Imperfect Wife
BAB 1 KESULITAN EKONOMI
"Mas cuma bisa kirim uang segitu dek. Kamu pakai sehemat mungkin ya , kalau mas ada rejeki lagi pasti akan langsung mas transfer."
Itu adalah kalimat yang sering terngiang di telingaku, tempo hari aku menelpon Mas Heri untuk mengirimkan uang bulanan seperti biasa.
Namun jumlah yang Mas Heri transfer tidak seperti saat beberapa bulan pertama dirinya bekerja di perkebunan kelapa sawit di luar pulau.
Sebelum Mas Heri bekerja di luar pulau memang kehidupan rumah tangga kami sudah mengalami kesulitan dalam hal ekonomi dan Mas Heri suamiku, dia dulunya bekerja sebagai seorang buruh lepas di proyek pembangunan jalan tol salah satu kota besar di pulau Jawa.
Usia pernikahan kami memasuki tahun ke lima dan sudah dikaruniai dua buah hati .
Anak pertama kami bernama Rasya tahun ini hampir empat tahun usianya, sedangkan anak kedua bernama Arsya baru satu setengah tahun .
Namaku sendiri adalah Kumala Dewi seorang ibu rumah tangga yang bertekad mengabdikan hidup demi keluarga tercinta.
Setidaknya itu adalah harapanku di awal pernikahan sampai sekarang, namun siapa sangka cobaan datang ketika usia pernikahan kami memasuki lima tahun.
Awalnya,
Pernikahan kami sangat manis dan harmonis, hanya saja ketika anak kedua kami Arsya sakit hingga sampai harus di rawat berhari hari di Rumah sakit swasta, dan masih harus menjalani rawat jalan selama berbulan bulan.
Karena waktu itu kami tidak memiliki kartu jaminan kesehatan dari pemerintah. Maka, isi tabungan terkuras habis untuk biaya perawatan Arsya, dan kami bersyukur Arsya yang didiagnosis penyakit flek paru paru berhasil sembuh usai serangkaian pengobatan selama berbulan bulan.
Dalam situasi yang sama juga, suamiku Mas Heri putus kontrak kerja dengan pemborong proyek tempat dia bernaung selama ini.
Kehidupan rumah tangga yang awalnya berkecukupan mulai mengalami kekurangan dan semakin lama semakin minus sampai harus berhutang kesana kemari.
Kerap kali aku harus berhutang di warung tetangga demi bisa menyiapkan makanan untuk keluarga kecilku.
Tak jarang juga aku harus menerima olokan dari tetangga yang merasa kehidupan nya jauh lebih baik dariku. Mereka tidak tahu saja seperti apa rasanya kondisi tekanan ekonomi yang aku rasakan .
Cih~ Jika aku bisa jujur maka saat ini aku ingin berteriak lantang mengeluarkan semua beban.
Sayangnya aku hanya bisa diam sambil menundukkan kepala setiap lewat di depan para tetangga yang sedang bergosip dan aku sendiri adalah bahan gosip tersebut.
Huft~
Suatu hari seorang teman main ke rumah dan menawarkan Mas Heri untuk ikut bekerja di perkebunan kelapa sawit di luar pulau.
Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit membutuhkan tenaga kerja tambahan dan Mas Heri awalnya ragu antara harus menerima atau menolak.
Jika menerima maka konsekuensinya adalah kami harus menjalankan Pernikahan jarak jauh atau Long Distance Marriage (LDM).
Tapi jika menolak artinya Mas Heri harus berkerja serabutan lagi dengan gaji harian yang tidak pasti.
Mas Heri tidak tega jika harus jauh dari aku dan anak anak tetapi aku meyakinkan , demi perbaikan ekonomi maka kami harus rela mengorbankan jarak dan waktu.
"Demi anak anak mas, demi kehidupan keluarga kecil kita agar lebih baik kedepannya. " ucapku kala itu untuk meyakinkan Mas Heri.
Awal perpisahan yang berat dimana ini adalah pertama kalinya aku mengurus sendiri kedua anakku. Namun karena ada harapan besar demi kesejahteraan keluarga, Mas Heri akan berjuang dan aku akan bertahan bersama anak anak.
Selama tiga bulan pertama semua berjalan normal dan baik baik saja bahkan bisa dibilang pekerjaan Mas Heri sukses.
Setiap bulan Mas Heri rutin mentransfer uang senilai 5 juta rupiah yang akan aku gunakan untuk kebutuhan sehari hari dengan kedua anak kami Rasya dan Arsya.
Kondisi ekonomi kami meningkat, bahkan aku bisa membuka warung kecil kecilan di rumah. Selain itu aku juga ikut asuransi untuk kami sekeluarga.
Para tetangga tidak lagi merendahkan , bahkan mereka mulai mengakrabkan diri denganku.
Status sosial kami di kampung menjadi lebih dihormati, ibarat kata banyak uang pasti banyak teman.
Aku rasa itu sudah merupakan konsep kehidupan bertetangga di wilayah yang aku tinggali.
Namun,
Pada tiga bulan kedua Mas Heri merantau di luar pulau, kami menjadi jarang berkomunikasi. Dari yang awalnya rutin sehari sekali semakin lama semakin berkurang dan pernah selama dua minggu Mas Heri tidak menelpon, padahal aku kan juga kangen sama suamiku.
Selain sulit di hubungi, jatah uang bulanan yang aku terima juga berkurang. Dari yang awalnya 5 juta rupiah turun menjadi 3 juta rupiah.
Aku sempat mengeluh pada suamiku namun Mas Heri memberi alasan jika kondisi perkebunan sedang tidak bagus . Aku hanya bisa menghela nafas setiap kali kami telponan justru Mas Heri yang lebih banyak mengeluh.
Kondisi seperti ini membuat aku harus berhemat, sehemat mungkin agar uang yang diberikan akan cukup sampai bulan selanjutnya.
Pernah aku menelpon Mas Heri, menanyakan kenapa uang yang dia transfer semakin sedikit ? Masa iya perkebunan terus mengalami masa sulit sampai berbulan bulan ?
Namun jawaban yang aku dapatkan tidak sesuai seperti yang aku harapkan. Mas Heri hanya berkata , "Gunakan saja sebaik mungkin uang yang aku kasih dan jangan sering menelpon jika hanya untuk meminta uang. Aku akan berikan lagi bulan depan. Pokoknya jangan sampai anak anak kekurangan, kamu atur sendiri ya ."
Padahal aku sedang kesulitan mengurus dua anak, ditambah uang bulanan yang terus berkurang. Aku harus memutar otak bagaimana caranya agar bisa bertahan hidup sampai Mas Heri mengirim uang di bulan selanjutnya.
Cobaan tidak berhenti sampai disitu, sudah hampir setahun kami berpisah, dan komunikasi kami juga semakin terputus putus.
Bagai karang yang dihantam badai di lautan, aku harus bertahan tanpa kabar yang pasti dari Mas Heri.
Bayangkan saja dari yang awalnya 5juta per bulan, turun menjadi 3 juta perbulan dan kini bahkan belum genap setahun uang bulanan yang aku terima hanya satu juta.
Satu juta bisa dapat apa ???!!!!
Aku kerap berteriak dalam hati kala melihat nominal uang yang ditransfer. Hatiku menjerit sekencang kencangnya.
Uang asuransi sudah menunggak beberapa bulan, warung usahaku juga semakin sepi karena dagangan tidak selengkap dulu.
Satu juta, hanya cukup untuk makan dua kali sehari aku dan anak anak. Itu pun dengan lauk dan sayur seadanya.
Pernah aku dan anak anak hanya makan nasi lauk kerupuk. Kadang hanya nasi dicampur kecap.
Dua anakku tidak mengeluh, mereka dua anakku yang pintar dan mengerti kondisi orang tua .
"Ibuk, nanti kalau ibuk dapat uang banyak Rasya sama Arsya mau makan ayam goreng ya buk." sekelumit ucapan anak sulungku sungguh menyayat hati.
Dan jawaban yang bisa aku berikan hanya, "Sabar ya nak, semoga nanti ibuk dapat rejeki banyak biar kita bisa makan enak."
Dua malaikat kecilku tersenyum mengaminkan ucapanku.
Jujur setiap hari dalam situasi seperti ini membuat aku sering menangis di malam hari sambil memeluk dua anakku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ 𝐀⃝🥀kikyᴳ᯳ᷢ ʰᶦᵃᵗ
apakah suaminya selingkuh🤔
2023-08-03
3
manisnya kamu 😘❤️
Hai thor aku mampir semangat thor
2023-08-02
1