POV ZIDAN
“Mas gimana? Masih nggak mau buka pintu istri pertamamu? Ya sudahlah mas.. biarkan saja! Kan masih ada aku.” ucap Sofie yang tiba-tiba saja membuatku dongkol.
“Kalau dia mau buka pintu, aku tidak mungkin masih disini! Kalau bertanya itu yang pakai logika!” bentakku membuat Sofie terdiam. Tak peduli apa yang dia pikirkan.
“Minggir kamu! Aku mau dobrak pintunya!” pintaku dengan nada suara yang meninggi. Terlihat mata Sofie berkaca-kaca.
Tapi aku tidak memperdulikannya karena fokusku saat ini ada pada Aruna. Sofie pun menyingkir, dan aku pun mulai mengambil ancang-ancang. Satu, dua, dan...
Brak!! Brak!! Brak!!!
Akhirnya setelah mencoba tiga kali hingga badanku terasa sakit, pintu itu terbuka juga .
“Ma! Mama!”panggilku.
Aku mencari saklar lampu karena suasana di dalam kamar seperti kosong.
Ctek!
Betul saja, saat lampu menyala Aruna tidak ada di dalam kamarnya. Jelas saja membuatku semakin panik.
“Ya Tuhan ma.. Kamu kemana? Ini sudah larut malam. Kenapa pergi tidak memberi kabar?” lirihku.
Jujur saja aku merasa panik. Ada-ada saja Aruna itu. Kenapa egois sekali. Pakai drama pergi dari rumah tanpa pamit pula. Seperti anak kecil saja. Apa salahnya menerima pernikahan ini. Dan juga aku menikah lagi semata-mata agar bisa mendapatkan anak dan bisa menjaga kita kelak jika sudah tua nanti.
“Mas sudahlah! Mbak Aruna itu sudah besar. Mungkin dia sedang mencari ketenangan agar pikirannya tenang. Mungkin mbak Aruna pergi kerumah orangtuanya. Karena jika mengadu ke mertua tidak mungkin! Orang tuamu kan sudah meninggal mas!” ucap Sofie.
“Sudah kamu diam saja! Masuk kamar sana! Jangan buat aku tambah pusing! Cepat keluar dan masuk ke kamarmu!” ujarku membentak karena tidak ingin Sofie menjadi pelampiasan amarahku.
“Dimana-mana, malam pengantin tuh dilalui dengan senang-senang. Eh yang ada malah kayak gini!” protesnya seraya berlalu.
Seperginya Sofie, sejenak aku duduk di depan cermin. Memikirkan kemana Aruna pergi. Mungkinkah dia pulang ke rumah mertuaku? Tapi sepertinya tidak mungkin karena rumah mertuaku terbilang sangat jauh. Aku tahu betul tentang Aruna, dia tidak mungkin pergi jauh tanpa pamit padaku. Selama tujuh tahun menjadi istriku, baru kali ini dia meninggalkan rumah tanpa pamit. Netraku menangkap sebuah buku catatan miliknya. Aku pun penasaran dan membuka buku itu. Siapa tahu dapat kutemukan petunjuk. Biasanya, perempuan suka menuangkan suara hati nya di sana.
[AKU SAKIT] Ku baca judul dalam tulisan di atas dengan seksama. Namun, sebelum itu aku beranjak untuk menutup pintu kamar kemudian mengganjalnya dari dalam menggunakan sofa. Karena pintunya rusak dan tidak bisa terkunci. Dan jelas aku tidak ingin Sofie masuk tiba-tiba disaat aku tengah serius membaca goresan tinta dari tangan Aruna.
[Hari ini adalah hari pernikahan suami dan teman dekatku. Teman yang bekerja sebagai sekretaris suamiku di kantor. Ini seperti mimpi dalam hidupku. Semua ucapan mas Zidan yang akan setia semua hanya ucapan semata. Tidak ada pembuktiannya. Apakah memang seperti itu ucapan lelaki? Tidak bisa dipegang? “Saya akan menerima Aruna apa adanya pak. Bahkan sekalipun Aruna mandul, saya akan tetap setia dan menjaganya saat suka dan suka” ucapnya kala itu sebelum menjadikanku seorang istri. Namun, itu semua hanya ungkapan belaka. Faktanya dia menikah lagi.]
[Aku hanyalah wanita biasa dan juga lemah. Saat suamiku mengutarakan keinginannya untuk menikah lagi, jelas saja serasa sangat sakit sekali. Duniaku seakan runtuh. Aku seperti tidak memiliki kaki agar kuat untuk berdiri. Wajar aku merasa seperti itu karena aku mencintai suamiku.]
[Hal yang paling menyakitkan adalah saat dia memintaku untuk menghadiri acara pernikahannya. Sungguh, hati suamiku seolah-olah sudah tertutup oleh kabut yang lebat. Apa dia tidak memikirkan bagaimana perasaanku? Dan bagaimana sakitnya aku menyaksikan pernikahan itu? Saat mendengar kabar bahwa dia ingin menikah, dan melihatnya bermesraan dengan calon istri barunya saja sudah sangat menyiksa dan membuat dada ini sangat sesak, terasa sakit untuk bernafas. Apalagi menyaksikan pernikahan itu? Aku tidak cukup kuat untuk melakukannya. Hingga aku pun memilih untuk tidak menghadirinya. Bahkan melihat pakaian yang diberikan calon maduku saja sudah mampu membuat air mataku mengalir begitu deras.]
[Sekarang aku pun sudah tidak tahu lagi untuk kedepannya nanti seperti apa? Ikhlas kah aku di madu oleh mas Zidan? Meskipun aku tahu, aku tidak sempurna dan suamiku memang punya hak untuk menikah lagi. Aku sadar akan itu, tetapi aku tidak bisa berdalih bahwa hatiku pun tidak siap. Rasanya sangat-sangat menyakitkan. Aku tak mampu jika harus melihatnya keluar kamar bersama perempuan lain. Aku tidak sanggup! Entahlah, apakah mungkin aku dapat bertahan? Atau memilih untuk meninggalkan mas Zidan. Tapi yang pasti saat ini aku sangat merasakan sakit yang begitu dalam…]
“Kamu tidak boleh meninggalkan aku Aruna. Kamu harus bertahan. Aku akan memberimu sebuah pemahaman dan nasihat betapa pentingnya seorang anak untuk masa tua kita nanti. Rasa sakitmu akan hilang seiring berjalannya waktu.”
“Maafkan aku yang tidak bisa menepati janjiku. Karena bagiku keturunan itu sangat penting Runa... Tapi aku janji, aku akan terus menyayangimu. Kamu hanya perlu waktu untuk menerima semua ini dan menghilangkan rasa sakitmu. Aku yakin kamu akan bisa menerimanya karena aku tahu kamu mencintaiku dan tidak bisa hidup tanpaku. Aku yakin itu. Kamu hanya harus mengesampingkan egomu Runa…” ucapku pelan.
Tok ...tok ... tok ....!
“Mas aku ngantuk! Cepat buka pintunya! Kamu ngapain sih segala pake ditutup gini pintunya?” teriak Sofie dari luar.
Aku pun segera beranjak. Kembali menarik sofa dan membuka pintunya.
“Kamu ngapain sih mas?” protes Sofie.
“Nggak ada sayang. Maaf ya mas tadi ngebentak kamu.” ujarku sembari mengelus lembut rambutnya.
Sofie nampak sangat cantik dengan lingerie berwarna putih tipis yang ia kenakan.
“Aku ngerti kok, aku paham perasaan kamu mas.” ujarnya seraya bermanja.
“Kamu sudah merasa tenang? Apa sudah tahu dimana keberadaan mbak Aruna?” tanyanya.
“Sudah. Benar kata kamu, mungkin Aruna sedang menenangkan pikiran. Jadi biarkan saja dulu. Nanti juga dia pulang. Dia sudah bukan anak kecil lagi dan pastinya punya pikiran." Aku dan Sofie pun melanjutkan langkah kami menuju kamar pengantin yang mungkin sudah disiapkan oleh Sofie meskipun tidak seindah kamar pengantin lainnya. Tapi yang terpenting kamarnya luas dan cukup nyaman untuk kami menghabiskan malam bersama.
Krek!
Langkahku terhenti seiring bunyi pintu terbuka.
“Panjang umur mas. Itu mbak Aruna pulang!” ucap Sofie. Aruna melirik penampilan Sofie dari atas hingga bawah. Mungkin dari ujung kepala hingga ujung rambut. Segera aku pun menghampirinya.
“Dari mana kamu?” tanyaku.
“Dari tempat teman.” Singkatnya terlihat malas menjawab.
“Kenapa tidak meminta izin padaku? Ingat, Runa! Aku ini suamimu! Hormati dan hargai keberadaanku!” ujarku mengingatkan.
“Aku sudah meminta izinmu, aku sudah mengirim pesan untukmu. Tapi mungkin kamu terlalu sibuk hingga tak sempat membaca pesan dariku!” ujarnya seraya berlalu.
“Sudah mas, tak usah berdebat. Aku lelah dan ingin segera beristirahat. Mau punya anak gak?” bisik Sofie mesra.
Belum sempat kami masuk ke kamar, Aruna kembali keluar sambil menggelengkan kepala.
“Mau kemana kamu?” tanyaku lagi.
“Pindah kamar! Sepertinya ada yang sudah lancang masuk ke kamarku dan merusak pintunya. Entah kenapa orang itu suka sekali mengusik ketenanganku!” singkatnya.
“Oh, mbak Aruna mau pindah kamar ya? Bagus deh. Biar aku saja kalau begitu yang menempati kamar mbak Aruna ya?” ucap Sofie.
“Mas, kita pindah ke kamar mbak Aruna saja yuk!” ajak Sofie.
“Tapi Sof?” bantahku.
“Pakailah kalau kalian ingin! Dan aku akan tidur di kamar atas” ujar Aruna seraya bergegas menyusuri anak tangga.
“Sebaiknya kita memakai kamar lain saja, Sof! Apalagi disitu masih terisi pakaian Aruna.” ujarku karena ada perasaan tidak enak.
“Nggak apa-apa mas. Toh mbak Aruna juga yang mengizinkan kok!” jawabnya.
“Tapi Sof!?” ucapku ragu.
“Nggak ada tapi-tapian! Ayo cepat!” Sofie pun menarik tanganku dan membawaku masuk ke kamar Aruna.
Sampai di dalam, bau parfum Aruna begitu menyengat. Membuatku merindukan akan kehangatan tubuhnya.
“Mas..?” Rajuk Sofie setelah menutup pintu.
"Hum?” sahutku.
“Tolong matikan lampunya ya.” ucapnya. Aku pun mengangguk dan bergegas melakukan permintaannya.
* * * * * * *
POV ARUNA
‘Demi Tuhan ini sangat menyakitkan. Kalau mereka benar-benar pindah ke kamar aku dan mas Zidan sementara semua pakaian dan barangku masih ada di kamar itu, mereka memang benar-benar tidak berperasaan dan tidak ada lagi otak yang waras!. Aku tidak boleh lemah dan aku harus kuat. Semua sudah terjadi, kini aku hanya bisa pasrah. Mencoba bertahan dan lihat sampai mana batas kesabaranku. Akan ku saksikan bagaimana sikap dan perlakuan mereka kedepannya.’ batinku menangis.
Baiknya aku diam terlebih dulu sambil memperhatikan bagaimana sikap mereka. Untuk mencari kesibukan pun, mungkin aku akan kembali bekerja. Aku akan mencari pekerjaan di kantor Alex yang tak lain adalah saingan dari perusahaan mas Zidan. Aku juga akan meminta menjadi sekretarisnya. Aku tahu betul bahkan mas Zidan sangat membenci Alex. Dia mengira kalau Alex yang tak lain adalah teman kuliahku dulu itu, memiliki rasa untukku. Padahal itu hanyalah pemikiran mas Zidan saja. Permusuhan mereka bukan hanya dari bangku kuliah karena kebetulan kami kuliah di tempat yang sama. Tapi hingga ke perusahaan kami yang juga bersaing dengannya. Terutama produk yang dijual oleh perusahaan kami juga produk yang bersaing di pasaran. Ideku terlalu banyak tertimbun selama ini. Kini waktunya aku keluarkan semua kemampuan yang aku punya untuk bersaing dengan suamiku sendiri. Begini caraku mengobati luka hati yang telah kau torehkan mas.
‘Caramu meminta izin menikahi temanku sangat menyakitiku. Kau terus ingatkan aku sebagai wanita yang tak sempurna. Kau bilang mencintaiku dan mau menerima kekuranganku. Bahkan saat aku mandul sekalipun. Tapi kenyataannya? Ucapanmu, janjimu, hanyalah pemanis yang kau gunakan untuk mendapatkanku dulu. Aku bukanlah wanita mandul karena dokter pun tidak mengatakan aku mandul. Hanya saja, memang aku belum dipercaya untuk memiliki keturunan. Tapi kau sudah menjudgeku seperti itu. Caraku membalas sakit hatiku dengan bekerja di perusahaan musuhmu. Kau bekerja bersama istri barumu, lantas aku menjadi babu di rumah ini karena aku wanita rumahan? Oh tidak mungkin! Jika esok kau memberiku tugas seperti itu, maka aku akan dengan tegas menolaknya! Mari kita mulai permainan kita mas! Aku pun ingin melihat seberapa adilnya dirimu!’ batinku memaki.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Kyoya Hibari
Pengalaman yang luar biasa! 🌟
2023-09-03
1