[[REVISI]]
[Krisan]
Namaku Krisan. Di bulan-bulan menjelang akhir semester seperti ini, aku dan semua orang yang berprofesi sebagai guru mulai disibukkan dengan pembuatan soal-soal untuk ujian. Beberapa sekolah juga memikirkan penataan ruang kelas khusus untuk ujian. Termasuk sekolahku. Besok Senin anak-anak sudah harus menjalani ujian akhir semester. Kami para guru harus rapat hari ini, meski hari Sabtu. Mengapa? Karena hari Sabtu, kegiatan belajar-mengajar tidak ada. Biasanya hanya ada ekskul, kerja kelompok mandiri, atau ada remedial test. Nah, hari ini sekolah sengaja disterilkan untuk penataan ruang-ruang kelas. Rapat kami ada 3 sesi: pagi, siang dan malam, dan masing-masing ada break yang cukup untuk makan, istirahat, atau pulang sebentar. Seperti aku sekarang. Pulang untuk mandi.
“Beneran nggak bisa ijin San?” tanya ibuku.
“Enggak Ma.” Jawabku sambil mengikat tali sepatu sneakers ku. Aku kemudian duduk di kursi tamu. “Aku koordinator kelas XI dan aku harus memastikan kertas ujian cukup dengan jumlah siswa selama 5 hari. Juga harus mengecek nama mereka udah ada di tempat duduk mereka.”
Ibuku berdecak. “Bertanggung jawab banget sih?”
Aku tersenyum. “Kan Mama sendiri yang ngajarin kalau: kerja harus dengan sepenuh hati.”
“Ini kok masih ngobrol?” tanya ayahku dari dalam rumah. “San, kamu tolong anterin Papa Mama dulu ya? Lewat BW kan?”
“Siap... Aku juga pengen lihat calonku.”
Mereka tertawa.
“Makanya ikutan!”
“Udahlah Ma. San-san harus rapat.” Sahut ayahkku.
Aku berdiri dan menutup pintu. “Ya udah, ayo berangkat.” Aku mendahuluinya untuk masuk ke mobil. Ponselku berdering ada pesan masuk. Kulihat mereka sudah masuk ke mobil. “Ma, Pa, katanya nanti Jiang-jiang mau mampir. Gimana?”
“Oh ya nggak papa. Tapi suruh datang jam 9 ke atas ya. Kasian nanti nunggu kelamaan.” Jawab Mama yang baru saja masuk lalu menutup pintu mobil.
Jiang-jiang adalah saudara kembarku, dia lebih tua katanya karena lahir setelah aku. Kelahiran kami sebenarnya hanya terpaut dua jam, tapi karena aku lahir jam 11 malam dan Jiang-jiang jam 1 pagi, jadi tanggal lahir kami beda sehari. Meski kami kembar, perhatian kedua orang tuaku tidak sama. Jiang-jiang anak kesayangan Mama, karena dia yang paling ganteng, nggak rewel, dan berprestasi dari kecil. Huh, ya... aku hanya butiran debu jika dibanding dengan dia. Papa kadang kasihan denganku dan selalu bilang aku jadi anak kesayangan Papa. Maka dari itu, aku sering dinasehati untuk bisa bekerja keras, dan kalau bisa ambil pekerjaan yang berdampak bagi banyak orang. Makanya aku memilih menjadi guru.
Tak lama kami sudah sampai tempat tujuan. Orang tuaku akan dinner dengan temannya dan anaknya yang akan dijodohkan denganku. Aku awalnya menolak, perjodohan adalah sesuatu yang kuno dan pemaksaan. Tapi katanya kalau tidak dijodohkan aku tidak bisa kenal cewek karena terlalu sibuk kerja. Kebanyakan gaul sama bocil-bocil. Lha tapi yang mereka kenalkan juga bocil. Gimana sih?
Katanya sih aku udah pemuda lumutan makanya harus segera dinikahkan. Mereka menganggap usia dua puluh ke atas jika masih melajang selalu dianggap tua. Tapi berbeda dengan diriku. Aku masih ingin berkarir dan tentang mendirikan rumah tangga rasanya belum terlintas di benakku. Tapi ya sudahlah, apa salahnya berkenalan dulu? Apalagi setelah aku tahu calonku seperti dia, tentu aku dengan senang hati dijodohkan.
“Tuh Lina juga baru nyampe San. Nggak mau ngobrol dulu? Kalian kan belum pernah ketemu langsung.” Kata Mama lagi.
Aku tersenyum lalu menggeleng. “Kalau ketemu sih tiap hari, Ma. Udah biar jadi kejutan aja. Biar dia penasaran dulu.” Aku tertawa kecil lalu pamit untuk langsung ke sekolah. Setelah mereka turun dan menutup pintu aku langsung pergi.
Sesampainya di sekolah, aku memarkirkan mobilku di area parkir guru di halaman belakang. Aku memasukkan ponsel ke dalam saku celanaku lalu tuurn dari mobil. Aku berjalan masuk melalui pintu belakang. Aku bertemu Mbak Hesti, salah seorang guru kelas XI juga. “Bagaimana Mbak, kelas sudah beres?”
“Kelas XI sudah, Mas.” Jawabnya. Ia ijin pamit pulang duluan. Maklum ibu muda yang baru melahirkan tidak bisa meninggalkan anaknya terlalu lama, meskipun ada ibu dan suaminya di rumah. Lagi pula Mbak Hesti tidak mengambil break-nya agar bisa segera pulang.
Aku melanjutkan langkahku. “Gimana bro?” tanyaku pada Mas Kenny, teman dekatku sejak bekerja di sini.
“Gimana, gimana. Enaknya nanya!” sahutnya. “Oh iya aku lupa kamu anak ketua yayasan! Kenapa nggak jadi kepala sekolah aja?” Aku segera menjambak rambut ikalnya yang persis seperti sarang burung di atas pohon. “Aduh maaf, Pak Bos!”
Aku segera melepaskannya ketika melihatnya kesakitan. “Awas kowe!” Aku pergi meninggalkannya naik tangga ke lantai 2. Memang Mas Kenny sering membully statusku yang adalah anak ketua yayasan. Dia sering bertanya kenapa nggak jadi kepala sekolah aja? Menurutku terlalu mendadak sih. Aku butuh pengalaman mengajar anak-anak baru bisa menjadi kepala sekolah. Nggak mau mempertaruhkan nama baik sekolah dan yayasan.
Aku berjalan menuju ruang ujian 2A. Aku mengecek apakah kartu ujian sudah ditempel dengan baik di meja siswa. Aku berhenti di meja baris depan kolom 4. Aku tersenyum. Itu adalah meja Lina. Tepat di depan meja guru. Menyenangkan pasti kalau ia dapat giliran jaga di ruang 2A. Aku duduk di meja itu dan melihat kartu ujiannya yang terdapat pas foto terbaru. Aku teringat pertama bertemu Lina waktu MPLS. Waktu itu aku sudah ditugasi menjadi wali kelas, dan itu adalah kali pertamanya. Aku memegang kelas X-IPS-1. Waktu itu pula kedua orang tuaku telah memberitahu bahwa aku akan dijodohkan. Pikiranku dipenuhi dengan prediksiku tentang masa depanku sehingga membuat hari pertamaku cukup kacau. Di perjalanan menuju sekolah, aku yang membawa motor sempat hampir menabrak tukang becak, tukang kacang hijau, dan juga barisan bebek yang lewat di area persawahan dekat sekolah. Oleh karena itu aku sedikit lagi terlambat.
Baru saja masuk ke ruang guru, bel masuk sudah berbunyi. Aku segera mempersiapkan diri untuk masuk ke kelas pertamaku. Aku mengambil laptopku dan berjalan dengan tergesa. Masih sama: kata 'perjodohan’ itu menyelinap lagi di otakku. Apalagi setelah aku tahu gadis yang dijodohkan denganku masih berusia 16 tahun kala itu. Orang tuaku ingin menjodohkanku dengan bocil? Ia masih SMA dan sudah akan menjadi isteri? Bayangkan saja remaja seusia mereka –anak didikku sudah harus diam di dapur melayani suaminya!
Hingga aku tak sengaja menabrak seorang murid. Dia masih berseragam putih-biru, itu artinya dia anak kelas X yang akan mulai MPLS hari ini. Ia tak terlalu cantik bagi sebagian orang. Berpenampilan apa adanya, dan senyuman yang… masih terngiang di benakku. Kami sempat saling menatap, namun hanya sejenak. Ia langsung menunduk. “Maaf, Pak!.” satu kata yang diucapkannya sebelum dia berjalan cepat masuk ke kelasnya. Aku terdiam saat ia masuk ke kelas X-IPS-1. Ternyata dia muridku.
Di hari pertama masuk, teman-temannya langsung mengajukannya sebagai sekretaris. Hasil voting juga memperkuat posisinya. Ia menjadi sering bertemu denganku untuk mengembalikan buku absensi, jurnal kelas dan buku tugas. Aku juga mulai mengambil kesempatan untuk melibatkannya dalam proses mengajar, seperti membantuku membawakan laptop atau kertas ulangan. Ya biar kami bisa berbicara banyak. Tapi hasilnya aku hanya mengenalnya di permukaan. Penasaran, dan aku memutuskan untuk mengejarnya.
Menjelang ujian kenaikan kelas, mereka mengajakku bertemu orang tuanya. Waktu itu aku belum tahu jika dialah yang dijodohkan denganku. “Sayang banget Lina baru kerja kelompok di rumah temennya.” Kata ayahnya. Aku melihat sekeliling dan setelah aku melihat foto-foto di ruang tengah aku baru mengetahui bahwa dia orangnya, Tau gitu sih dengan sukarela aku dijodohkan.
Aku beranjak dari posisiku lalu kembali mengecek semua meja siswa di ruangan itu. Lalu aku juga mengecek di ruangan lainnya. Terakhir aku pergi ke ruang panitia dan memastikan paket soal sudah disegel dengan rapi sejumlah siswa. Hingga ponselku berdering: telepon dari Papa. Ternyata sudah hampir pukul sembilan. Aku menjawabnya sambil pamit pulang. Aku menuruni tangga dan menuju ke mobil.
Sesampainya di basement Best Western Premiere Hotel, aku melihat ada mobil Jiang-jiang terparkir di sana. Aku memarkirkan mobilku di sebelahnya. Aku kemudian turun dan mengetuk kacanya. Ia membuka pintu lalu turun. “Heh di sini juga?” tanyaku. Ia tersenyum lebar. “Ngapain?”
“Tadi kan aku bilang mau jemput –“
“Ooh.. di sini juga? Beneran deh, aku pengen lihat gebetanmu!”
Tak lama kemudian, aku melihat mereka keluar dari lift. Aku segera masuk ke mobil.
“Maria sama Lina pulang naik apa? Bareng sama kita apa?” tawar Mama. Ya aku masih mendengar mereka berbicara sambil berjalan menuju ke tempat kami karena aku sengaja menurunnkan kaca mobilku sedikit agar bisa mendengar apa yang mereka ucapkan.
“Oh makasih Bu. Ada temen yang jemput.”
“Lho, Jiang, kamu kok di sini?” Papa sepertinya terkejut melihat keberadaan Jiang-jiang.
Ia tersenyum lebar. “Mau jemput temen.”
“Oh, lha mana temenmu?” ia langsung menunjuk Lina. Mataku terbelalak. Jadi Lina gebetannya Jiang-jiang?
“Ehalah.. ternyata kalian udah saling kenal. Lina ini calonnya San-san.”
Senyum lebar Jiang-jiang langsung memudar. Mungkin perasaan kami saat ini sama: sama-sama sesak mengetahui kenyataan kami mencintai perempuan yang sama. Aku tersenyum getir. Seperti inikah nasib saudara kembar?
“Oh. Yaudah Ma, Pa, aku antar Lina sama Tante Maria pulang dulu. Ndak kemaleman.” Ia segera masuk ke mobil untuk menyudahinya.
“Dunia sempit banget ya Pa?” ucap Mama masuk ke mobil. “Lina udah kenal sama Jiang-jiang ternyata.” Sambungnya. Aku hanya tersenyum tipis.
“Bagaimana tadi?”
“Ya nggak gimana-gimana sih. Makanya kamu lain kali ikut...”
Sepertinya benar dugaanku. Mereka lebih banyak ngobrol dengan orang tuanya. Ya seperti biasa, Lina susah diajak bicara. Dia sangat introvert, dan butuh pendamping yang ekstrovert, seperti... aku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Fitriani
cpt banget lengketnya 😊😊
2020-12-11
0
rh_@doen.
Lanjut Thor !
2020-11-18
0
Alanna Th
baru nie baca novel wong Jowo. lnjt, thor, asyik
2020-10-20
8