“Selamat pagi Luna, sarapan sudah siap, mari kita makan!” ujar Rendra sambil menata makanan di meja makan.
Luna melihat sekeliling, tidak ada embak, bibi, atau siapapun di sini. Rendra menyiapkan makanan ini sendiri. Hei, rumah sebesar ini apa Rendra tidak mampu membayar pembantu rumah tangga?
“Luna, ayo! Duduklah dan kita nikmati masakanku. Aku tidak pernah gagal dalam hal ini.”
“Mas Rendra sarapan dulu saja, aku masih kenyang,” ucap Luna sambil berlalu ke arah dapur mengambil minuman. Jika boleh jujur, Luna sangat lapar pagi ini. Bagaimana tidak, sejak kemarin siang belum ada sesuap nasi pun yang masuk ke perutnya. Tapi jika harus makan berdua dengan Rendra, ah tidak.
Rendra melihat makanan yang tertata rapi di meja, laki-laki itu merasa perjuangannya hari ini untuk memasak makanan kesukaan Luna sia-sia. Hufff, hembusan nafas panjang keluar dari mulut Rendra. Namun laki-laki itu tiba-tiba tersenyum saat mendengar bunyi perut dari arah Luna.
Rendra tahu apa yang Luna inginkan saat ini. Dengan gerakan cepat, Rendra segera melahap habis makanan di piringnya kemudian beranjak pergi dari meja makan. Dan ya, setelah Rendra pergi Luna segera duduk di meja makan dan memulai ritual makannya.
“Hmm, enak sekali. Ini juga enak, ini juga enak,” cerocos Luna sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya dengan lahap. Rendra tersenyum gemas, dari jauh melihat tingkah istrinya. Meskipun Luna tidak mau makan bersama dengan dirinya, setidaknya gadis itu menyukai masakannya.
Drrtt.. drrtt.. drrtt.. ponsel Luna berbunyi, dari layar tertulis nama Rani.
“Hai Ran..,” sapa Luna setelah menggeser tombol hijau di ponselnya. Rendra yang masih bisa mendengar suara Luna sedikit menggeser kepalanya agar bisa mendengar obrolan sang istri.
“Ih jangan, aku belum selesai baca.” Seru Luna yang membuat Rendra penasaran tentang apayang dibicarakan Luna dengan seorang di telepon.
“Iya Ran, jangan yang edisi itu ih. Yang lain aja, aku punya semuanya mulai dari pertama sampai terakhir yang baru rilis seminggu yang lalu. Novel-novelnya, kumpulan puisi-puisinya, kamu maunya yang mana aku bawain, asal jangan yang baru.” Rendra semakin penasaran tentang apa yang mereka bicarakan.
“Ok, besok aku bawakan. Iya, cerewet banget sih. Buku yang itu, yang edisi ke tiga karya Narendra Baskoro.” Ups, tangan Luna segera menutup mulutnya, kepala gadis itu celingukan ke kiri ke kanan untuk memastikan bahwa Rendra tidak mendengarnya.
Rendra yang mengetahui semua itu hanya bisa menahan tawa. Dia pun tahu jika Luna sangat menyukai bukunya. Bahkan saat ini meja belajar yang dia sediakan untuk tempat buku-buku kuliah Luna, dipenuhi dengan buku-buku karyanya sendiri.
Ya, begitulah. Luna sangat menyukai semua buku karya Narendra Baskoro, suaminya. Mulai dari novel, puisi, antalogi, semua hasil karya Narendra Baskoro dia sukai. Menurut Luna, Rendra adalah seorang penulis yang berbakat, seorang penyair yang mampu membawa kedamaian saat membaca karya-karyanya. Tapi Luna
hanya menyukai karya Rendra, bukan orangnya.
“Luna, aku akan berangkat ke kantor,” ucap Rendra setelah Luna menyelesaikan makannya. Gadis itu hanya mengangguk, sambil tetap memainkan ponselnya.
“Ini kunci mobil merah yang ada di garasi. Pakailah jika kamu ingin pergi!” Rendrameletakkan kunci mobil di meja.
“Tidak perlu Mas Rendra,” Luna menolak tegas.
“Kenapa? Kamu bisa memakainya ke kampus. Kamu tidak suka mobilnya?”
“Tidak, aku bisa naik angkot.”
“Jangan Luna! Beberapa kasus pelecehan dalam angkot marak saat ini. Aku tidak bisa membiarkan hal itu.”
“Tidak perlu khawatir, aku bisa menjaga diri.”
“Tidak Luna. Mungkin aku bisa meminta Mang Ujang untuk mengantarmu.”
“Ah tidak mau, aku tidak suka dengan Mang Ujang.”
“Kalau begitu pilihlah sopir yang kamu suka.”
“Aku tidak mau sopir, aku mau motor. Aku tidak bisa menyetir mobil seperti gadis-gadisyang lain, aku terbiasa mengendarai motor,” sebuah pengakuan lirih muncul dari mulut Luna. Gadis itu menunduk menandai bahwa dirinya tidak bisa lagi mempertahankan harga dirinya.
Lagi-lagi Rendra dibuat gemas oleh kelakuan istrinya. Laki-laki itu ingin sekali memelukdan mencubit pipi Luna saking gemasnya. Namun itu tidak mungkin. Rendra hanya bisa melangkahkan kaki keluar rumah. Sementara Luna merasa sangat kesal dengan Rendra.
*****
Malam ini Luna di rumah seorang diri. Semua asisten rumah tangga sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Rendra hanya menyewa mereka dari pagi sampai sore hari, sisanya mereka bisa menghabiskan waktu bersama keluarganya di rumah.
Malam yang sangat sepi dan tenang. Rendra belum pulang dari kantor, padahal jam di dinding menunjukkan pukul 21.00 namun Rendra masih belum juga pulang. Luna sedikit gelisah, biasanya Rendra selalu pulang sebelum pukul 19.00. Tapi gadis itu segera menepis kegelisahannya dan kembali fokus dengan beberapa tugas kuliah di laptopnya.
Drrt.. drrt.. sebuah notifikasi ponselnya berbunyi. Notifikasi surat kabar online yang baru-baru ini menjadi langganannya.
[Waspadalah! Maling berseliweran di sekitar anda.]
“Apaan sih, orang-orang udah pada enggak jelas,” gerutu Luna.
Drrt..drrtt… kembali ponsel Luna berbunyi, kali ini panggilan dari sahabatnya Rani.
“Iya Ran, ada apa?”
“Lun, hati-hati! Rumah tetanggaku habis kemalingan. Malingnya masuk ke rumah dan bawa senjata. Kamu ati-ati ya!”
“Ahh, iya, iya….”
Luna hanya bisa mengangkat kedua alisnya. Kenapa bisa pas sekali dengan berita yang baru saja ku baca, batinnya.
Gadis itu tidak mau ambil pusing. Kembali dirinya berkonsentrasi dengan tugas-tugasnya. Namun, tiba-tiba terdengar suara aneh dari lantai bawah.
Kreeekkk, kreeekkk, seperti suara benda yang diseret di lantai. Apa itu? Apakah itu maling? Luna mulai sedikit parno.
“Ah tidak itu pasti Mas Rendra. Tapi kenapa Mas Rendra tidak segera naik ke kamar? Biasanya dia.. ah aku juga tidak mendengar mobilnya.”
Luna mendekat ke jendela kamarnya. Dari sini dia bisa melihat halaman depan. “Dimana mobil Mas Rendra? Biasanya dia memarkirkan mobilnya di situ. Itu artinya Mas Rendra belum pulang. Lalu siapa yang di bawah?”
Luna semakin parno. Berita di media online, telepon dari Rina membuat otaknya dipenuhi oleh satu hal, yaitu maling.
“Aku tidak boleh takut, aku harus mengusir maling itu.” Luna segera berlari mencari apapun yang bisa dia temukan di kamar itu. Dan ya, sebuah sapu cukup baginya sebagai senjata.
Pelan-pelan Luna membuka pintu kamar, berjalan dengan hati-hati menuju lantai bawah yang sudah gelap. Samar-samar dirinya melihat sebuah bayangan di garasi.
“Maling itu pasti mau mencuri onderdil mobil,” batinnya.
Luna segera melayangkan sapu yang dia pegang kepada orang itu. Dengan membabi buta Luna memukul orang itu seperti seorang ksatria di dalam film.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments