papa?”
Pertanyaan itu membuat Bulan sontak mengerjap dan menghapus air mata yang terlanjur menetes, ia menoleh, “Kamu tahu kan aku sekuat apa? Lagian Bintang juga udah bilang kalau aku gak boleh ganggu dia lagi. Aku baik-baik aja, Sa. Aku ke kelas dulu..” Bulan tersenyum lalu pergi.
“Tapi Lan..” Angkasa tak melanjutkan kalimatnya, ia menatap Bulan yang sudah berjalan menjauh. Lalu menoleh pada Bintang yang ternyata juga menatapnya.
“Ngapain kalian peluk-pelukan?” Tanya Angkasa sesaat setelah ia berdiri di dekat Bintang dan Zeni.
Zeni menghapus air matanya dengan cepat, lalu menoleh pada Angkasa. Belum sempat ia berkata apapun, Angkasa mendahuluinya.
“Lebay banget, ngerasa tersakiti banget kayanya lo Zen. Gue gak suka yah lo main kasar kaya tadi, gue tahu Bulan juga salah udah dorong lo, tapi dia gak akan ngelakuin itu kalau lo gak mulai duluan. Gue tahu siapa Bulan, dia gak mungkin ngusik orang kalau gak di usik duluan,” ucap Angkasa.
Kalimat itu mengusik kemarahan Zeni, ia berdiri dan menggebrak meja dengan keras, membuat Angkasa dan Bintang terkejut. Karena baru kali ini Zeni meluapkan emosinya dengan berapi-api. “Kenapa Sa? Lo gak terima gue kasar sama Bulan? Atau jangan-jangan lo suka sama dia, iya? Punya apa sih si Bulan? Kenapa lo ngebelain dia sampai segininya. Gue yang sahabat lo dari dulu aja gak pernah lo belain kaya gini.”
Setelah mengatakan kalimat itu Zeni pergi begitu saja, gadis itu tampak kembali menangis. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Peribahasa yang pas untuknya saat ini. Sudah di tolak di salahkan pula. Meski pun ia memang salah, tapi karena perasaannya tengah kacau, ia tak terima dengan ucapan Angkasa yang justru membela Bulan dari pada dirinya.
“PMS kali tuh anak,” gumam Angkasa. Ia menoleh pada Bintang, tatapan tajam sepupunya itu membuatnya mengangkat tangan, “Ampun, gue gak ganggu lo.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
𝑸𝒖𝒊𝒏𝒂
typo "komentar angkasa" x ya nel bukn "komentar bintang"
2023-08-13
2
Arkan_fadhila
bulshit semuanya
2023-08-13
0
Mey-mey89
hadirrrr
2023-08-13
2