Bab 16
Beni merasa bingung harus bilang apa kepada Mitha. Sebenarnya inti tubuh Mia juga sama seperti dirinya, panas, perih, dan lecet. Namun, jika dia takut nanti istrinya banyak tanya kenapa mereka berdua bisa sama-sama mengalami hal yang sama.
"Ada apa lagi, sih, Mas?" tanya Mitha masih melihat kepada Beni.
"Ti–dak. Hanya saja ... kita pergi naik mobil, siapa yang akan jadi sopirnya? Mas tidak akan kuat kalau harus menyetir. Sedangkan kamu sedang hamil besar. Apa kita minta tolong sama Mia saja untuk menyetir?" tanya Beni dengan gugup.
Mitha yakin kalau saat ini Mia juga sedang merasakan kesakitan dan Beni secara tidak langsung ingin mengajaknya berobat. Namun, dia ingin memberikan pelajaran untuk wanita itu juga agar sadar akan kelakuannya selama ini.
"Oh. Mia itu masih dalam pemulihan pasca sakit diare, Mas. Jadi, aku akan minta Salma saja yang jadi sopir. Dia sehat dan bisa menyetir dengan ngebut juga. Bukannya sekarang Mas harus segera mendapatkan perawatan," jawab Mitha sambil tersenyum tipis, sementara kedua tangannya sibuk memakai mantel untuk menghalau rasa dingin angin malam yang tidak baik untuk kesehatannya.
Beni tidak bisa lagi membalas ucapan sang istri. Jika dia memaksa untuk membawa ke rumah sakit, maka mereka akan diinterogasi.
Akhirnya mereka memutuskan pergi dengan Salma yang menjadi sopirnya. Namun, terjadi keributan saat Beni pamit dahulu kepada Bu Yeni saat akan pergi ke rumah sakit.
"Kamu sakit apa? Kenapa mendadak seperti ini?" tanya Bu Yeni dengan mata yang berkaca-kaca.
"Eh, i–tu ... aku mau periksa anu ...." Beni merasa bingung harus menjawab apa.
"Burungnya Mas Beni sakit, Bu," lanjut Mitha sambil menunjuk ke arah inti suaminya.
Mulut Bu Yeni menganga dengan tangan menutup mulutnya. Dia tidak percaya kalau putranya mengalami masalah di ke*jantannya.
"Tidak mungkin! Kamu tidak punya penyakit berbahaya 'kan, Beni?" Suara Bu Yeni memekik memenuhi ruang depan rumah.
Mendengar suara ribut, Mia pun memutuskan keluar dari kamarnya. Dia melihat orang-orang sedang berkumpul di ruang tamu dan keadaan agak tegang.
"Tidak, Bu. Ini hanya merah dan lecet saja," balas Beni mencoba menenangkan ibunya. Padahal dirinya sendiri sudah tidak kuat menahan rasa sakit itu terlalu lama.
"Sama saja. Itu daerah rawan, Beni. Kenapa bisa jadi seperti itu? Mitha, kamu apakan burungnya anakku?" Kali ini Bu Yeni malah menuduh menantunya.
Alis Mitha mengkerut setelah mendengar tuduhan Bu Yeni. Dia merasa kesal ucapan ibu mertuanya. Anaknya yang sudah selingkuh dan berbuat dosa, kenapa dirinya yang harus disalahkan.
"Sebaiknya Ibu tanya sama Mas Beni. Kenapa burungnya sampai bisa seperti itu? Aku dan Mas Beni sudah lama tidak melakukan hubungan badan. Setiap aku ajak, Mas Beni menolak dengan alasan capai. Padahal aku sebagai seorang istri mengerti akan kebutuhan nafkah batinnya. Aku jadi curiga kalau Mas Beni suka main sama wanita di luar sana," balas Mitha dan membuat tiga orang membelalakkan matanya. Mereka adalah Bu Yeni, Beni, dan Mia.
Wajah Beni dan Mia langsung pucat pasi begitu mendengar ucapan Mitha. Hal ini membuat Mitha dan Salma ingin tertawa.
"Jangan menuduh seenaknya!" bentak Bu Yeni tidak terima anaknya dijelek-jelekkan oleh orang lain. Mata wanita paruh baya ini melotot kepada Mitha.
Beni yang tidak mau terjadi pertengkaran di malam hari seperti ini memutuskan untuk menenangkan ibunya. Dia juga memberikan kode kepada Mia agar ikut menenangkan emosi wanita yang sudah melahirkan dirinya.
"Sudah ... sudah. Sebaiknya kita segera pergi ke rumah sakit. Rasanya Mas merasa semakin kesakitan," ucap Beni sambil melihat ke arah Mitha.
"Aku ikut!" pinta Mia dengan penuh harap bisa diajak juga. Wanita ini sudah tidak kuat dengan rasa yang menyiksa di bagian inti tubuhnya.
"Untuk apa kamu ikut? Tunggu saja di rumah bersama Ibu!" titah Mitha dengan tatapan tajam kepada Mia.
Terlihat Mia bingung untuk mencari alasan kenapa ingin ikut ke rumah sakit. Jika dia jujur, takut Mitha marah dan murka kepadanya.
"E ... e, a–ku mau periksa kesehatan," balas Mia sambil menyeringai lebar dengan bola mata yang bergerak-gerak seperti orang gelisah karena ketahuan rahasianya.
"Ayo, kamu juga ikut!" ajak Beni kepada Mia.
Beni menarik tangan Mia dan Mitha ke luar rumah. Dia sudah tidak tahan ingin segera mendapatkan pengobatan agar sakitnya hilang.
Salma yang menjadi sopir, Mia duduk di kursi penumpang yang ada di samping pengemudi. Lalu, Mitha dan Beni duduk di kursi penumpang di bagian belakang.
"Memangnya kenapa sampai bisa burung Mas Beni menjadi merah dan lecet?" tanya Salma sambil mengemudi.
"Tidak tahu. Tiba-tiba saja seperti itu," jawab Beni sambil meringis menahan rasa sakit.
"Hati-hati, loh! Bisa saja itu penyakit kelamin dan berbahaya," tukas Salma sambil menahan tawa.
Salma melihat Beni lewat kaca spion tengah. Wajah laki-laki itu memucat. Ada rasa senang membuat laki-laki durjana itu ketakutan.
"Ih, ngeri banget kalau sampai itu terjadi," lanjut Mitha sambil memperlihatkan ekspresi ngeri.
"Iyalah. Jangan anggap remeh penyakit yang muncul di kelamin, loh. Bisa-bisa nanti burung Mas Beni dipotong agar penyakitnya tidak menjalar ke tempat lain," pungkas Salma.
Wajah Beni dan Mia semakin pucat pasi. Kedua manusia tidak tahu diri itu ketakutan setengah mati jika hal itu terjadi lagi. Keringat langsung membasahi sekujur tubuhnya.
"Sayang, burung milik Mas tidak akan dipotong, 'kan?" tanya Beni kepada Mitha dengan ekspresi wajah ketakutan.
"Ya, kalau penyakitnya parah dan kata dokter baiknya dipotong, ya ... kita potong saja, Mas," jawab Mitha.
"Apa?" Beni langsung melotot kepada sang istri.
***
Apakah burung Beni akan baik-baik saja? Akankah perselingkuhan Beni dan Mia akan terbongkar oleh orang lain? Ikuti terus kisah mereka, ya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Alanna Th
ya, dpotong lbh brguna jadiin sosis grng tuk sarapan mertua
2025-01-13
1
Sukliang
iya potong aja bisr sadar
2024-02-22
1
Arin
Nah ketar ketirkan kamu Beni, gak mikir sih asal celap celup sama perempuan lain yang tidak sah di sentuh.
2024-02-15
2