POV KAWAKI (sudut pandang Kawaki)
Aku terbaring di ranjang dengan tubuh setengah telan**ng, berbalut selimut. Asahi datang membangunkan ku dengan aroma teh bunga krisan yang menyeruak memenuhi ruangan. Teh hangat yang dibuatnya setiap pagi untukku.
Entah berapa lama dia melakukan itu untukku, tapi aku sangat berterimakasih untuk apa yang dia lakukan kepadaku selama ini. Tubuhku terbangun, duduk di ranjang menatap matahari yang sudah bersinar di jendela dimana Asahi membuka tirai warna putih itu.
“Selamat pagi Tuan Muda” sapanya berdiri di samping ranjangku.
“Selamat pagi, bagaimana kabar dengan sasaran kita selanjutnya?” tanyaku sembari meminum teh yang dibawanya.
“Osamu Aihara tinggal di salah satu rumah sakit Sapporo, di kamar 206. Dia mengalami depresi setelah istri dan anaknya meninggalkannya satu tahun yang lalu. Namun dia masih mengambil perannya dalam peredaran nar**ba untuk area Hokkaido. Dia merupakan anak sulung dari keluarga Aihara” jelas Asahi.
“Seberapa besar perannya di bisnis nar**ba untuk klannya?” tanyaku kembali.
“Masuk rumah sakit adalah tameng untuk dia bisa mengoperasikan seluruh kegiatan pasokan hingga distribusi nar**ba yang di produksi klan Aihara. Dia mengkoordinasikannya dengan berbagai kode – kode sandi melalui komputernya, agar tidak bisa dilacak oleh polisi. Bahkan IPnya tidak bisa terdeteksi oleh pihak kepolisian. Dia bermain sangat teliti, dia satu – satunya orang di balik layar dalam bisnis ini” jelas Asahi memberikan data – data melalui ipad yang diberikan kepadaku.
Nampak jelas dari data – data dilayar ipad, bahwa ini adalah bisnis pendulang emas untuk menyokong klan Aihara.
“Kita harus memotong akar untuk sebuah pohon besar, agar tumbang dan tak menghasilkan buah untuk klan Aihara” kataku.
“Baik, kami sudah mempersiapkan strategi misi ini” kata Asahi.
“Baiklah, nanti malam kita akan beraksi. Siapkan Enju untuk melakukan misi ini bersamaku” perintahku.
“Baik, saya akan segera mengabari Enju untuk bersiap malam ini. Oh ya, mengenai gadis yang bernama Chiyo ternyata berada dalam rumah sakit yang sama saat ini. Dia berada di kamar 108, di diagnosa mengalami patah tulang di bagian jari pada tangan kanannya. Namun itu hanya retak saja, tidak terlalu parah. Dia akan di rawat selama 5 hari ke depan” tambah Asahi.
“Benarkah, berarti mereka dalam sangkar yang sama. Aku harus bersiap untuk malam ini” kataku dengan tersenyum licik.
Malam pun datang…
ID card, finger dan kostum penyamaran, semua yang di perlukan untuk misi telah siap.
“Aku sudah meminta Nemo untuk mengurus CCTV dan pegang kendali di bawah” kata Enju.
“Bagus, saatnya kita mendatangi tikus yang akan kita tangkap” kataku sambil mengenakan kostum penyamaran.
“Hei Kawaki, kamu nampak dokter tertampan yang pernah aku lihat” ujar Enju mencoba bercanda.
“Bukan tampan tapi lebih tepatnya dokter teladan, bersiaplah” sahutku sembari berjalan masuk ke rumah sakit.
“SREKKKK…” Aku membuka pintu lalu menutupnya kembali.
Nampak Osamu menggunakan kacamata dengan laptop di atas ranjangnya.
“Bukankah seharusnya pasien beristirahat jam segini” kataku sembari berjalan santai mendekatinya.
“Apakah kamu dokter baru, aku sudah diberikan izin penuh mengenai kegiatanku. Pergilah aku tidak membutuhkanmu”.
“Sepertinya kamu perlu penenang untuk tidak terlalu banyak aktivitas” kataku membuka masker yang ku kenakan sedari tadi.
“Kamu… siapa kamu?” tanyanya sambil menutup laptop miliknya.
“Aku malaikat pencabut nyawa yang akan membantumu meringankan rasa kehilanganmu dengan begitu tenang” kataku sembari menyuntikkan cairan untuk dia bisa berhalusinasi.
“Apa yang kamu lakukan padaku, siapa yang menyuruhmu?” tanyanya panik seraya mengambil pistol yang berada di laci sebelah ranjangnya.
Namun dengan sigap aku menghalanginya, lantas menutup kembali laci yang terbuka itu.
“TIK TOK… TIK TOK…” hitungan detik obat dengan dosis tinggi itu pun bereaksi.
“Kepalaku… tidak, ah… Sizune …” dia mulai meracau.
Aku memegang tengkuk lehernya dan membisikkan “Pergilah ke atap, Sizune istrimu sedang menantimu. Dia ingin meninggalkanmu selamanya, namun dia merindukanmu. Dia ingin mati bersamamu”.
“Tidak … tidak, Sizune tidak boleh mati…” dia bergegas bangkit dari ranjang dan berlari keluar kamar. Aku pun mengambil laptop miliknya lantas ku serahkan pada Enju yang melintas di depan kamar. Dimasukkannya laptop itu di bawah trolly penuh selimut.
Aku pun berjalan mengikuti Osamu dengan tangga darurat.
Dia berteriak – teriak memanggil istrinya “Sizune!!! Dimana kamu berada?!”.
Sangat menyedihkan, pria gila itu adalah tombak untuk klan Aihara.
