Aku berjalan keluar sekolah dengan penuh rasa kemalasan yang membuncah, mungkin karena terlalu banyak yang aku pikirkan mengenai Hiroshi.
Megumi merangkulku dari belakang, “Hei Chiyo, bagaimana kalau kita pergi ke toko buku”.
“Tumben sekali kamu ke toko buku, lagi giat belajar nih?” tanya Chiyo keheranan.
“Sudahlah jangan banyak bicara, ikut saja” kata Megumi dengan penuh semangat.
Di sebuah toko buku, Megumi memilah – milah buku – buku bahasa Inggris dengan begitu serius. Sedangkan aku duduk di lantai dengan membolak – balik sebuah novel baru.
“Hei Chiyo, menurutmu apakah aku bisa masuk fakultas bahasa Inggris?” tanya Megumi mendadak.
“Hah…bisa saja kalau mau belajar dan bekerja keras, tak ada yang tak mungkin” kataku memberi semangat.
“Aku bertanya serius nih?” tanya Megumi sambil melotot.
“Aku juga menjawab serius, memangnya kamu mau masuk universitas mana?” tanyaku balik.
“Adalah, yang penting aku harus masuk fakultas bahasa Inggris” katanya menggebu – gebu.
Saat di depan kasir, Megumi mengarahkan pandangannya ke balik pintu kaca kearah keluar.
“Ada apa?” tanyaku.
“Chiyo.. dia berdiri di depan sana, sepertinya dia membuntuti kita” kata Chiyo menunjuk kerah seorang laki – laki yang berpakaian serba hitam, topi, hoodie dan celana jeans serta sepatu sport.
“Mau apa dia? Megumi kamu pulang sendiri ya, aku harus menemuinya. Jangan cemaskan aku, besok kita bertemu lagi di sekolah” kataku mengakhiri pembicaraan dan bergegas keluar dari toko buku.
“TAP..TAP..TAP” Langkah kakiku mengarah kepada si bren%$ek Kawaki.
“Apa mau mu, siang hari membuntuti ku?” tanyaku penuh penekanan.
“Aku lapar, aku tidak suka terlalu banyak pertanyaan” jawabnya dengan malas.
Kami masuk ke dalam mobil sport warna putih, dia pun langsung menginjak pedal gas dan melaju meninggalkan toko buku. Kami sampai di sebuah restoran mie bernama Soba – Man di Sapporo. Dia memesan dua buah mangkuk mie soba.
“Kenapa kamu tidak bertanya kepadaku, apakah aku suka mie soba?” protes ku.
“Makan saja, aku tidak butuh pendapatmu. Aku sudah memberikan makanan gratis, harusnya kamu berterimkasih” jelasnya.
“Apakah kamu punya waktu luang, hingga terus menggangguku?” protes ku lagi.
“Diamlah, atau aku tusuk lehermu” jawabnya.
Kami makan dalam diam dan hening, tiba – tiba ada segerombolan orang kantoran masuk dan mulai ramai saling bercanda.
Jelas dari wajah Kawaki sangat terganggu, dia pun menghampiri mereka.
“Bisa diam, kalian mengganggu pelanggan lain” tegurnya.
Seorang pria dewasa berusia 40an berdiri tidak terima ditegur. “Hei anak muda, sopanlah sedikit terhadap yang lebih tua. Memangnya kamu tidak diajari orang tuamu, bagaimana bersikap kepada yang lebih tua” katanya.
“Sial…orang itu cari mati, sepertinya aku harus fokus saja makan” gumamku di hati dan fokus untuk makan mie soba yang ada di depanku.
Kawaki dengan wajah dinginnya, langsung menarik tangan orang itu kebelakang dan menguncinya kemudian memegang tengkuk leher pria itu. Mendaratkan kepalanya di meja, semua terkejut atas apa yang dia lakukan.
“Orang tuaku mengajariku seperti ini, jadi jangan mengajariku bersikap seperti apa. Bila kalian ingin nyawa kalian aman, maka makanlah dengan tenang” kata Kawaki.
Setelah semua pelanggan ketakutan akibat kejadian itu, suasana restoran menjadi sangat hening. Kawaki duduk dan memakan mienya dengan sangat tenang, tanpa rasa bersalah.
Kawaki hanya diam saat menyetir tak membahas persoalan di restoran, atau pun mengenai pertemuannya dengan kak Ryota.
Aku mencoba memulai pembicaraan,
“Mengenai malam itu, apakah itu rencanamu? Aku yakin kamu tahu apa yang aku maksudkan?” tanyaku menyelidik.
“Apakah itu penting?” tanyanya balik.
“Sebenarnya apa tujuanmu?” tanyaku mulai kesal.
“Menurutmu apa tujuanku?” tanyanya balik.
“Aku akan mempertahankan orang – orang terdekatku, jangan coba mengusiknya” tegas ku.
Kawaki tak peduli dengan perkataanku, dia masih fokus menyetir.
Mendadak Kawaki menyetir super ngebut, dan terus memilih jalan – jalan sempit seakan menghindari sesuatu. Pedal rem dan gas seakan nggak terkontrol, aku pun terkejut dengan apa yang dia lakukan.
Sesekali dia melihat ke spion tengah yang mengarah ke belakang. Saat aku memperhatikan gerak geriknya, aku sadar saat aku menoleh ke belakang. Ada 2 mobil hitam mengikuti kami di arah belakang, entah siapa tapi sepertinya bukan anak buah Kawaki.
Aku pun menyelesaikan perdebatan ku dan fokus melihat ke jalan depan. Bak film action, kami menyusuri berbagai jalan hingga ke Kawasan distrik Kayabe kami berkendara sekitar 3 jam perjalanan. Sampai di sebuah jalan sepi, sial… bahan bakar mobil yang kami tumpangi habis. Akhirnya kami berhenti di jalan yang gelap. Karena waktu sudah berganti menjadi malam.
Kawaki mengeluarkan ponselnya dan menelpon seseorang, “Asahi, aku kirimkan lokasi dimana aku berada. Siapkan orang untuk datang kesini, sepertinya klan Aihara mulai bergerak”.
Wajahnya sangat serius, setelah itu dia mengalihkan pandangannya kepadaku.
“Tetaplah di mobil, jangan mencoba untuk keluar. Biar aku yang menghadapi mereka, aku tahu kamu tak pandai berkelahi” katanya dengan penuh penekanan.
“Aku bisa berkelahi, jangan khawatirkan diriku lebih baik khawatirkan dirimu saja, Kita kalah jumlah, satu mobil mereka ada 5 orang. Jelas 10 orang akan mengeroyokmu, mereka juga bawa senjata tajam” kataku.
“Aku tak akan kalah” katanya langsung beranjak dari duduknya, dan keluar mobil dengan mengenakan sarung tangan elastis berwarna hitam.
Kawaki berdiri di tengah kepungan 10 orang dewasa dengan membawa beraneka ragam benda tajam. Aku hanya menatapnya di dalam mobil. Mereka pun mulai baku hantam, Kawaki dengan tenang menghajar satu per satu lawannya yang mencoba mengeroyoknya.
Bak film action secara live, aku bisa menonton dan terkesimak dengan gerakan pertahanan dan serangan Kawaki yang epik kali. Dia menggunakan sebuah dua pisau kecil untuk melumpuhkan lawannya, menyayat kaki, tangan bahkan leher lawannya.
Setengah jam pertarungan pun berlalu…dari gerakan lawan, mereka adalah petarung pro yang tak mudah dikalahkan.
Tiba – tiba ada suara senapan dari belakang mobil yang aku tumpangi, ternyata salah satu dari mereka yang belum turun dari mobil. Seorang pria yang gagah dengan wajah yang garang, di sisi lain dia membawa sebuah kapak.
Tato berwarna merah darah menghiasi leher bagian kanannya, dia memecahkan pintu mobil yang ku tumpangi. Lalu menarik ku keluar dengan kasar.
“Hei…Kawaki, diamlah di sana atau gadis ini akan mati ku gorok!!!” ancamnya dengan nada tinggi memecah kericuhan perkelahian yang sedang berlangsung.
“Menurutmu aku peduli” kata Kawaki masih menyerang.
Dia yang mendekap ku dari belakang, menaruh golok tajam ke leherku dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya membawa pistol yang diarahkan ke Kawaki yang sedang berkelahi.
Tanpa pikir panjang aku menginjak kakinya, dan membenturkan belakang kepalaku ke dahinya. Aku menggigit tangannya, dan merebut pistolnya dengan cepat.
“Sulit ku percaya, aku bisa melakukan ini” gumamku merasa terkejut dengan kemampuanku.
Aku pun berhadapan dengannya, “Letakkan golok mu dan menyerahlah, atau aku tembak” ancam ku mencoba membidiknya.
“Letakkan pistol itu, gadis bodoh. Aku bisa melayangkan golokku ke arahmu lebih cepat” dia tak mengindahkan perkataanku.
“Tembak sekarang!!!” teriak Kawaki yang masih bertarung dengan yang lain.
Dia mendekat dan mencoba menyerang ku, aku pun menarik pelatuk pistol yang ku pegang dan membidik kaki kanan dan bahu kirinya. Untuk pertama kalinya aku menembak seseorang, tanganku langsung bergetar. Terduduk lemas di pinggir jalan…merasa bingung apakah yang ku lakukan adalah benar?.
Pria itu terkapar di depanku, aku hanya terpaku melihatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments