Tiba-tiba, Luna menyampaikan satu permintaan lagi. Dia ingin menunjukkan koleksi buku favoritnya di kamarnya. Aku pun setuju dan mengikutinya ke kamarnya. Kamarnya memang penuh dengan buku-buku menarik dan lukisan-lukisan indah. Kami menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk melihat-lihat koleksinya, berdiskusi tentang cerita di balik setiap buku, dan saling menginspirasi.
Saat waktu sudah larut malam, aku harus pulang. Luna mengantarku ke pintu dan berterima kasih lagi atas kunjunganku. Namun, ketika aku akan membuka pintu untuk keluar, Luna tiba-tiba melangkah ke depan dan menghalangiku.
“Bisakah kamu menginap saja malam ini?" kata Luna, wajahnya terlihat tegang dan cemas. Aku terkejut dengan permintaannya, namun segera mencoba mengerti situasinya.
"Apa terjadi sesuatu, Luna?" tanyaku, khawatir.
Luna menatapku dengan mata penuh kekhawatiran. "Ada sesuatu yang tidak beres di sekitar rumah ini. Aku mendengar suara aneh dan merasa ada kehadiran yang tidak biasa. Aku merasa takut untuk tidur sendirian malam ini."
Aku memperhatikan ketegangan yang terpancar dari wajah Luna. Rasanya sulit untuk menolak permintaannya, terutama karena kami sudah bersahabat baik dan aku ingin membantunya. Melihat kekhawatiran Luna, aku memutuskan untuk setuju dan menginap di rumahnya.
"Baik, aku akan menginap malam ini. Jika kamu merasa nyaman dengan itu, aku juga tidak ingin meninggalkanmu sendirian dalam kondisi seperti ini," kataku, mencoba memberikan rasa tenang padanya.
Luna tersenyum lega dan mengucapkan terima kasih. Kami berdua masuk kembali ke dalam rumah dan aku pun menempati kamar tamu. Meskipun ada perasaan was-was karena situasi yang tidak biasa ini, aku mencoba tetap tenang dan berpikir positif.
Saat kami berdua duduk di ruang tamu, Luna menceritakan tentang kejadian-kejadian aneh yang ia alami di rumah ini. Ia bercerita tentang suara-suara misterius yang sering ia dengar di tengah malam, bayangan yang ia lihat di sudut-sudut rumah, dan sensasi takut yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.
Meskipun aku awalnya cenderung skeptis terhadap cerita-cerita ini, aku mencoba memberikan dukungan dan menghibur Luna sebaik mungkin. Aku tahu bahwa kehadiran seseorang dapat memberikan kekuatan dan rasa aman dalam keadaan seperti ini.
Setelah beberapa lama, kelelahan akhirnya mulai melanda tubuhku dan aku merasa lelah secara fisik dan mental. Aku berpikir bahwa rasa khawatirku mungkin hanya akibat dari keadaan yang tidak biasa ini. Aku memutuskan untuk tidur sejenak dan mencoba mengesampingkan ketegangan yang ada.
Pada dini hari, aku terbangun karena suara berisik dari luar kamar tamu. Aku keluar dan melihat Luna berlari-lari di lorong dengan wajah penuh ketakutan. Aku segera mendekat dan mencoba memberinya penghiburan.
"Luna, apa yang terjadi?" tanyaku, cemas.
Luna hampir tidak bisa bicara karena ketakutannya. Setelah beberapa saat mencoba untuk tenang, ia akhirnya mengatakan, "Itu suara itu lagi, tapi kali ini terdengar lebih keras dan lebih dekat. Aku benar-benar takut, tolong jangan tinggalkan aku sendirian."
Aku merasa ngeri mendengar ceritanya, tapi aku mencoba tetap tenang dan memikirkan langkah selanjutnya. Aku memutuskan untuk mencari tahu sumber suara tersebut dan menenangkan Luna.
Kami berdua berjalan berhati-hati ke arah suara tersebut. Saat kami mendekat, suara itu semakin jelas dan terdengar seperti langkah kaki yang berat. Hatiku berdegup kencang, tapi aku mencoba mengendalikan ketakutanku agar bisa membantu Luna.
Akhirnya, kami menemukan sumber suara itu. Ternyata, itu adalah suara dari pipa air yang bocor dan menimbulkan suara misterius. Ketika kami melihatnya, kami merasa lega dan tertawa karena ketakutan dan kecemasan kami selama ini. Itu hanya masalah teknis sederhana yang dapat diatasi.
Namun, setelah kejadian ini, kami berdua tidak bisa tidur lagi dan memilih untuk mengobrol saja menunggu pagi. Kami berdua duduk di sofa dan Luna duduk di sebelahku.
"Dingin," kata Luna sedikit menggigil. Aku merasa hal yang sama, jadi aku mengambil selimut dari kursi samping dan membungkusnya di sekitar kami berdua.
"Kamu baik-baik saja?" tanyaku, khawatir melihat wajahnya yang pucat. Dia mengangguk pelan, tetapi raut wajahnya masih mencerminkan kecemasan.
"Aku hanya merasa aneh setelah semua ini. Pikiranku masih terus kembali pada suara itu, dan bayangan-bayangan yang kurasakan di malam tadi," ujarnya dengan suara lirih. Aku menggenggam tangannya erat-erat dalam usaha untuk memberikan sedikit ketenangan.
"Aku juga merasa sama. Tapi kita harus mencoba melupakan semuanya sekarang. Suara itu hanya sebuah pipa air yang bocor. Mungkin ada beberapa hal yang tidak dapat kita jelaskan sepenuhnya, tapi kita harus menghadapinya dengan kepala tegak," kataku, berusaha memberikan semangat pada Luna. Dia menatapku dengan tatapan yang penuh penghargaan.
"Kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan untuk menenangkan aku," ucapnya sambil tersenyum tipis. Aku mengangkat bahunya dengan ringan.
"Kita sudah menghabiskan banyak waktu bersama dan aku belajar banyak darimu juga. Kita saling melengkapi," jawabku dengan lembut. Kami berdua terdiam sejenak, menikmati keheningan yang ada di antara kami.
"Tapi aku masih merasa takut," bisik Luna tiba-tiba. Aku menatapnya dengan penuh perhatian.
"Takut akan apa?" tanyaku, mencoba memahami perasaannya.
"Takut kehilanganmu. Takut jika kau benar-benar menjadi milik Anita dan melupakan aku," jawabnya pelan. Hatiku melemas mendengar kata-katanya. Aku pun menggenggam tangannya dengan lebih kuat.
Namun, Luna tiba-tiba menyentuh pipiku dan mendekatkan wajahnya sehingga wajah kami berdua hanya berjarak beberapa sentimeter. Tanpa sadar, bibir kami sudah bertaut dalam sebuah ciuman yang penuh hasrat. Ucapan dan kekhawatiran tentang kehilanganku pun seketika terlupakan. Rasanya, kami terhanyut dalam dunia yang hanya ada untuk kami berdua.
Ciuman itu terasa begitu sempurna. Setiap sentuhan bibir Luna membangkitkan api yang membara di dalam diriku. Aku merasakan getaran yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Hati dan pikiranku berada dalam keadaan yang kacau. Aku tahu bahwa ini bukanlah hal yang seharusnya aku lakukan, namun sulit bagiku untuk menahan diri.
Tiba-tiba, Luna melepaskan bibirnya dariku. Wajahnya terlihat penuh kegelisahan. "Maafkan aku," bisiknya dengan suara yang bergetar. "Aku tidak bisa melakukannya. Aku mencintaimu, tapi rasanya ini adalah hal yang salah."
Namun, aku masih belum mau melepasnya dan kembali mencium bibirnya dengan lebih kuat. Aku memegang tangannya erat-erat, ingin memberinya rasa kepastian bahwa aku juga merasakan hal yang sama. Meskipun hati dan pikiranku penuh dengan kegelisahan dan kebimbangan, saat ini aku hanya ingin menikmati momen ini bersamanya.
Namun, Luna mendesakku agar berhenti. Air mata mulai mengalir di pipinya. "Tolong, berhentilah," desisnya sambil mencoba melepaskan genggaman tanganku. "Ini tidak benar, kita tidak bisa terus seperti ini."
Dalam hati, aku tahu apa yang Luna katakan adalah benar. Ini adalah sebuah pengkhianatan pada hubungan kami masing-masing. Namun, aku tidak ingin melepaskannya. Aku tidak ingin kehilangan perasaan ini, meski aku tahu itu salah.
"Aku tahu ini salah," kataku pelan, sedih. "Tapi aku tidak bisa menahan rasa ini. Aku mencintaimu, Luna. Aku tidak tahu bagaimana cara menghentikan ini."
Luna menatapku dengan penuh kebimbangan. "Aku juga mencintaimu, tapi kita harus berhenti sekarang sebelum semuanya terlambat. Kita perlu memikirkan konsekuensinya, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tapi juga untuk orang-orang di sekitar kita."
Aku tahu pada akhirnya aku harus memilih kebijaksanaan dan mengakhiri ini. Mungkin Luna benar, mungkin ini memang hal yang terbaik untuk dilakukan. Namun, memisahkan diri darinya terasa seperti merobek hatiku sendiri.
"Demi kita dan cinta kita, kita harus berhenti," kataku akhirnya sambil mencoba melepaskan diri dari pelukannya.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Akari
bagus bree, anak baik!!!
2023-08-25
0
Akari
gimana...gimana? enak kan?
2023-08-25
0
Akari
uwoooohhh
2023-08-25
0