Goodbye, Nadin.

"Chika?" tanyanya menyebut nama itu mengulang.

Kak Belly mengangguk. "Lo kenal? Jangan bilang kalau dia temen lo lagi."

"Enak aja! Temen gue gak ada yang jadi selingkuhan ya, kalau adapun dia bukan temen deket gue!" tukasnya.

"Ya siapa tahu gitu," sahutnya dengan santai. "Terus, kenapa lo nyebut nama dia seolah-olah familiar sama namanya?"

"Gue pernah ketemu sama orang yang namanya sama. Tapi, gue gak yakin sih sama definisi fisik yang lo sebutin itu. Karena gue baru dua kali ketemu," jelasnya sambil mengingat-ingat rupa Chika yang pernah bertemu dengannya.

"Kalau dia beneran selingkuhannya pacar gue, lo mau ngelakuin apa ke dia?"

"Gue Jambak lah," jawab Nadin tanpa pikir panjang.

"Meskipun itu kenalan lo?" tanyanya lagi.

"Sahabat gue sendiri aja, gue jambak rambutnya!" katanya meyakinkan.

Kak Belly terkekeh. "Jahat lo!"

Dih!

Nadin mencebik. "Daripada lo, terlalu baik. Bukannya itu cewek di jambak rambutnya atau seenggaknya, tampar muka pacar lo biar tau rasa. Bukannya malah dibiarin gitu aja," sahutnya tak mau kalah.

"Gue gak pernah kepancing emosi kayak lo ya," balasnya lagi.

Nadin berdecak. Lalu, kembali meminum tehnya hingga tandas. Ia melirik gelas teh milik Kak Belly yang masih utuh.

"Gak Lo minum?" tanya Nadin.

"Harus gue minum ya?"

HAH? Ini yang bego Nadin atau kakaknya sih? Kenapa dia nanya gitu coba? Terus, Nadin buat teh itu cuma buat dipajang aja gitu? Ya, nggak lah! Tentu saja harus diminum.

"Gak! Itu buat lo cuci muka. Menurut lo?!"

"Ck! Marah-marah mulu lo, awas pacar lo kabur. Ups! Bukan pacar, tapi mantan pacar," ejeknya dengan sangat menyebalkan.

Nadin berdecak kesal. Menahan bibirnya agar makian yang sudah ada diujung lidah, tidak keluar dari mulutnya. "Udah lo minum cepet! Ngantuk gue, mau tidur," desaknya.

Dengan patuh Kak Belly meminum teh buatannya yang sudah mulai dingin hingga tandas. Lalu, Nadin segera mencuci gelasnya hingga bersih. Setelah itu, ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Sedangkan Kak Belly, membuntutinya dari belakang.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Semalam, Nadin benar-benar tidur nyenyak. Teh Chamomile sangat amat membantunya untuk tertidur dan Nadin langsung melupakan soal Andra yang tidak mengirimkannya chat. Bahkan hingga pagi ini. Ditambah lagi, curhatan Kak Belly yang tiada henti semakin membuatnya mengantuk. Serasa sedang dibacakan cerita dongeng.

"Good Morning everyone!" serunya dengan semangat empat lima. Nadin menggeliatkan tubuhnya sebelum duduk di kursi meja makan.

"Anak gadis kok bangunnya siang," gerutu Mamanya.

Senyum Nadin yang terbit, langsung saja terbenam dalam hitungan detik. "Apa salahnya sih, Ma? Gak semua orang bangunnya pagi kali, ada juga yang bangunnya siangan dikit."

"Siangan dikit gimana? Ini matahari udah ada di ubun-ubun keles. Ini juga waktunya makan siang."

Nadin jadi tidak mood lagi. Padahal, sebelum memutuskan untuk keluar dari kamar. Nadin harus mengumpulkan moodnya lebih dulu. Alih-alih dapat sambutan yang baik, Mamanya malah mengomelinya. Menyebalkan!

"Yaudah, emangnya kenapa sih? Lagian hari ini, Nadin lagi gak ada kelas. Jadi bisa san–Aw!" Nadin sontak melotot saat kepalanya dipukul oleh Bang Bian.

"Sama orang tua ngelawan terus. Gak masuk surga Lo!" katanya menceramahi.

Nadin mencebik sambil mengusap-usap kepalanya yang sedikit sakit. "Gak usah pukul-pukul kepala orang bisa gak?!" desisnya tajam.

"Udah diem gak usah banyak protes lagi. Mending kamu makan aja, kasih makan cacing-cacing diperutnya."

"Nye-nye nye-nye," ejeknya sambil menjulurkan lidah.

Bang Bian memelototinya, hendak membalasnya lagi. Tapi Mamanya sudah kembali bersuara, "udah diem! Makan kalian, gak usah berantem."

Kedua anaknya langsung patuh begitu saja. Tapi, tak lepas dengan tatapan saling mengejek satu sama lain. Bahkan, dibawah meja kaki mereka gak berhenti saling tendang satu sama lain.

"Bisa diem gak sih, Bang?!" ucapnya dengan nada kesal dan bibir yang mencebik.

"Lah, kamu yang harusnya diem. Kenapa jadi Abang?"

Nadin memutar bola matanya jengkel. Abang satunya ini memang sangat menyebalkan. Nadin rasanya pengen mencakar ekspresi wajahnya yang menjengkelkan itu, sampai berdarah-darah.

"Diem dong," geramnya.

"Kenapa sih, jutek banget kamu. Mentang-mentang udah punya pacar, ga sayang lagi kamu sama Abang?" rajuknya dengan bibir yang ikut cemberut.

"Apa sih, Bang? Kenapa bawa-bawa pacar sih, gak jelas banget Lo!"

"Emang sejak punya pacar kamu seringnya main sama dia, daripada sama Abang," sahutnya lagi. Kali ini sambil mengerlingkan mata. Menggodanya dengan sangat menyebalkan.

"Lo aja pas punya pacar suka nyuekin gue, balasnya tak mau kalah.

"Ah yang bener," ujarnya dengan nada dan tatapan yang mengejek. "Ngomong-ngomong, Ma. Abang punya satu rahasia Nadin–AW!"

Nadin menendang tulang kering Abangnya kencang. Ia menatapnya dengan tatapan tajam. "Makan itu diem, gak usah banyak ngomong," protesnya.

"Kaki kamu juga diem, gak usah main nendang-nendang. Sakit tahu gak?!"

Perdebatan antara Nadin dan Bang Bian gak pernah selesai. Nadin yang terus berceloteh, sengaja mencegah Abangnya agar tidak menceritakan rahasianya pada Sang Mama. Semakin Nadin mencegah Bang Bian, semakin Mamanya mencurigai Nadin. Lihat saja, Mamanya sekarang terus menatapnya tanpa kedip. Nadin yang sedang makan jadi gelagapan sendiri.

"Kenapa sih, Ma?" tanyanya setelah meneguk segelas air.

"Kamu sama Andra berantem ya?"

Nadin mengejutkan dahi. "Kenapa nanya gitu?"

"Semalem dia ngechat Mamanya, katanya pulang gitu aja tanpa pamit. Terus Mama tanya, kenapa pulang buru-buru? Terus dia gak bales lagi tuh."

Sumpah? Andra menyemprotkan diri buat ngechat Mamanya? Sedangkan kepada Nadin? Dia sama sekali gak ngelakuin itu.

****! Dia benar-benar bikin Nadin emosi.

"Eh mau kemana?" tanya Abangnya saat Nadin beranjak dari tempatnya duduk.

"Ke kamar," jawabnya dengan ketus.

Nadin pergi menuju kamarnya dengan langkah yang di hentak-hentakkan, persis anak kecil yang sedang merajuk. Sumpah serapah terus keluar di dalam bibirnya. Saat Nadin sampai di dalam kamarnya dan mengambil ponselnya yang sedang di charger. Kebetulan sekali, ada notifikasi masuk dari Andra.

Mantan *******!!

Nadin, sorry ya semalam pulang gak bilang.

Pacaran pura-pura kita udah sampe sini aja ya. Goodbye, Nadin.

Apa-apaan ini?! Kenapa dia meminta maaf tanpa menjelaskan alasan dia pulang buru-buru? Kenapa juga dia memutuskan sandiwara mereka secara sepihak? Seharusnya yang mengakhiri pacaran pura-puranya itu Nadin! Bukan Andra!

Aish! Gigi Nadin bergemelatuk, menahan amarah yang sudah berada di ubun-ubun. Ia menekan tombol panggilan, untuk menelpon si Mantan sialannya itu! Dan.... Operator menjadi satu-satunya orang yang menjawab telepon Nadin.

"ARGH!" Nadin berteriak kesal.

Ia mau nangis rasanya. Kenapa Nadin jadi bertingkah kayak orang yang diputuskan pacarnya sih?

"BRENGSEK! GUE BENCI SAMA LO ANDRA!!" jeritnya saat panggilan teleponnya hanya dijawab oleh operator sialan itu!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!