Sejak dipindah ke rawat inap, Aurel makin tidak sabar untuk pulang. Alya sudah bilang, ia dibolehkan pulang besok.
“Skala mana, Bu?”
“Hus! Dia itu lebih tua dari kamu," tegurnya. Alya tersenyum mengingat di hari pertama ia juga memanggil Skala dengan “Pak” namun maunya dipanggil nama saja.
“Om Skala mana, Bu?” ulangnya.
“Kamu ini … ya jangan Om juga.”
“Gapapa, biar beda dong.”
Cklek
Baru dibicarakan sudah datang.
“Om Skala!” serunya dengan gembira.
Skala tercenung dan berhenti memegang gagang pintu. “Om??” beonya takut salah dengar.
Alya tergelak. “Maafin Aurel ya, Skala. Dia emang suka iseng.”
“Ohh." Begitu rupanya. “gak usah manggil Om. Panggil aja Skala.”
“Tuhkan, Bu, gapapa.”
Skala menutup pintu dan menghampiri mereka. “Gimana, Aurel? Udah sehat total?”
“Udah dong.”
Ah iya. Skala kemari hanya mampir untuk sesuatu karena ada hal yang harus ia siapkan sebelum tinggal di Jakarta, atas permintaan Alya.
“Ini ponsel kamu. Udah diservis.”
Aurel menerima ponselnya, mungkin. “Emangnya kapan rusak?”
“Ceritanya nanti aja. Bu, saya harus ke kantor lagi sekalian ngurus sertifikat rumah.”
“Sudah beli rumah ya ternyata,” goda Alya.
“Iya. Saya pamit, Bu.” Skala melihat raut wajah Aurel yang aneh. Tidak. Saat tertidur pun aneh. “kamu kenapa ngeliatin saya?”
“Gapapa, cuma ... Kayak pernah liat.” Tapi dengan segera Aurel mengabaikan kalimatnya karena harus mengecek ponselnya.
Skala tersenyum, setidaknya ada harapan.
Sepeninggal Skala, Aurel bertanya pada Ibunya, “Skala itu kenal keluarga kita udah lama ya, Bu?”
“Hampir setahun.” Itupun saat Alya mendengar kabar dari rumah sakit. Tidak bohong juga kan.
“Baru kenal?”
“Iya, tapi rasanya sudah lama kenal, Nduk.”
Alya mendekati Aurel lalu mengusap rambut anaknya. “Ibu bahagia sekarang. Ibu janji akan jaga kamu.”
Aurel tersenyum tipis. Entah kenapa hatinya terasa lega mendengar ucapan itu. Seperti beban-beban yang ingin muncul di benaknya menjadi pergi.
“AURELLLLL!” teriak seorang gadis sepantaran Aurel yang masuk tiba-tiba. Melihat Aurel diam saja membuat dia sadar. “kita kenalan lagi deh. Nama gue Nabila.”
“Nabila,” ejanya. “Iya, nanti aku inget-inget nama kamu.”
“Lo kapan sekolah lagi? Gue kangen berangkat bareng.”
Aurel melirik Ibunya. “Gak tau .. Secepatnya deh.”
“Yeay!”
Dan lain-lain … mereka mengobrol hampir 3 jam penuh.
“Rel, gue harap lo gak ngelakuin hal itu lagi. Gue mau mati rasanya.” Nabila tiba-tiba membahas hal itu.
“Aku kenapa?”
“Gapapa, nanti gue ceritain kalau lo udah sekolah.”
Entahlah. Aurel tidak tahu apa yang ia perbuat sampai Nabila berkata demikian. Menurutnya, yang ia perbuat sangat fatal. Apalagi sampai koma selama ini.
***
“Ndung, sebenarnya Ibu ragu mau pulang ke rumah.” Alya sudah menceritakan bagaimana keadaan rumahnya yang mungkin akan membuat kondisi Aurel tambah buruk, menurut Skala.
“Atau mau ke rumah saya dulu, Bu?”
“Eh jangan, ndak enak.”
“Gapapa. Daripada Aurel kenapa-kenapa.”
“Aku kenapa?” Kepala Aurel tiba-tiba muncul dari jendela mobil tepat Skala duduk di kursi kemudi.
Skala terkejut lalu mengusap dadanya. “Ya ampun … bikin kaget aja.”
Aurel duduk di belakang karena Alya duduk di sebelah Skala. Setelah mobil berhenti di depan latar rumahnya, Aurel nampak biasa saja karena belum ingat. Skala dan Aurel berjalan di belakang Alya.
Skala sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Alya yang nampak gelisah, sesekali mengelap peluh padahal cuaca tidak terik, toh AC mobilnya berfungsi juga.
Tok Tok Tok
Beberapa detik setelah Alya mengetuk pintu dan tidak ada jawaban, Aurel bertanya, “Di dalam ada siapa sih, Bu?”
“Nanti kamu juga tau,” jawab Alya.
Menyerah tidak ada yang membukakan pintu, Alya akhirnya mengomando mereka agar masuk saja. Tidak ada gunanya orang-orang di dalam tapi mendadak tuli.
Skala menutup hidungnya karena bau alkohol menyeruak begitu masuk ke rumah Alya, begitupun Aurel.
Baru berapa langkah, mereka dikejutkan dengan kedatangan laki-laki setengah mabuk dan berjalan sempoyongan sampai jatuh menubruk meja dekat dinding.
“Bapak! Sadar toh, Pak. Ini anak kita sudah pulang, dia sudah bangun.”
Aurel terkesiap. “Bapak?” Tidak mungkin orangtuanya mabuk seperti sekarang.
Damar adalah ayah Aurel yang saat ini tengah mabuk. Dia terlihat berdiri dengan susah payah lalu melihat Aurel walaupun samar. Damar bicara dengan patah-patah, “Eh lo- anak paling brengsek. Bikin gue bangkrut, puas lo hah?”
Alya segera memukul lengan suaminya, “Jaga bicara kamu! Aurel itu anak baik-baik!”
Skala belum pernah mendengar orangtua berkata kasar pada anaknya sendiri selama ini. Benar-benar kacau. Pasti Aurel kebingungan sekarang.
“Pak, itu semua kata-kata kasar, kan?” Aurel tidak tahu apa kesalahannya sampai dibilang anak bere*gsek oleh bapaknya sendiri.
“Lepasin gue!” Damar berusaha mendekati Aurel. “dengerin gue. Lo mati aja mendingan, gausah bikin susah.”
Saat tangan Damar hendak mendorong Aurel, dengan sigap Skala berdiri menghalanginya. “Jangan bicara kasar ke Aurel, dia anak Bapak.”
Aurel kira setelah koma akan banyak orang yang menyayanginya seperti Ibu, Skala, dan Nabila. Ternyata Damar tidak.
Plak
“Anak gak tau diri!” Damar menampar Aurel sampai anaknya terjatuh ke lantai.
Sekelebat bayangan itu lewat saja dalam pikiran Aurel saat memperhatikan wajah Damar lekat.
Alya menyeret Damar masuk, “Masuk sana! Jangan bikin Aurel tertekan!”
Skala memijit pelipisnya yang berdenyut, lalu balik badan. “Kamu gapapa?”
Aurel bengong di tempat karena berpikir.
“Aurel!” panggil Skala agak keras.
“Iya?”
“Kamu kenapa? Pusing?”
“Sedikit,” ujarnya jujur. Memang agak pusing, entahlah. Sulit dijelaskan.
Inilah sebabnya sejak tadi Alya gelisah, sekarang Skala tahu penyebabnya. Damar sangat tidak suka kehadiran Aurel, bahkan tadi Damar mengaharapkan Aurel tiada saja. Ya ampun, masih ada orangtua seperti itu.
“Mau jalan-jalan?”
“Nggak, aku mau ke depan."
Skala mengangguk dan berjalan lebih dulu ke teras rumah.
“Bapak kok gak suka aku pulang ya?” tanyanya bingung.
“Lagi gak sadar, maklumin aja.” Toh niat Skala menjawab demikian supaya tidak menambah beban pikiran Aurel.
“Iya sih…”
Prangg
“Ibu!” pekik Aurel saat mendengar suara kaca pecah.
Skala mengejar Aurel yang pasti ingin tahu apa yang terjadi.
Aurel menghampiri Ibunya dan memeluknya sambil teriak. “Jangan sakitin Ibu, Pak!” Alya terkejut, tidak biasanya Aurel berteriak didepan Damar.
Skala mendorong Damar ke arah asal sampai terjatuh lalu menarik Aurel dan Alya menjauh dari sana.
“Ibu gapapa?” tanya Aurel khawatir. Hampir saja.
Alya menggeleng. "Ibu gapapa "
“Bu, saya mau bicara.” Sebelum itu Skala menutup pintu supaya Damar tidak bisa keluar. “begini, lebih baik kalian sementara tinggal di rumah saya aja. Daripada terulang lagi, kasian Aurel.”
Aurel malu-malu menjawab, “Gak usah khawatir … aku bisa jaga diri.”
“Gak ngomong ke kamu,” kata Skala menyunggingkan senyuman. “gimana, Bu? Mau ya?”
“Ibu ndak bisa, karna kan besok sudah mulai kerja. Kalau Aurel saja gimana?”
Skala beralih melirik Aurel yang belum paham.
***
Aurel ditinggal oleh Skala yang sudah ditelan entah sisi rumah bagian mana. Ia berjalan pelan sambil melihat isi rumah mewah bak sultan.
Lalu sepasang matanya terkagum-kagum melihat lukisan jumbo yang dilukis langsung di dinding.
“Skala yang lukis?” Aurel berdecak kagum. Ia memperhatikan setiap detailnya. “tapi masa sih?”
“Biasa aja liatnya.” Skala datang sembari membawa nampan berisi camilan kue dan jus jeruk.
Aurel mengikuti langkahnya menuju ruang tamu. “Kamu ngelukis langsung?”
“Iya.” Setelah itu ia menyuruh Aurel duduk diseberangnya. Melihat gadis itu masih memandang takjub lukisannya, Skala tersenyum.
“Itu apa?” Aurel berlari kecil menghampiri dinding tadi setelah dirasa ada sesuatu yang menempel berbentuk hati berwarna merah. “tombol?” batinnya baru lihat.
“Pencet aja kalo penasaran.”
Dengan santainya Aurel memencet tombol dan seketika dinding tersebut terbuka keatas dibagian tengah seperti pintu.
“Wooah!” Aurel rasa Skala benar anak sultan. Astaga. Ia masuk ke pintu tersebut dan naik layaknya lift. Begitu berhenti, barulah Aurel diam karena sisi belakang terbuka ke ruangan seperti perpustakaan. Sebut saja ia norak karena baru pertama kali lihat lift dalam rumah.
Aurel melompat kecil dari lift dan terpesona melihat jejeran rak buku berwarna abu-abu dan bukunya yang warna-warni.
“Karna kamu juga penghuni rumah sekarang. Baca seperlunya aja, jangan berantakin perpus,” ujar Skala yang sudah ada di belakang Aurel.
Aurel tepuk tangan kagum. “Makasih.” Tapi ada yang aneh menurutnya. “tapi, kenapa wallpaper tembok kamu semuanya berhubungan sama air?”
“Ya karena itu komponen penting setelah udara dan tanah,” jawab Skala sekenanya. Dengan polosnya Aurel percaya.
“Kamu bisa tinggal disini selama aku ada tugas di Jakarta.”
Aurel mengangguk, “Iya, makasih, Skala. Nama kamu skala, artinya perbandingan. Tapi aku rasa kamu gak suka membandingkan orang lain.”
“Hm?”
“Terbukti dari kamu yang kastanya jauh diatas keluarga aku, tapi kamu masih mau berteman.”
Skala tertawa singkat, “Kasta.” Ia bergumam pelan. “ada yang lebih penting dari kasta.”
“Apa?”
“Tata krama.”
“Iya, bener juga.”
Mereka saling lempar senyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
youuuu
gua baca sambil dengerin lagu reset, baca kek keinget drakor where are you school 2015 pas liat visual si Aurel langsung kaget...wah kok bisa nyambung gitu😂
2021-03-02
1
(`⌒´メ) HONEY BEAR ✧ 🦕
skala? Hmm nama yg unik😏
2020-12-13
1
Isti Komah
percakapan mereka lucu
2020-11-25
1