Suasana kelas tampak riuh rendah, saat lagi-lagi sekolah diliburkan, karena adanya pemberitahuan rapat guru. Anak-anak IPA 1 berhamburan keluar kelas, untuk kembali ke rumah masing-masing.
Kesempatan itu digunakan Zeehan untuk bisa berduaan dengan pujaan hatinya.
Zeehan mengajak Lenka kerumahnya. Setelah itu, dia membawa Lenka ke suatu tempat.
"Kita mau kemana, Zeehan?" Lenka penasaran saat Zeehan menarik tangannya dengan cepat.
"Ke pulau! Ayolah, sebelum keburu siang!" Zeehan menarik tangan Lenka, untuk segera naik ke atas motor butut kesayangannya.
Mereka pergi ke pelabuhan yang tidak jauh dari rumah Zeehan, dengan menggunakan boat, Zeehan membawa Lenka ke sebuah pulau kecil yang indah.
Hamparan laut berwarna biru, dan gumpalan awan berwarna putih, menambah keindahan cakrawala. Deburan ombak yang menghempas, seirama dengan jiwa muda kedua insan yang bergelora.
"Wah! Tempat yang indah sekali, Zeehan!" Seru Lenka tersenyum gembira. Berkejaran dengan ombak, diatas pasir yang berwarna putih.
"Zeehan, fotoin ya!" Lenka memberikan Ponselnya pada Zeehan. Kemudian berpose manja dengan latar belakang laut yang luas.
"Kamu sering kemari?" Tanya Lenka, sambil mengambil foto selfie mereka berdua.
"Tidak terlalu, hanya jika sedang galau! Ayo ikut!" Zeehan menarik Lenka ke dalam pulau tak jauh dari pantai.
"Kamu bisa manjat, Lenka?" tanya Zeehan sembari menunjuk ke atas sebuah rumah pohon yang terletak diatas pohon besar.
"Rumah pohon?" Lenka tampak senang, Tanpa pikir panjang, Lenka langsung menaiki satu demi satu tangga menuju rumah pohon. Di ikuti Zeehan di belakangnya.
"Wah! Luas sekali, siapa yang bikin, Zeehan?" Tanya Lenka mengungkapkan kekagumannya.
"Aku!" Ucap Zeehan tersenyum, saat gadis manis itu memeluknya dengan erat.
"Dan aku orang yang pertama kamu ajak kemari?" tebak Lenka.
"Tentu saja!" Zeehan mengecup kening gadis itu lembut.
Lenka memandang jauh ke laut lepas, deburan ombak yang menghempas ke pantai, membuat hatinya semakin berdegup kencang, apalagi saat Zeehan memeluknya dari belakang. Menumpukan dagunya di pundak Lenka.
"Kamu suka tempat ini?" tanya Zeehan sambil berbisik.
"Sangat suka, semuanya akan terasa istimewa apabila bersamamu, Zeehan!" Ungkap Lenka jujur.
"Lenka, kamu akan pergi, jika tugas ayahmu disini selesai," tanya Zeehan sedikit mellow.
"Sepertinya aku akan tinggal di desa ini, bersamamu, Zeehan!" Lenka berbalik dan mengalungkan kedua tangannya di leher Zeehan.
"Tapi, aku tidak bisa memberimu kekayaan," ucap Zeehan lirih.
"Kamu seorang pekerja keras, aku yakin kamu akan bisa membahagiakanku, walau nantinya kita hidup pas-pasan, tapi aku suka di sini" ujar Lenka meyakinkan.
"Bagaimana kalau orang tuamu tidak merestui hubungan kita,"
Lenka diam sejenak, dia memang belum memberitahu Papa dan Mamanya, tentang hubungannya dengan Zeehan.
Menurutnya, terlalu awal membicarakan hubungan mereka secara serius.
"Aku akan bertahan di sampingmu, asalkan kamu mencintaimu dengan tulus," janji Lenka.
"Benarkah!?" Zeehan menatap bola mata indah itu dengan mesra. Lenka mengangguk.
Hembusan angin laut, membuai keduanya untuk saling berbagi kehangatan. Cinta keduanya yang menggebu-gebu, membuat Zeehan dan Lenka, tenggelam dalam lautan asmara yang mendebarkan.
Dengan sadar, Lenka telah menyerahkan kesuciannya, kepada seorang Zeehan, yang baru dikenalnya selama beberapa hari belakangan.
Zeehan memiringkan tubuhnya, menatap wajah cantik berhidung bangir itu, yang baru saja memberinya pengalaman cinta yang mendebarkan. Lenka masih berbaring disisinya, dengan berbantalkan sebelah lengannya. Zeehan menyibak rambut panjang Lenka ke belakang, yang dibiarkan tergerai, menutupi sebagian wajahnya.
"Kamu menyesal Lenka?" Tanya Zeehan merasa bersalah, karena sudah merenggut kesucian kekasihnya.
Lenka menggeleng, "Aku bahagia bersamamu, Zeehan!" Gumam Lenka sambil mencium bibir Zeehan dengan lembut, memancing hasrat Zeehan untuk kembali berbagi keringat, ditengah kerasnya suara ombak yang bergulung-gulung ke tepian pantai.
Jiwa muda itu begitu bergelora, Lenka tidak memikirkan akibat dari perbuatan mereka, Zeehan pun kehilangan kendali atas dirinya, baginya Lenka adalah segala-galanya, dia akan memperjuangkan cintanya, jika suatu hari, orang tua Lenka menentang hubungan mereka.
"Apakah kamu punya keinginan?" tanya Zeehan.
"Keinginan apa?" Lenka bingung.
"Apa saja yang kamu inginkan, tentang hubungan kita?"
Lenka menaikkan alisnya.
"Kalau kamu apa yang kau inginkan, Zeehan?" tanya Lenka ingin tahu. Wanita itu memeluk pinggang Zeehan dengan posesif.
"Aku ingin, kita bersama untuk selamanya," bisik Zeehan.
"Aku ingin membantumu mewujudkannya. Aku tidak akan melupakan tempat ini, sayang," Lenka mencium bibir Zeehan lembut. Zeehan tersenyum, dia menahan tengkuk Lenka. Dan kembali membalas ciuman itu lebih mesra.
"I Love You, Lenka," bisik Zeehan.
Tidak ada jawaban, Lenka larut dalam buaian cinta yang ditawarkan Zeehan. Semakin lama semakin dalam.
*********
Menjelang siang, Zeehan dan Lenka, keluar dari pulau, Dan seperti biasa, mengantar Lenka kembali kerumahnya.
"Zeehan, masuk dulu!" Ujar Mama Rekha,saat Zeehan mengantar Lenka pulang kerumah.
"Terimakasih, Tante! Saya harus kerja setelah ini," Tolak Zeehan.
"Ayolah, sebentar saja,"
Zeehan yang merasa tidak enak, akhirnya turun dari motornya, dan masuk ke dalam rumah dinas keluarga Lenka.
"Ayo duduk, Tante ambilkan minuman!"
"Nggak usah repot-repot, Tante!" Sahut Zeehan.
"Nggak, malah Lenka yang selalu merepotkan kamu setiap hari,"
"Tidak juga, Tante! Aku sekalian pergi ke perkebunan untuk bekerja!" Kata Zeehan.
"Memangnya, kamu kerja apa disana!" Tanya Tante Rekha.
"Apa saja, Tante! Yang penting dapat uang!" Kata Zeehan.
"Tante suka, anak muda yang suka bekerja keras," puji Tante Rekha.
Lenka tersenyum menatap Zeehan yang tampak gugup di depan ibunya.
"Kamu akan kemana setelah tamat SMA, Zeehan?" tanya Rekha lagi.
"Maunya masuk kedokteran, Tante! Tapi di Jakarta!"
"Oya! Bagus itu, Lenka juga mau ngambil Program Studi Kedokteran, tapi kedokteran anak" kata Mama Rekha.
Zeehan menatap ke arah Lenka yang mengiyakan ucapan ibunya.
"Itu, papanya Lenka pulang! Kita makan dulu Zeehan," Kata Mama Rekha.
"Nggak usah, Tante! Saya sudah makan," tolak Zeehan halus.
"Pa, kenalin ini Zeehan temannya Lenka, dia pengen jadi dokter juga kayak Papa!" Ucap Mama Rekha pada suaminya Budi Santoso.
"Halo Om, saya Zeehan!" Zeehan tampak gugup menyalami pria berkharisma itu.
"Oh, benar mau kuliah di kedokteran?" Tanya papa Lenka, saat mereka duduk bersama di meja makan.
"Iya Om, kalau proposal beasiswa saya turun akhir tahun pelajaran ini," kata Zeehan jujur.
"Baguslah, Om bisa bantu kamu, agar masuk di kedokteran UI,"
"Terimakasih Om," jawab Zeehan tersenyum senang. Ternyata bertemu dengan orang tua Lenka tidak begitu menakutkan seperti bayangan Zeehan.
Tapi, bagaimana kalau mereka tahu, putri mereka berpacaran dengannya. Zeehan tidak tahu bagaimana reaksi kedua orang tua Lenka itu, menerima atau menolaknya. Karena Zeehan hanyalah seorang pemuda desa yang miskin, namun bercita-cita tinggi ingin menjadi seorang dokter.
*******
Ujian semester satu di kelas XII baru saja usai. Zeehan begitu serius menyelesaikan soal-soal ujian yang diberikan guru.
Zeehan telah belajar keras untuk dapat memperoleh nilai terbaik, demi untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dokter, karena itu dia harus mendapatkan beasiswa penuh di sebuah PTN di Jakarta.
Begitu juga dengan Lenka, mereka belajar bersama setiap hari di rumah Lenka. Setiap pulang sekolah.
Dan hasilnya pun tidak sia-sia! Zeehan berhasil mendapatkan beasiswa itu, dan hanya tinggal menyelesaikan ujian akhir sekolah tiga bulan lagi.
Lenka merayakan keberhasilan Zeehan bersama teman-temannya di rumah dinas Ayahnya. Mereka mengadakan acara barbeque di taman belakang rumahnya.
"Anita, bantuin bakar dong, jangan main ponsel saja!" Teriak Andre.
"Aku kan, bikin video kenang-kenangan, Dre, sebentar lagi, Lenka dan Zeehan akan kuliah di Jakarta. Kita akan menikah, ya kan!" Kata Anita.
"Beneran kalian mau nikah muda?" tanya Lenka.
"Iya, Lenka, kalau di desa kami, nikah muda itu biasa, kalau kuliah, biayanya kan besar, orang tua kami hanya nelayan, tidak mampu membiayai kuliah kami di kota!" Ujar Andre.
"Oh,begitu ya," sahut Lenka.
"Dagingnya udah matang, nih! Ayo kita makan!" Sorak Zeehan, pada teman-temannya.
"Ayo!" Si gendut Mamat mengambil sepiring daging bakar untuknya.
"Jangan banyak-banyak, Mat, nanti darah tinggi lho!" Ujar Andre.
"Sekali-kali nggak apa-apa kali, Dre! Kita kan jarang-jarang makan daging," sahut Mamat sambil melahap daging bakar didepannya.
Lenka tersenyum memandang teman-temannya yang makan dengan lahap.
"Kamu mau?" Zeehan menyuapkan sepotong daging ke mulut Lenka.
"Enak?" tanya Zeehan, menunggu reaksi Lenka.
"Hoek!...ini... nggak enak!" Lenka berlari ke dalam rumah, dan memuntahkan daging bakar itu ke wastafel. Namun tidak berhenti sampai disitu, Lenka kembali mual dan memuntahkan isi perutnya.
"Lenka, kamu kenapa?" Zeehan menyusul Lenka ke dalam rumah, memijit pundak Lenka agar lebih rileks.
"Entahlah, daging bakar itu baunya nggak enak, perutku menjadi mual!" Kata Lenka kembali memuntahkan isi perutnya, kali ini hanya berupa cairan kental bening.
Zeehan membalurkan minyak kayu putih di punggung Lenka.
"Kamu masuk angin, Lenka?" Lenka hanya diam, ada ketakutan dalam dirinya, jika ada sesuatu yang lain dalam dirinya.
"Zeehan, bagaimana kalau aku hamil?" batin Lenka menatap Zeehan dengan gelisah.
Bukan tanpa alasan, Lenka berpikiran tentang hal itu, soalnya sudah tiga bulan dia tidak mendapatkan menstruasi.
"Kamu baik-baik saja, Sayang," Zeehan mengusap punggung Lenka perlahan.
"Aku nggak pa pa, Han," kata Lenka kemudian.
"Ayo kita kembali ke taman belakang, nanti teman-teman nyariin kita Ujar Lenka.
"Sudah merasa lebih baik?" Tanya Zeehan.
"Iya," Lenka mengangguk. Lenka berjalan keluar mengikuti Zeehan yang sudah bergabung dengan teman-temannya.
Lenka kemudian hanya duduk diam, memperhatikan teman-temannya yang bergembira menikmati daging panggang, yang di sediakan orang tua Lenka.
Berbagai pikiran buruk berkecamuk dalam otaknya. Hatinya gelisah. Zeehan duduk di samping kekasihnya itu, sambil merangkulnya erat. Lenka menyandarkan tubuhnya dalam pelukan laki-laki. Hatinya bimbang.
Ujian akhir sekolah, di hadapi Lenka dengan baik, walau kegelisahan masih berkecamuk dalam hatinya.
Zeehan mengantar Lenka pulang ke rumahnya. Kebetulan, siang itu Papa Budi ada di rumah, karena sedang libur kerja.
"Bagaimana ujiannya, Nak? tanya Mama Rekha ramah.
"Sudah selesai dengan baik, Tante!" Jawab Zeehan.
"Syukurlah, kapan kamu akan berangkat ke Jakarta?" Tanya Mama lagi.
"Masih lama, Tante, mungkin sekitar 3 bulan lagi,"
"Oh, kalau begitu, semoga kamu sukses ya," doa Mama Rekha
"Makasih, Tante, kalau begitu saya permisi pulang dulu," pamit Zeehan.
Setelah kepergian Zeehan, Lenka kembali mengajak kedua orang tuanya bicara.
"Ada apa, Lenka?" tanya Mama Rekha heran melihat sikap Lenka yang aneh.
"Ma….!Pa….! Aku hamil!" Lenka menundukkan wajahnya dalam-dalam, tak berani menatap wajah kedua orang tuanya.
"APA? KAMU HAMIL? SIAPA YANG BIKIN KAMU HAMIL, LENKA?" teriak Papa Budi syok, wajahnya memerah menahan amarah.
"Zeehan, Pa," lirih Lenka.
"Plak!" Sebuah tamparan mengenai wajah Lenka, pria paruh baya itu tampak emosi.
"Maafin Lenka, Pa," Isak Lenka, sambil memegang pipinya yang terasa panas.
"Pa, sudahlah… jangan pukul lagi!" Mama Rekha menahan suaminya untuk tidak memukul putrinya itu.
"SUDAH BERAPA BULAN?" tanya Papa Lenka, suara pria itu meninggi.
"Sudah 4 bulan, Pa!" Jawab Lenka, mengusap air matanya yang mengalir deras di pipinya.
"Pergi Lenka, pergilah temui pria itu, Papa tidak mau melihatmu di rumah ini," ujar Pak Budi merasa kecewa.
"Pa, jangan usir Lenka, Pa! Dia anak kita satu-satunya," mohon Mama Rekha.
"Seharusnya dia itu sadar diri, Ma! Kita sudah menyiapkan masa depannya dengan baik, dan menjodohkannya dengan Denise, tapi lihat, ini apa? Dia malah bergaul dengan orang yang tidak jelas masa depannya."
Lenka menangis, tanpa bergeming dari tempat duduknya.
"PERGI LENKA! AKU TIDAK SUDI PUNYA ANAK TIDAK TAHU DIRI SEPERTIMU, JANGAN PANGGIL AKU PAPAMU LAGI!" Papa Lenka, keluar dari rumah, dan melajukan mobil dinasnya dengan kecepatan tinggi.
"Maafkan Lenka, Ma!" Lenka memeluk kaki ibunya erat. Mama Rekha menangis.
"Mama tidak bisa membantumu, Lenka! Kamu tahu sendiri papamu seperti apa!" Kata Mama Rekha sedih.
"Ma, apa yang harus Lenka lakukan?"
"Mintalah pertanggungjawaban Zeehan, minta dia menikahi mu dan kamu bisa tinggal bersamanya.
Lenka menggeleng, Dia tidak dapat membayangkan hidup bersama Zeehan dan Ibunya yang depresi. Apalagi wanita itu tidak menyukai Lenka.
"Ma, apa aku harus menikah dengan Zeehan, aku belum siap ma," rengek Lenka.
"Lenka, kalau kamu tidak siap, kenapa kamu mau saja melakukan hubungan suami istri sebelum menikah," Mama Rekha tampak kecewa.
"Lenka mencintai Zeehan, Ma, tapi Lenka belum mau menikah, Lenka masih ingin melanjutkan kuliah, bagaimana kalau Lenka gugurkan saja anak ini,"
"Tidak Lenka, Mama tidak setuju, dia tidak bersalah, perbuatan kalianlah yang salah, kalian yang berdosa, kamu mau menambah dosa lagi, dengan melenyapkan bayi itu." Tegur mama Rekha.
Lenka menarik nafas panjang. Mama Rheka pun diam seribu bahasa. Keheningan menyelimuti suasana rumah itu.
Pak Budi kembali pulang, saat hari sudah menjelang malam.
"KENAPA KAMU MASIH DISINI?" Papa Lenka tampak masih marah dan kecewa. Saat melihat Lenka masih duduk di ruang tamu.
"Pa, Lenka tidak mau selamanya tinggal di desa ini, Lenka masih ingin kuliah?"
Budi Santoso, papanya Lenka, menarik nafas panjang. Dia duduk di sofa, dengan sebelah tangan memijit dahinya.
"Baiklah, kalau begitu, Papa akan mengirim mu ke Australia, kamu kuliah disana dan tinggal bersama Tantemu Julia," putus Papanya Lenka.
"Ya Pa! Terimakasih," Lenka bersimpuh di kaki Papanya. Dia menerima keputusan Papanya untuk kuliah di Australia, dan melahirkan di sana. Dari pada harus menikah dengan Zeehan diusianya yang masih muda.
"Bangunlah, setelah surat tanda lulus keluar, kamu langsung berangkat ke Australia," ujar Pak Budi melunak. Lenka mengangguk.
*******
Melbourne, 08.00 AM
Suara tangisan seorang bayi laki-laki menggema di ruangan sebuah rumah sakit bersalin di kota Melbourne. Lenka baru saja melahirkan seorang bayi laki, dengan berat 3.5 kg dan panjang 55 cm.
Lenka melahirkan seorang bayi laki-laki, tepat di awal bulan Oktober. Seorang bayi laki-laki tampan, memiliki kulit kuning Langsat ibunya, Zeehan. Namun wajahnya tampan dan menggemaskan.
"Bayimu tampan sekali, Lenka!" Bibi Julia menciumi wajah mungil itu dengan gemas.
"Oh ya, mana? aku mau lihat Bi," Lenka mengendong bayi mungil itu kedalam pangkuannya. Lenka tersenyum manis, "Persis papanya," bisik Lenka.
"Kamu yakin tidak akan memberitahu Zeehan?" Bibi Julia menatap Lenka lekat.
"Tidak sekarang bibi, nanti kalau dia sudah sukses," kata Lenka.
Mama Rekha datang dari dari Jakarta untuk menemaninya selama Lenka di masa pemulihan.
"Cucu Oma, tampan sekali, namanya siapa ya?" tanya Mama Rekha mengendong bayi mungil itu dalam pelukannya.
"Aku akan memberinya nama Kenzio, Ma!" jawab Lenka.
"Kenzio? Nama yang bagus,"
"Kenzo Zeehan Aryadinata," gumam Lenka.
"Aryadinata?? perasaan mama pernah mendengar nama itu, tapi dimana ya?" gumam Mama Rekha. Mencoba mengingat seseorang dengan nama yang cukup familiar di telinganya.
"Itu nama belakang Zeehan, Ma." terang Lenka .
"Oh!" jawab Mama Rekha singkat.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments