Setelah acara mengirim doa bersama, Gendis memilih untuk masuk ke dalam kamar. Wajahnya masih nampak sendu dengan tatapan mata hampa. Jiwa yang terlihat kosong hingga orang yang melihat dirinya yang sekarang menjadi semakin iba dengan keadaannya.
“Tok... tok...tok... “
“ Ibu boleh masuk, Nduk?” tanya Bu Harun sambil membuka pintu kamar berwarna coklat plitur itu.
Wanita dengan kerudung instan itu tersenyum dan melangkah masuk, ketika gadis yang semula duduk dan tertunduk di tepi ranjang itu menoleh dan mengangguk. Iya, wanita yang sudah merasa dekat dengan Gendis memilih mendudukkan bobotnya di samping gadis mungil yang tersenyum hambar itu.
“ Ibu tahu bagaimana sedihnya kamu, Nduk.”
“ Ditinggal satu orang yang paling dekat dengan kita saja, seperti kehilangan separo jiwa, apa lagi kehilangan kedua orang tua secara bersamaan...” ujar Bu Harun kemudian beliau menjeda kalimatnya untuk menunggu reaksi Gendis. Bu Harun sangat berhati-hati dan mengerti jika kondisi seperti ini, perasaan Gendis pasti akan lebih sensitif.
Bu Harun menghela kembali nafas dengan begitu dalam seolah mengurai kembali kenangan-kenangan menyedihkan, saat beberapa kali kehilangan orang yang beliau sayangi.
Tangan keriput itu meraih jari-jari dingin gadis di sebelahnya dan menggenggam hangat. Seolah dia ingin meyakinkan jika Gendis mampu melaluinya.
“Ibu pernah kehilangan kedua orang tua Ibu, meskipun tidak bersamaan. Kehilangan suami yang sudah menjadi bagian dari jiwa Ibu, tapi ada yang lebih menyakitkan dari semua itu, Nduk, yaitu kehilangan putra sulung Ibu, masnya Bram.” tutur Bu Harun membuat Gendis menoleh, menatap mata cekung wanita paruh baya di sebelahnya.
Ini pertama kalinya Gendis memberikan reaksi pada orang lain, setelah beberapa hari ini dirinya seperti mayat hidup. Dia seolah mulai tersadar dari keadaan.
“Iya, kehilangan seorang putra yang kita lahirkan rasanya begitu menyedihkan, Nduk.” Mata coklat itu mulai berkaca-kaca seolah menggambarkan kesedihan yang masih teramat sangat hingga saat ini.
Gendis memeluk wanita sepuh yang menjadi calon mertuanya itu. Sejenak, suasana kamar berukur kecil dari pada kamar yang lainnya itu terasa hening, hingga berlahan kemudian terdengar suara kecil itu tergugu mengisi kesunyian. Gendis menangis dalam pelukan Bu Harun.
“Sabar ya, Nduk. Papa sama Mama pasti sedih jika kamu seperti ini. Mama dan Papa ingin dirimu bahagia, hingga sebelum kepergiannya, mereka sudah memikirkan masa depanmu dengan sangat jauh.” ujar Bu Harun sambil mengusap punggung gadis yang kini tergugu dalam pelukannya. Wanita itu terus saja berusaha untuk menguatkan Gendis meskipun pada akhirnya entah akan jadi menantunya atau tidak. Tapi, beliau sudah menyayangi Gendis.
“Gendis tidak pernah membahagiakan Papa dan Mama.” lirih Gendis penuh dengan penyesalan, bahkan, suaranya hampir tidak terdengar. Ada penyesalah terdalam di hati gadis itu.
Bu Harun merenggangkan pelukannya, memberi jarak pada Gendis yang masih sesengguhan. Wanita itu mengusap air mata yang sudah melembabkan seluruh wajah cantik yang beberapa hari ini tidak terawat.
“Papa dan Mama pasti tidak bisa tenang jika kamu seperti ini terus, Nduk.” Gendis mencari kejujuran dari kedua sorot mata sepuh sosok di depannya.
“Gendis tidak bisa bertemu Papa dan Mama lagi. Gendis sendirian, Bu.” Gendis kembali menangis, air matanya mengalir begitu saja. Perasaanya bahkan sulit untuk diungkapkan.
“Sabar ya , Nduk. Belajar ikhlas. Semua tidak ada yang bisa dimiliki manusia, Nduk. Semua milik Allah, manusia dan dunia punya batasan.” Bu Harun berusaha memberi pengertian.
“ Harta, tahta, nyawa dan dunia ini ada batasannya. Jadi kodratnya manusia kita harus belajar ikhlas ya. Kamu harus kuat menjalani hidup ini untuk beribadah, agar Papa dan Mama juga mendapatkan pahalanya.” Bu Harun mengusap lembut pipi Gendis yang terasa dingin.
Gendis terdiam, kemudian menatap lekat wajah keriput di depannya dan kemudian mengangguk.
Dia bisa mengerti semuanya. Jika saja dalam hidupnya dia merasa tidak pernah membahagiakan kedua orang tuanya. Maka biarlah saat ini dia melakukan sesuatu yang akan meringankan beban orang tuanya di akhirat.
“Sebaiknya kamu tidur sekarang, biar Ibu yang nanti menemanimu di sini.” pinta Bu Harun seraya menuntun Gendis untuk berbaring. Beliau memang ingin menemani Gendis agar gadis itu tidak merasa sendirian.
Sepasang mata yang sedari tadi memperhatikan keduanya pun berlalu sebelum Gendis atau bahkan ibunya memergoki jika dirinya sudah mendengarkan obrolan mereka.
Langkah lelaki gagah itu tertuju ke teras belakang untuk mencari Rendra. Banyak hal yang ingin dia sampaikan pada Rendra. Khusunya, Bram sudah memutuskan jika besok dirinya akan pulang karena harus mengisi seminar yang sudah dijadwalkan.
Angin malam yang bertiup dengan lembut membuat malam ini terasa lebih nyaman. Entah kenapa dia sedang merasa dilema yang tak berkesudahan untuk memutuskan kelanjutan hubungannya dengan keluarga Hastanto.
Bram menghampiri Rendra yang tengah duduk di sebuah bangku panjang dengan secangkir kopi yang masih mengepul setelah ditinggalkan Halisa. Lelaki yang kini menjadi tumpuan dalam memutuskan masa depan kepokannya itu pun harus berfikir matang untuk kebaikan Gendis juga.
“Ehem..ehem...” deheman Bram membuat Rendra menoleh pada sosok yang sudah berdiri tegap di sebelahnya.
“Eh , Bram, silahkan duduk!” ucap Rendra dengan membenarkan posisi duduknya, bahkan tangannya sempat mempersilahkan lelaki tampan itu untuk duduk di sebelahnya.
“Besok saya harus pulang, Om. Jika hanya kelas kuliah saja, saya bisa memberi tugas. Tapi besok saya harus menjadi pembicara pada sebuah seminar yang diadakan di salah satu fakustas kampus.” jelas Bram tanpa basa basi. Lelaki pendiam yang terkesan cuek itu memang susah untuk berbasa basi.
“Tapi, Ibu masih tetap di sini. Dan setelah acara selesai saya juga akan kembali ke sini untuk membahas rencana Pak Hastanto sebelumnya.” lanjut Bram ketika melihat Rendra yang tengah menatapnya penuh dengan selidik.
“Apa kamu punya pacar, Bram?” Rendra pun terlihat tegang saat menebak jika Bram akan memutuskan rencana jalinan hubungan dengan Gendis karena Hastanto sudah tidak ada lagi.
“ Saya sebenarnya sudah menyukai seorang gadis, Om. Itu sejak dulu saat kami masih SMA.” jelas Bram tanpa menutupi semuanya. Dia tidak ingin menyembunyikan apapun juga dari lelaki yang sekarang menjadi wali dari Gendis.
“Tapi kita akan membahas masalah ini nanti saja. Gendis sepertinya masih terpukul dengan kepergian Om Hanstanto dan Tante Rahayu.” lanjut Bram, dia juga harus berfikir matang, karena dia bisa melihat harapan ibunya begitu besar agar Gendis menjadi menantunya.
Mungkin karena ibunya sudah jatuh cinta pada Gendis dan keluarganya, hingga beliau menentang jika Bram dekat dengan Seruni. Bagi Bram, tidak ada alasan lain untuk tidak menyukai Seruni yang santun, cantik, dan pintar. Paket komplit, orang menyebut Seruni dengan sebutan paket komplit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
¢ᖱ'D⃤ ̐🔵⏤͟͟͞R𝔞shqι🐬𝐀⃝🥀
Kalo emang ngga mau, ngomong Bram. anak orang jangan di sia2in dan jangan disakitin. Anak Yatim Piatu loh itu
2023-09-15
1
🌈Pelangi
q jadi ingat Rania lho mbk heheheh, smg seruni gak jahat
2023-08-04
0