“Dia meminta pertolonganmu di bawah sana, lihatlah kebawah” kataku seketika mendorongnya.
Dan…. Brukkk…..Tubuhnya terkulai bersimbah darah di kerumuni orang – orang yang ada dibawah rumah sakit.
“Huft pemandangan yang cukup tragis, pergilah dengan tenang. Istri dan anakmu tak akan pernah kembali untuk mengingatmu” kata perpisahanku.
Aku pun berjalan meninggalkan TKP (Tempat Kejadian Perkara).
Aku melepaskan sarung tangan karet yang sedari tadi ku kenakan, ku masukkan kedalam jas putih yang ku kenakan. Aku melihat gadis angkuh bermata indah itu berjalan di lorong lantai 3.
Dia tak menyadari keberadaan ku, sangat sembrono apakah dia lupa kepada lelaki yang mematahkan jemarinya?.
Aku langsung merangkulnya dari belakang dan menggiringnya ke kamar.
“Masuk kamar saja, pasien harus banyak istirahat. Kalau tidak nanti diistirahatkan lho” kataku lirih.
Aku merasakan dengus nafasnya yang tak beraturan, apakah dia terkejut?.
Enju berhasil menyelesaikan misinya dan berjalan berpapasan denganku, semua data berhasil di salin.
Sesampainya aku dan dia masuk dalam kamar, aku pun langsung memberikan pemandangan yang indah untuk kami nikmati.
“Indah kan..” kataku sambil tersenyum dingin.
“Kamu membunuhnya?” tanyanya.
“Hmmm… menurutmu bagaimana apakah dia terbunuh olehku atau dirinya sendiri?” tanyaku balik lalu menarik selang infus dengan kasar dari tangannya.
“AAAAUUUU…” serunya yang merasa sakit karena infus yang tercabut paksa dari nadinya.
Lalu aku berbaring di ranjangnya, menepuk – nepuk bantal dan memastikan diriku nyaman. Disinilah dia berbaring, ranjang yang paling tidak kusukai.
“Apakah kamu mencari keberadaan ku hingga kesini?” tanyanya memastikan dengan tatapan tak suka yang mengarah kepadaku. Aku suka bola matanya itu.
“Percaya diri sekali kamu ini, memangnya sepenting itukah dirimu bagiku? Ini namanya keberuntungan, saat aku mencoba mengejar tikus dan ternyata ada kelinci yang ikut bersembunyi di sarang yang sama. Tikus telah mati karena ulahnya sendiri, akankah kelinci juga demikian. Hmmm… entahlah” jawabku yang terbaring sambil menutup mata dengan lengan kiriku. Matanya seakan menggodaku untuk ku kalahkan.
Dia mencoba melangkah pelan untuk kabur, dan mengecoh ku dengan pertanyaan lain.
“Lantai apa sebenarnya maumu?”.
“Hmmm… mauku adalah bermain dengan kelinci itu”.
Dia berlari kearah pintu dan membukanya, padahal Enju berdiri di balik pintu. Sangat lucu….
“Kemarilah, atau aku akan melempar pisau dari sakuku ke arahmu” ancam ku.
Dia pun berjalan ke arahku dengan keangkuhannya.
Aku menyisihkan lenganku dan membuka mataku, memiringkan tubuhku dan menatap kearahnya.
“Kamu tak seberani itu, rasa takutmu sudah nampak” kataku.
Pandangannya dengan cepat menatap vas bunga di sebelahku, jelas dia mau melakukan perlawanan. Mudah sekali dirinya terbaca, bodoh…
“Kamu ingin melempar ku dengan vas bunga itu? Cobalah” kataku.
“Menurutmu kepalamu sekeras batu, sampai kamu mau uji nyali” sahutnya sok berani.
Lantas aku mengambil vas bunga itu dan menghantamkan ke kepalaku “PRAKKK…!”. Vas bunga itu pecah berkeping – keping, terasa ada darah yang mengalir ke dahiku. Nampak dia tertegun menatapku, seharusnya dia sadar dengan siapa dia berhadapan.
Aku pun kemudian meraih kepalanya, dan membenturkan dahiku ke dahinya.
“Ku mohon hentikan” katanya masih dengan keangkuhannya meski jelas dia takut padaku.
“Membunuhmu adalah hal sangat mudah, tapi bagiku kamu bukanlah untuk dibunuh. Jadi bertahanlah hingga aku puas denganmu” bisikku di telinganya. Ku lirik tangan kanannya yang berbalut gips warna putih itu, lalu aku mencium tangannya dan meninggalkannya sebagai ucapan selamat tinggal.
Dia menarik, membuatku ingin terus bermain dengannya.
Setelah keluar dari kamar 108, aku berjalan ke basement. Enju dan Nemo langsung menghampiriku dengan mobil sewaan berwarna hitam. Aku pun masuk dan membuang semua alat penyamaran yang ku kenakan ke dalam kantong plastik hitam di dalam mobil.
“Kawaki kenapa dengan dahimu?” tanya Enju sambil melihatku dari spion tengah yang mengarah ke bangku belakang.
“Ini hasil bermain dengan gadis itu” kataku singkat.
Nemo pun menyodorkan tissue kepadaku, tapi aku menepisnya.
“Apakah dia semenarik itu padahal di luar sana banyak gadis – gadis muda dan bahkan wanita dewasa mengantri untuk menemanimu” kata Enju.
“Dia tidak seperti gadis lainnya, yang menyodorkan tubuhnya untukku. Menginginkan sesuatu dariku atau merasa takut kepadaku dan melayaniku. Dia sangat berani dan menantang, dia membuat penatku sedikit hilang” jawabku sembari membayangkan raut wajahnya saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments