Pulanglah, Pamella sakit.

Beberapa jam kemudian Niall baru saja pulang dan membaringkan badannya di ranjang, matanya menatap nanar ke langit-langit apartemennya membayangkan Sheryl. Hanya membayangkan perempuan itu, senyumannya, tawanya, caranya berbicara saja bisa membuatnya tersenyum, dipenuhi oleh perasaan cinta. Kemudian ponselnya berdering, sekali. dua kali. Akhirnya Niall meraihnya. Nama yang tertera di layar ponsel itu membuatnya menegang.

"Ya Pamella???"

Sejak perpisahan di cafe itu Pamella memutuskan kontak dengannya. Sama sekali. Dan Niall terima, karena dia memang tidak pantas memohon maaf dari Pamella. Dan mungkin Pamella lebih baik dalam kondisi seperti ini. Niall terima kalau Pamella membencinya dan dia berharap dengan begitu Pamella akan mudah membuka hatinya untuk yang lain.

Suara di seberang sana penuh dengan isak tertahan. "Niall... Niall... Aku sangat membutuhkanmu... aku tak kuat tanpamu.... " Pamella menangis tersedu-sedu di seberang sana, penuh dengan kesakitan tanpa ampun, membuat hati Niall terasa nyeri. "Pulanglah Niall.... aku mohon pulanglah kemari...."

"Aku tidak bisa datang, maafkan aku Pamella." Niall mengeraskan hatinya. Pamella harus belajar kuat tanpanya. Kalau setiap Pamella lemah dan Niall datang, Pamella akan terus bergantung kepadanya, hatinya akan semakin sakit dan semakin menderita.

Niall menyayangi Pamella. Hanya itu. Pertunangan mereka bertahun lamanya, persahabatan mereka dari kecil hanya menyisakan satu hal di dada Niall  yaitu rasa sayang. Debar itu sudah tidak ada lagi untuk Pamella. Jantung itu sudah tidak lagi mengharapkan Pamella di sampingnya.

Suara isak Pamella mengalun perlahan, isak perempuan yang patah hati. "Setega itukah kau padaku, Niall??? Aku bagaikan sampah bagimu...???"

"Aku hanya ingin kau kuat, Pamella."

"Kuat????" Pamella tertawa di sela isak tangisnya. "Dulu aku kuat, karena aku harus menopangmu. Kau sakit, dan aku berjuang supaya kuat, karena salah satu dari kita harus kuat untuk mendukung yang lain." Suara Pamella terdengar penuh kesakitan. "Lalu kau menghancurkanku."

Niall memejamkan mata, merasakan kesakitan memenuhi badannya. Pamella memang benar... tetapi dia bisa apa????

"Sorry Pamella.?? I'm so sorry."

"Tidak.!!!!" Pamella bersikeras. "Aku tidak akan memaafkanmu Niall. Bertahun-tahun ku habiskan hanya untuk mendampingimu. Karena aku mencintaimu. Tetapi kau membuangku begitu saja. Hanya karena jantung itu."

"Kau boleh membenciku semaumu. Aku pantas menerimanya. Kalau dengan membenciku kau bisa sembuh dan melangkah ke dalam kebahagiaan baru, aku rela kau benci." gumam Niall pelan.

Hening. Pamella termenung di seberang sana. Lalu ada helaan napas di sela isak tangisnya."Seharusnya waktu itu kau bunuh saja aku." Telepon pun ditutup. Meninggalkan Niall yang termenung di tengah kegelapan kamarnya.

***

Malam itu Sheryl bermimpi, mimpi tentang Alex, tentang kenangan-kenangan mereka bersama di masa lampau. Saat-saat bahagia itu....

Mereka sedang duduk di pantai yang mereka kunjungi waktu liburan masa lalu, di pasir tanpa alas. Menghadap ombak di bawah langit jingga yang siap menghantarkan matahari masuk ke peraduannya.

"Tidak ada yang namanya bahagia selamanya." Alex bergumam sambil tersenyum lembut, melirik novel cinta yang sedang dibaca oleh Sheryl.

Sheryl mendongak dari novel itu. Cahaya makin temaram, membuat huruf demi huruf makin berbayang, dia menyerah dan menutup novelnya.

"Kenapa???" Tanya Sheryl.

"Karena hidup terus berputar, manusia yang bercinta harus menghadapinya. Mereka bisa bahagia karena cinta, tetapi terkadang menangis juga karenanya, begitulah hidup, begitulah cinta." Alex menatap Sheryl dengan mata teduhnya. "Dan karena ada kematian. Suatu saat manusia harus siap menghadapi kematian, dipisahkan satu sama lainnya."

Sheryl merenungkan kata-kata Alex. "Kau tahu kenapa aku menyukai novel-novel percintaan???"

"Karena mereka semua selalu berakhir hidup bahagia selamanya???"

"Bukan." Sheryl menggeleng. "Karena novel percintaan itu selalu berakhir di saat mereka paling bahagia. Seakan hidup mereka berhenti di sana, setelah tulisan TAMAT di titik para tokohnya paling bahagia."

Alex tertawa. "Kau ingin seperti novel-novel itu??? berakhir di titik paling bahagia???"

"Saat ini aku bahagia." Sheryl menatap Alex dan tersenyum penuh cinta. "Tapi aku belum ingin ini berakhir... masih ada saat-saat panjang di depan kita, dan aku ingin menikmatinya."

"Meskipun nanti kadangkala ada tangis berganti tawa dan sebaliknya???" Alex bertanya.

"Itu cukup berharga untuk dilalui kalau dilewatkan bersamamu."

Alex tersenyum mendengar jawaban Sheryl. Matahari makin lelap di peraduannya, beristirahat barang sejenak di ujung sana, menyembunyikan sinarnya. Gelap sudah membayang, membuat tampilan Alex bagaikan siluet gelap yang merenung menatap bayang cakrawala yang mulai menghilang.

"Kalau begitu musuh kita hanyalah kematian." gumamnya kemudian. "Seandainya bisa aku ingin mati sebelum dirimu, supaya aku tidak perlu mengalami kesakitan karena kehilanganmu."

Sheryl terbangun. Membuka matanya yang seperti biasanya, penuh air mata. Kata-kata  Alex itu membuatnya ingin menangis. Alex egois... dia memang meninggalkan Sheryl lebih dahulu dan membiarkan Sheryl mengalami kesakitan karena kehilangannya.

***

Keesokan harinya.

Niall membuka matanya, dengan wajah kesal karena ponselnya berdering tidak mau berhenti. Niall meraih ponselnya yang ada di atas meja sebelah tempat tidurnya. Dia melihat nama Mama nya disana. Tumben sekali pagi-pagi Mama nya menghubungi nya. Nial mencoba bangun dan duduk bersandar di tempat tidurnya. "Hallo Ma??? Aku masih tidur, kenapa menelepon pagi sekali???" Protes Niaal.

"Pamella sakit. Niall" nada suara Chika terdengar sedih, membuat Niall mengernyit sesak,

"Sakit apa Ma????" Tanya Niall.

Mama nya menghela napas."Sejak kau tinggalkan dia menderita, dia tak mau makan.... dia hanya menangis, kondisi tubuhnya menurun. Semalam dia dibawa ke rumah sakit."

"Apakah kondisinya parah???" Tanya Niall lagi.

"Sangat." suara Mamanya bergetar. "Mama menengoknya, Niall. Dia begitu kurus, dia begitu sedih. Mamanya Pamella bahkan memohon kepada Mama, sambil menangis agar Mama bisa membujukmu datang. Kau tahu betapa sedihnya Mama??? Mamanya Pamella itu sahabat Mama... dan Pamella... dia sudah seperti anak Mama sendiri."

Niall merenung, rasa bersalah dan bingung berkecamuk di benaknya. Teringat semalam dia menolak Pamella yang meminta perhatiannya. "Lalu aku harus bagaimana Ma???"

"Pulanglah Niall. Mama mohon. Demi masa-masa yang telah Pamella relakan demi mendampingimu di kala kau  sakit."

Kata-kata sang Mama menohok benaknya. Membuat Niall semakin merasa tak berdaya. "Aku tidak bisa, Ma." Niall mengerang.

"Kenapa????" Seru Chika.

"Mama pasti tahu jawabannya."

"Karena perempuan bernama Sheryl itu??? yang dipanggil oleh jantungmu????" Suara Chika menajam. "Apakah jantungmu itu membuatmu menjadi begitu egoisnya sehingga tidak mempunya empati sama sekali????"

"Mama!!! bukan begitu. Aku hanya tidak ingin membuat Pamella semakin lemah dan terus berharap kepadaku kalau aku datang, sama saja aku memberikan harapan baru kepadanya."

"Yang diinginkan Pamella hanya kehadiranmu di saat dia sakit. Niall. Setidaknya gunakan hati nurani mu Nak???" Suara mamanya mencela. "Dan kau bisa melakukannya. Mama harap kau berpikir dan mengingat masa-masa dulu, dimana Pamella selalu setia mendampingimu.Sekali ini saja kau jangan keras kepala dan egois, kau sudah cukup mempermalukan Mama dan Papa di depan keluarga Pamella, jangan malah memperburk keadaan."

Niall menghela napas panjang. Merasa sesak oleh rasa bersalah yang mendalam.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!