POV ZIDAN
“Apa pertanyaan untuk apa yang aku inginkan masih berlaku?” ucapnya menatap kedua bola mataku. Ada kesedihan mendalam diwajah wanita yang sudah mendampingiku selama 7 tahun.
“Iya, ma. Apapun itu. Asal mama jangan mendiamkan papa seperti itu!. Papa sangat sayang sama mama.” ucapku hendak meraih tubuh Aruna ke pelukanku. Namun, wanita itu langsung menghindarinya.
“Jawab permintaan aku dulu!” singkatnya tanpa menambahkan mama ataupun papa.
“Katakan ma.”
“Batalkan pernikahan kamu dan Sofie. Apa papa bersedia?” pintanya membuat tenggorokanku terasa kering dan jantungku terasa berhenti saat itu juga.
Sejenak aku terdiam tidak langsung menjawab permintaannya. Ini tidaklah mungkin. Semua keperluan pernikahan sudah disiapkan. Undangan juga sudah disebar. Lantas bagaimana mungkin aku membatalkan pernikahan ini. Aku tidak mungkin bisa melakukannya. Itu sama saja aku menyakiti hati Sofie.
“Tolong dijawab bapak Zidan! Apa anda bersedia membatalkan pernikahan anda dengan teman dekat saya Sofie?” tegasnya membuatku sedikit tersentak.
“Tapi, ma... itu tidaklah mungkin. Semua keperluan pernikahan sudah siap. Mama sendiri yang menyetujuinya. Ingat ma. Papa inginkan seorang anak. Mama jangan hanya ingin dimengerti. Tapi juga tolong mama mengerti papa!” ucapku sedikit membentak.
“Selama ini aku sudah cukup sabar. Dari promil, program bayi tabung dan sebagainya. Dari vitamin sampai apapun, sudah kita lakukan. Tapi nihil ma! Papa ingin menggendong anak papa. Kamu tidak bisa memberikannya. Oleh sebab itu papa juga punya hak untuk menikah lagi.” tegasku meremas kedua bahunya.
“Kamu jangan egois ma. Banyak perempuan yang ikhlas berbagi suami jika sang istri tidak sempurna. Karena apa? Mereka sadar akan ketidaksempurnaannya. Lagipula kita bertiga bisa hidup rukun ma. Papa juga akan bersikap adil terhadap mama dan Sofie!” ucapku panjang kali lebar. Sementara Aruna hanya diam. Entah mendengarkan aku atau tidak.
“Tapi papa tidak mau mengadopsi anak dari panti asuhan misalnya” timpalku.
“Itu tidak bisa dijadikan alasan pak Zidan! Kita bisa angkat anak dari panti dan menyayanginya sepenuh hati. Pasti kamu akan bersedia jika benar kamu mencintaiku, mas!” tegasnya sembari menahan air mata yang hampir terjatuh.
“Lagipula, tidak ada wanita manapun yang rela berbagi suami. Itu sangat menyakitkan. Membayangkan saja aku sakit. Ya Allah, entah aku kuat atau tida, mas!”
“Kalau memang bentuk cinta kamu dengan tidak menerima kekuranganku, alangkah lebih baiknya aku tidak dicintai olehmu asal kamu bisa setia kepadaku.” lirihnya tegas.
“Jika kamu sudah selesai berbicara, sekarang tolong biarkan aku yang berbicara. Pertama, aku ingin seorang anak keturunanku sendiri. Aku inginkan darah dagingku sendiri! Bukan anak adopsi. Aku punya hak atas keturunan. Aku harap kamu bisa mengerti. Terserah kamu mau terima atau tidak! Maaf, aku tidak bisa membatalkan pernikahan dengan Sofie. Meskipun, sebesar gunung aku mencintaimu. Tolong mengerti aku! Jangan selalu aku yang mengerti kamu.” ujarku. Aruna hanya terdiam sambil menganggukkan kepala.
"Baik kalau memang itu maumu! Tapi aku minta maaf sama kamu mas Zidan. Aku tidak sanggup jika harus dimadu. Lebih baik kamu segera ceraikan aku!” tegasnya.
Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau menceraikan Aruna. Aku sangat mencintainya.
“Aku tidak akan pernah mau menceraikan kamu sampai kapanpun! Apa susahnya sih menerima Sofie sebagai madumu ma? Dia akan memberi kita seorang anak, dan yang terpenting anak itu darah dagingku sendiri Sayang.. Tolong mengerti itu! Dan ya, perempuan sangat berdosa jika meminta cerai.”
“Apa salahku padamu hingga kamu meminta untuk cerai? Aku tidak berselingkuh. Bahkan aku juga meminta izin-mu untuk menikahi Sofie. Tolong jangan egois ma! Kamu sendiri yang saat itu menyetujuinya! Kenapa setelah semua siap kamu membuat masalah, drama gak jelas seperti ini? Harusnya dari awal saja kamu menolaknya, jika memang kamu tidak mengizinkan aku untuk menikahi Sofie!” Akhirnya suaraku mulai meninggi juga.
“Dan ya.. kalau aku membatalkan pernikahan ini, sama saja aku melukai hati Sofie. Jadi aku minta sama kamu, mengertilah aku untuk kali ini saja!” tekanku.
Sekali lagi Aruna hanya mengangguk mantap. Tidak ada lagi air mata yang keluar membasahi pipi mulusnya itu. Bahkan dengan cepat perempuan itu mengusap sisa air mata yang masih tertinggal di sudut matanya.
“Sepertinya percuma mendebatmu mas! Percuma juga aku ungkapkan isi hatiku. Lagi pula kamu tetaplah pada pendirianmu untuk menikah lagi bukan? Kamu memikirkan hati Sofie, tapi kamu tidak memikirkan hati aku mas! Apakah aku merasakan sakit hati? Apakah aku merasa kecewa? Apakah aku dapat menerima semua ini? Kamu tidak peduli! Justru yang ada dipikiran kamu saat ini hanyalah keinginan untuk menikahi Sofie!” ujarnya.
“Benar! Aku memang saat itu mengiyakan. Tapi karena apa mas? Karena kalian menekanku! Menghinaku sebagai wanita tidak sempurna! Saat itupun aku sadar mas. Ketidaksempurnaanku menjadi alasan kuat untukmu memaduku. Dan jawaban penting sudah kudapatkan hari ini! Kamu sama sekali tidak lagi peduli padaku mas! Tidak lagi memikirkan perasaanku. Bukan aku yang egois mas! Tapi kamu! Janji yang kamu ucapkan hanyalah tinggal janji. Mungkin kamu lupa! Atau sengaja melupakannya mas? Tepatnya, pura-pura lupa!” Kemudian wanita itu kembali masuk ke kamar dan menutup pintunya.
Sementara aku langsung memutuskan untuk membaringkan diri di sofa ruang tamu. Jelas saja sambil memikirkan sikap Aruna yang sangat egois itu. Apakah yang dia inginkan itu kalau, sebaiknya aku ini berselingkuh saja? Aku tidak mau mengawali hubungan dengan cara seperti itu. Lagi pula aku memang memiliki hak bukan? Poligami juga tidak dilarang dalam agama. Selama ini aku sudah cukup sabar. Aku menerima kekurangan dia, tidak pernah menuntut untuk menjadi istri yang sempurna. Untung yang menjadi suaminya aku, kalau bukan? Mungkin dia sudah dicampakkan.
Ting..Nong….!
Terdengar suara bel berbunyi. Akupun segera bangkit dan bergegas membuka pintu. Dengan wajah yang lesu.
“Mas lama banget buka pintunya?” protes sosok wanita yang esok akan resmi menjadi istriku itu. Ya, tamu yang datang adalah Sofie.
“Aku tungguin kok nggak datang-datang sampai malam begini? Ya udah aku inisiatif saja, aku sendiri yang mengantarkan pakaian mbak Aruna. Kamu kenapa sih mas? Lesu banget! Mbak Arun ada dimana?” cerocos Sofie sambil menyelonong masuk kedalam rumah.
Tak mungkin juga aku ceritakan kepadanya kalau penyebab wajah lesuku karena Aruna menolak pernikahan ini.
“Mas!! aku nanya juga! mbak Aruna ada dimana? Aku mau memberikannya pakaian terbaik untuk acara pernikahan kita lusa nanti. Pasti mbak Aruna suka banget!”
“Ada di kamarnya." jawabku malas.
Sofie mengangkat kedua alisnya kemudian bergegas ke kamar utama kami. Kamar yang penuh kenangan namun sudah seminggu ini aku tidak pernah memasukinya.
Tok ... tok .…!
“Mbak Aruna! Ini Sofie! Buka mbak! Lihat apa yang aku bawakan untuk mbak Aruna!” ucap Sofie sembari terus mengetuk pintu kamar itu.
“Mas! Mbak Aruna tidur ya? Kok nggak dibuka-buka pintunya ya?!” tanya Sofie saat aku datang menghampirinya.
“Aku nggak tahu.” dengan ketus aku menjawab.
“Kamu kenapa sih hari ini? Aneh banget! Nggak keliatan semangat gitu! Padahal sebentar lagi kita akan menjadi pengantin.” ucapnya menatapku curiga.
Jika seperti itu, wajah Sofie terlihat sangat menggemaskan. Aku pun membawa tubuhnya ke pelukanku. Disaat yang bersamaan, Aruna tiba-tiba saja membuka pintu kamar dan melihat kami yang sedang berpelukan.
“Ada apa?” tanyanya.
Sofie melepaskan tubuhnya dari pelukanku.
“lni mbak. Aku mengantarkan pakaian untuk mbak pakai nanti di hari pernikahan kami.” ucap Sofie penuh senyum.
Aku berharap Aruna membalas senyum itu supaya mereka bisa terlihat akrab. Tapi tersenyum pun Aruna enggan. Tidak ada lagi bentuk keakraban yang Aruna tunjukkan untuk Sofie seperti pertama kali bertemu di setiap acara kantor dulu.
“Letakkan saja di sana! Kalau sudah selesai, kalian boleh pergi!” ucapnya kembali menutup pintu.
Sofie pun dengan malas meletakkan pakaian pengantin itu di depan pintu kamar karena Aruna enggan untuk menerimanya.
“Sombong sekali istri kamu itu mas! Padahal aku sudah bersikap baik. Tapi dia seperti itu! Nggak punya pikiran banget yah? Mandul aja belagu. Apalagi sempurna? Pantas saja Tuhan tidak memberinya anak. Seperti itu kelakuannya!” sungut Sofie sambil berjalan mengikutiku ke ruang tamu.
“Sabar Sayang.. Ini ujian… Nanti Aruna juga pasti bisa menerima kamu. Mungkin dia masih shock dengan berita pernikahan kita yang mendadak.” ujarku.
“Iya mas.. Aku tidak peduli bagaimana sikap dia padaku nantinya. Yang terpenting buat aku adalah kamu dan aku. Hanya saja.. Yang aku sangat sayangkan adalah, seharusnya dia dengan legowo bisa menerima pernikahan kita.” kesalnya sembari menjatuhkan diri di sofa.
“Sudah-sudah. Tidak usah dipikirkan. Kata kamu yang terpenting aku dan kamu? Jangan rusak momen bahagia kita.” ucapku coba menenangkannya.
Meskipun aku sendiri merasa tidak tenang. Apalagi Aruna seperti telah enggan memanggilku menggunakan panggilan kesayangan yang biasa kami pakai.
******
Hari ini, akhirnya tiba juga hari pernikahanku dengan Sofie. Kami pun melangsungkan prosesi ijab kabul dengan lancar. Dan ya.., kami telah sah menjadi pasangan suami istri. Keluarga besar Sofie terlihat sangat bahagia. Sepertinya mereka tidak keberatan Sofie menjadi istri yang kedua. Lagipula apa yang mereka takutkan? Aku mencintai Sofie dan akan menjaganya.
Kedua bola mataku mencari sosok Aruna. Sudah dua hari ini, semenjak kedatangan Sofie mengantar pakaian, aku tidak pernah melihatnya. Dia sama sekali tidak mau keluar kamar. Sebelum aku pergi ke tempat Sofie kemarin, padahal aku sudah memintanya untuk hadir di hari akad pernikahan kami. Supaya orang-orang tahu kalau aku menikah memang atas izin dari istri pertama. Justru yang terjadi malah dia sama sekali tidak datang. Untung tidak ada yang bertanya tentang dirinya.
“Mbak Aruna nggak hadir mas? Dari tadi aku mencari, tapi tidak menemukan sosoknya.” bisik Sofie sambil menyambut uluran tangan tamu undangan yang memberi selamat.
“Mungkin sebentar lagi.” jawabku. Meskipun ku tahu hari gelap, malam telah menguasai langit.
“Biarkan saja lah mas. Mau dia datang atau tidak, yang terpenting aku dan kamu sudah sah menjadi suami istri.”
“Eum.. Mas! Waktu kamu meminta mbak Aruna untuk datang, dia jawab apa?” tanyanya.
“Ya.. begitu.. Seperti biasa. Dia hanya diam saja. Tidak ada jawaban, malah yang ada hanya keheningan. Semakin lama aku juga jadi merasa lelah dengan sikapnya.”
“Memang kamu yakin kalau mbak Aruna aman di kamarnya?” timpal Sofie.
“Maksud kamu?” Aku mulai merasa sedikit khawatir.
“Bisa saja bunuh diri atau menyakiti dirinya mungkin?”ucapnya lagi membuatku sedikit termenung.
Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang. Ingin rasanya aku segera pergi menemui Aruna dan meninggalkan acara pernikahan ini.
“Mas, are you okay?? Jangan terlalu dipikirkan ucapanku tadi mas. Aku hanya asal berbicara saja. Tidak mungkin mbak Aruna menyakiti dirinya sendiri kan??” ujar Sofie menenangkan.
Namun, itu semua sama sekali tidak mampu membuatku tenang. Tetap saja fokusku mulai tertuju pada Aruna. ‘Sedang apa dia? Dan apa yang dia lakukan saat ini?’ batinku.
***
Malam kian larut, acara pernikahan pun selesai. Tidak ada kehadiran Aruna. Sebelum meninggalkan gedung, aku meminta ijin pada mertuaku dan keluarganya untuk membawa Sofie ke rumah. Dengan senang hati mereka mengizinkan. Dengan cepat aku menggandeng tangan Sofie menuju mobil. Tak peduli sekalipun Sofie merasa kesusahan karena gaun pengantin yang panjang.
“Pelan-pelan saja dong jalannya mas!” ujarnya terdengar kesal.
“Cepatlah Sof!! Aku takut terjadi sesuatu pada istriku.” singkatku membuat Sofie sejenak menghentikan langkahnya.
“Ayo!! kamu mau ikut atau tidak? Aku buru-buru!” ujarku lagi.
Sofie terlihat kesal sambil melanjutkan langkahnya. Sampai di mobil, aku langsung mengemudikannya dengan kecepatan tinggi. Dan dua puluh menit kemudian, aku pun sampai di rumah besar dan megah yang hanya ditempati oleh aku dan Aruna. Aku semakin panik saat mendapati rumah masih gelap gulita. Tidak ada satupun lampu menyala bahkan lampu halaman dan juga teras rumah. Gerbang juga tidak terkunci dan terbuka lebar. ‘Ada apa ini?’ batinku meringis.
Aku segera turun dari mobil meninggalkan Sofie sendiri. Karena kalau menunggunya, pasti harus disusahkan oleh gaun pengantin yang ia kenakan.
“Mas tunggu!!” teriak Sofie.
Tidak kuhiraukan teriakannya, akupun berlari masuk kedalam rumah. Kukeluarkan ponsel dan menyalakan senternya untuk mencari saklar lampu. Setelah kuhidupkan semua lampu, aku langsung mencari keberadaan Aruna.
“Ma!” panggilku.
Tidak ada jawaban. Segera akupun bergegas untuk pergi ke kamarnya. Gaun pengantin pemberian Sofie masih ada di depan pintu kamarnya dan masih dengan posisi yang sama. Sepertinya Aruna sama sekali tidak menyentuhnya. Akupun semakin panik dibuat olehnya.
“Ma!! lni papa pulang. Buka pintunya ma!!” ucapku sembari terus mengetuk pintu.
“Kalau mama tidak mau membuka pintu, papa akan dobrak ma!” teriakku.
“Akh! Sekarang aku benar-benar seperti menikahi patung!! Tidak salah niatku kalau memilih untuk menikahi Sofie, Aruna Maheswari! lngat aku ini masih suamimu! Tolong hormati aku!” bentakku.
Brak!!!
Ku tendang sekeras mungkin pintu kamarnya. Hingga kakiku terasa sakit. ‘Sial!! Diammu sungguh menyiksaku ma!’ batinku bergumam sambil terus berusaha mendobrak pintu.
Aneh memang… kenapa Aruna tidak kunjung membuka pintu. ‘Ya Allah, Semoga tidak terjadi apapun kepadanya’ batinku memelas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments