Aku sedang menyisir rambutku di depan cermin yang panjang vertikal di samping meja belajarku. Memperhatikan midi dress biru muda yang ku kenakan, meyakinkan diriku tampil sempurna untuk mengantarkan kepergian Hiroshi hari ini.
Megumi masuk ke kamar, lantas duduk di ranjang belakangku sambil memperhatikanku.
“Tadi malam aku bertemu gerombolan anak nakal itu, saat kami beranjak pergi dari karaoke. Keiji mencoba melindungi ku, saat mereka mencoba menarik ku masuk. Tetapi dua orang diantara mereka memukulinya di luar tempat karaoke tersebut dan membawanya pergi dengan sebuah mobil berwarna putih. Aku ditarik masuk oleh laki – laki berambut kuning, aku di paksa untuk minum alcohol. Entah berapa botol aku meminumnya hingga aku merasa mabuk dan tak sadarkan diri” cerita Megumi sambil menundukkan kepala.
Aku menghentikan menyisir rambut, lalu menoleh kearahnya dan membuka laci meja belajar kemudian mengambil ponsel miliknya. Dimana Asahi memberikan ponsel itu kepadaku tadi malam saat kami menuju rumah. Aku menghampirinya dan memberikan ponselnya, lantas menggenggam tangannya.
“Semua salahku, harusnya aku tidak pergi seperti saranmu. Keiji terluka parah karena ku dan tubuhmu penuh luka juga karena ku. Maafkan aku Chiyo… aku selalu menyeret mu dalam masalah” kata Megumi sambil menangis.
Aku pun memeluknya berusaha menenangkannya. “Sudahlah… semua telah selesai, kita hanya perlu berhati – hati sekarang”.
Aku mencoba menghapus air matanya dengan kedua tanganku. Menatapnya dalam dan berkata “Tenanglah, semua akan baik – baik saja”.
Dia mencoba meredakan tangisnya dan tersenyum, “Katakan padaku darimana kamu mendapatkan ponselku? Apa urusan orang yang kamu sebut Asahi dengan masuknya Keiji di rumah sakit, siapa dia?”.
“Aku tak bisa menjelaskan ini, tapi dia menolong kita tadi malam. Ponsel ini aku dapatkan darinya. Dia yang membawa Keiji ke rumah sakit, itu saja yang bisa ku katakan padamu” jelas ku singkat.
“Baiklah kalau kamu tak bisa menjelaskannya rinci, meski masih banyak pertanyaan di benakku. Pasti semalam sangat berat bagimu. Sekarang nikmatilah kebersamaan mu bersama Hiroshi, lupakan tadi malam. Aku akan pulang dengan skuter, ku antar dirimu ke stasiun terlebih dahulu” kata Megumi.
Degh… Skuter!!! Aku lupa akan nasib skuter putih milik paman Megumi, masih terparkir di depan karaoke di Sunagawa. Astaga…!!!...
“Sebaiknya kita bergegas ke Sunagawa menggunakan taxi, untuk mengambil skuter itu. Aku meninggalkannya tadi malam, jangan banyak bertanya dan bersiaplah” kataku sedikit panik.
Kami langsung meluncur ke Sunagawa dengan taxi.
Setibanya kami di depan Karaoke Box B -Style, aku tidak menemukan skuter itu berada. Aku mencoba mencarinya disekitar area itu, dan bertanya kepada orang yang lalu lalang atau pun para pemilik toko sekitar area itu. Namun nihil… tempat karaoke pun tutup, dan pintu utamanya terkunci.
Megumi mengeluarkan ponselnya yang berbunyi, tanda pesan masuk.
Sebuah nomor tak dikenal mengirimi kami photo motor skuter putih dengan plat nomor yang sama dengan milik paman Megumi. Tertulis “Datanglah untuk mengambil sampah ini sendiri, jangan coba menghubungi polisi atau akan kami lebur menjadi barang rongsok”. Jelas ini sebuah ancaman, dia pun memberikan share location.
Kami pun bergegas kesana, meski kami sedikit cemas. Apakah ini sebuah jebakan?.
Jam menunjukkan pukul 14.16, masih ada waktu untuk mengambil skuter sebelum mengantar kepergian Hiroshi pukul 16.00. Semoga tidak ada sesuatu yang terjadi.
Jaraknya cukup jauh dari Sunagawa, kami harus memakan waktu setidaknya 1 jam perjalanan.
Sebuah lokasi terpencil dimana banyak tumpukan mobil tua kami dapati, ini area daur ulang mobil tua. Ada seorang pekerja sedang mengendarai alat berat penghancur.
“Paman, hallo… bolehkah kami meminta waktumu sebentar” panggilku sambil melambaikan tangan kepadanya.
Paman itu berhenti dan beranjak menghampiri kami.
“Hei ada apa kalian kesini?” tanya paman itu.
“Kami sedang mencari skuter ini” kata Megumi sambil menyodorkan photo dari ponselnya.
“Owh sejak dari pagi, ada skuter terparkir di belakang gudang. Entah siapa yang iseng menaruhnya disana, aku tadi juga bertanya pada bos. Tapi bos pun tidak tahu, makanya kami diamkan hingga pemiliknya datang” jawabnya membuat kami lega.
Dia mengantarkan kami ke area belakang gudang, tepat sekali itu skuternya. Kami pun bisa tersenyum lega melihatnya. Aku pun mulai memasukkan kuncinya, dan berhasil menyala. Syukurlah tak ada rusak dan bisa dikendarai.
“Terimakasih paman” kata Megumi sambil membungkukkan badannya.
“Ya, jangan memarkirkan motor lagi disini. Ini bukan area bermain petak umpet seperti ini, masuk tanpa izin juga termasuk pelanggaran hukum” katanya.
“Baik, terimakasih dan mohon maaf sekali lagi” tambahku sambil membungkukkan badan ke ke arahnya.
Kami bergegas melaju kearah stasiun Shin Hakodate – Hokuto, jam sudah menunjukkan pukul 15.30. Tak banyak waktu yang tersisa, seketika aku melajukan skuter dengan kencang. Namun di tengah perjalanan, kami di hadang sebuah mobil sport sedan berwarna putih. Aku langsung mengerem semampuku agar tak menghantam mobil yang ada di hadapanku itu.
“AAAARGHHHH…!!!!” teriak Megumi yang duduk dibelakang.
Ban skuter berhenti persis di depan sisi samping mobil itu, hampir saja… jantungku masih degh – deghan.
“Chiyo.. itu mobil yang sama membawa Keiji tadi malam” bisik Megumi. Aku tertegun menatap kaca mobil yang terbuka, ada Kawaki di dalamnya memegang setir mobil. “Gawat” gumamku lirih.
Kondisi jalan yang sepi, membuat kami tak seberuntung itu bertemu dengannya. Meminta tolong pun percuma. Sebuah pistol kecil di todongkan kearah kami dari dalam mobil.
“Hei Chiyo masuklah mari kita bersenang – senang atau aku tembak” katanya.
Megumi memeluk pinggangku dengan erat, “Jangan pergi… aku akan menelpon polisi, dia sangat berbahaya. Aku tak mau kehilanganmu”.
“Tenanglah Megumi, aku akan baik – baik saja. Dalam situasi seperti ini, percuma menelpon polisi. Pelurunya lebih cepat melayang ke arah kita, ketimbang kedatangan polisi setempat” jawabku melepaskan pelukan Megumi.
“Tidak… ku mohon Chiyo jangan pergi!” teriak Megumi yang melihatku masuk kedalam mobil.
Aku menoleh kearah Megumi dan berkata “Jangan kabari siapapun mengenai hal ini, pulanglah… ku pastikan aku baik – baik saja”.
Kawaki tersenyum sinis sambil menutup kaca pintu mobil dan melaju kan mobilnya sangat kencang.
“Bolehkah aku meminta sesuatu kepadamu?” tanyaku agak ragu.
“Katakanlah” jawabnya.
“Antarkan aku ke stasiun Shin Hakodate – Hokuto sekarang, ada yang ingin aku temui. Aku berjanji aku tidak akan melarikan diri atau menelpon polisi. Ku mohon” mintaku agak putus asa.
“Hmmm… aku bukanlah orang yang mudah percaya, dan bermurah hati mengabulkan setiap permintaan” katanya.
“Aku pertaruhkan tangan kananku, apabila aku tak kembali dan berbohong kepadamu. Ku mohon, ini sangat penting bagiku” tambahku tanpa ragu mengajukan kesepakatan kepadanya.
“Benarkah?” dia pun memegang telapak tangan kananku dan menciumnya. Lantas memutar arah mobilnya menuju stasiun Shin Hakodate – Hokuto.
Tepat pukul 15.50 aku sampai di depan stasiun, aku melepaskan sabuk pengaman dan membuka pintu mobil.
Tangan kananku di genggam olehnya “Ingat janjimu padaku”. Aku pun menganggukkan kepala dan melepaskan tanganku lantas bergegas berlari masuk ke stasiun.
Aku meneriakkan nama Hiroshi dan mencarinya di tengah kerumunan penumpang lainnya. Nampak Hiroshi didepan gerbong Shinkansen melambaikan tangan kepadaku. Mengenakan jaket berwarna coklat dan ransel hitam. Seketika aku berlari dan memeluknya erat ditengah kerumunan penumpang.
“Aku kira kamu tidak datang mengantar kepergianku”.
“Itu tidak mungkin, aku pasti datang”.
“Aku berusaha menelepon mu tapi tidak aktif dari tadi pagi, aku takut kamu terlalu sibuk”.
“Aku tidak punya kesibukan apapun, ponselku rusak jadi tidak bisa dihubungi”.
“Aku senang kamu datang, aku akan segera kembali. Akan ku usahakan untuk pulang setiap minggu”.
“Kalau kamu sibuk tidak perlu memaksakan diri, kamu pasti lelah dengan kegiatan kampusmu. Tenanglah aku bisa jaga diri”.
“Kamu selalu membuatku cemas, aku pun tidak akan tenang bila meninggalkanmu terlalu lama. Jangan coba mencari masalah dan berkelahi. Lihatlah tubuhmu penuh luka, apakah kamu berkelahi lagi?”.
“Aku hanya terjatuh dari skuter, tidak ada yang parah kok tenang saja”.
“Kenapa dengan jarimu di perban seperti ini, padahal baru di buka gips nya sudah luka lagi. Jadilah anak manis, kabari aku kalau ponselmu sudah diperbaiki. Aku akan merindukanmu”.
“Iya baiklah, oh ya aku punya sesuatu untukmu”.
Aku memberikan gantungan ponsel berwarna biru laut yang sudah ku persiapkan untuknya, dan memasangkannya ke ponselnya.
“Harusnya ini couple, karena ponselku rusak jadi aku tidak bisa memamerkannya kepadamu. Ingatlah aku saat melihatnya”.
“Pasti, ini sangat cute. Baiklah aku harus berangkat, jaga dirimu dan tunggu aku”.
“Pasti”.
Dia pun memelukku dengan hangat dan mendaratkan ciuman di keningku. Aku pun bingung mendapati ciuman itu, karena ini pertama kalinya aku diperlakukan seperti ini olehnya. Dia pun pergi sambil tersenyum dan masuk ke dalam Shinkansen. Aku pun melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum. Meski setelah ini aku harus menghadapi Kawaki seorang diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments