Liana In The Wonderland
"Kurang ajar!"
Sebuah pukulan hampir mengenai wajah seorang gadis jika saja ia tidak menahan tangan itu. Para gadis lain di depannya terkejut mendapati pukulan mereka dapat ditahan dengan mudahnya. Si pemukul tentu saja geram, ia menyerang dengan membabi buta membuat gadis yang diserang itu sedikit kesulitan menahan pukulan penuh emosi itu.
"Kamu begini hanya karena iri denganku, Erina? For Real?!" Teriak gadis yang masih saja menghindari pukulan dari gadis didepannya.
Wajah Erina memerah, ia mengepalkan tangannya dengan erat. Rautnya benar-benar buruk kali ini.
"Kalau Iya kenapa hah?! Kamu merebut semua yang aku punya Liana! kepopuleran, kepintaran, kecantikan bahkan orang yang aku cintai kamu rebut! Kenapa kamu tidak mati saja hah?! MANUSIA SERAKAH SEPERTIMU TIDAK PANTAS UNTUK HIDUP?!" Raung Erina marah. Gadis bernama Liana itu membeku, menatap orang yang selalu ia anggap sebagai sahabat kini mengeluarkan makian padanya.
Tiba-tiba dari balik saku jaketnya, Erina mengeluarkan sebuah pisau berukuran sedang, entah bagaimana pisau itu bisa lolos dari razia para guru tadi siang. Mata Liana membulat, ia tidak percaya dengan kelakuan gadis dihadapannya. Liana menggeleng, ia terus bergerak mundur tanpa menyadari sebuah jurang yang dalam berada beberapa langkah di belakangnya.
Erina masih bergerak maju, diiringi senyuman mengerikan yang terpatri di wajahnya yang imut, sangat tidak cocok.
"Kamu memang sahabatku sebelumnya, tapi kamu merebut segalanya dariku Liana. Sebelumnya aku masih memaklumi mu, tapi jika tentang Devon, aku bahkan dengan sukarela membunuhmu tanpa belas kasihan. Hitung-hitung membalas dendam 'kan?" Erina menyeringai kejam, mencoba mengintimidasi. Liana yang sebelumnya menatap sahabatnya dengan penuh kekecewaan, memejamkan matanya sejenak. Sedetik kemudian, gadis menatap Erina dengan tatapan datar khasnya.
"Kamu tahu, sejauh ini kamu adalah orang paling busuk yang pernah aku temui, Erina." Ujar Liana tajam. Rahang Erina mengetat, hatinya berkecamuk.
"PERGI SAJA KAMU KE NERAKA SIALAN?!" Sebuah pisau menancap tepat di perut Liana membuat gadis itu meringis kesakitan. Ia yakin salah satu organ vitalnya sudah rusak sekarang.
Erina menekan pisau itu semakin dalam, membuat Liana perlahan limbung dan mundur ke belakang. Liana merasa tubuhnya ditarik kuat oleh gaya gravitasi, memaksanya untuk jatuh ke jurang. Dalam keheningan, Liana bisa mendengar suara Devon yang berteriak memanggilnya, namun suara itu akhirnya mengecil dan hilang bersamaan dengan dirinya yang semakin masuk lebih dalam ke jurang. Tubuhnya sesekali membentur bebatuan dan pohon liar, membuat banyak luka tertoreh di kulit putihnya.
Tak bisa dihindari, tubuh mungil itu menabrak dasar jurang dengan keras, membuat seluruh tulang di tubuh Liana dipastikan patah. Tubuh Liana kian mati rasa, pandangannya mengabur. Di akhir hidupnya, gadis itu masih berpikir apa salah dirinya semasa hidup hingga menerima akhir seperti ini.
Padahal hidupku jauh lebih menyakitkan dari yang Erina pikir. batin Erina.
Mata Liana perlahan mulai terpejam, bersamaan dengan matahari yang terbenam di ufuk barat serta hujan yang turun secara perlahan, seolah ikut menangisi kepergian gadis itu. Namun, Ini bukanlah sebuah akhir, tapi awal dari dimulainya petualangannya di suatu tempat, tempat seharusnya ia berada selama ini.
...----------------...
Mata itu terbuka, membuat sang pemilik seketika terduduk karena syok. Padahal Liana yakin dia sudah mati di dalam jurang. Terlebih, siapa yang mau menolong orang di dalam jurang dengan kedalaman lebih dari 1 kilometer? Hanya orang gila yang melakukannya.
Gadis itu menoleh ke sekelilingnya, putih. Tidak ada apapun disana, hanya ruang hampa. Liana tentu saja bingung, untuk apa dirinya dibawa kesini.
"Halo, gadis kecil." sebuah suara lembut terdengar menyentak kesadaran Liana. Gadis itu menoleh secepat mungkin ke arah suara. Seorang lelaki (?) berambut sebahu tengah berjongkok di depannya sekarang. Lelaki itu tersenyum teduh, terasa sangat menenangkan bagi Liana yang biasanya hanya melihat senyuman palsu milik orang-orang. Perlahan lelaki itu menuntun Liana untuk berdiri.
"Anda- siapa?" tanya Liana dengan ragu. Gadis itu masih cukup curiga dengan lelaki aneh di depannya ini. Datang tak diantar, pulang tak dijemput.
Lelaki itu menatap Liana dengan lekat, iris hitamnya terlihat indah dan dalam disaat yang bersamaan, Ia akui itu.
"Tidak perlu takut, Nak. Aku tidak akan menyakitimu." Liana lagi-lagi tertegun, suara lelaki itu halus sekali. Tidak, bukan halus seperti suara perempuan, tapi halus yang bagaimana ya? intinya menenangkan tapi masih tetap maskulin.
"Kamu pasti bingung bukan, akan aku jelaskan." ucap lelaki itu. Lelaki itu menyapukan tangannya, seketika seluruh ruang hampa itu berubah menjadi Padang bunga Lily biru yang sangat indah. Liana bahkan sudah terkejut untuk kesekian kalinya. Lelaki itu mengajaknya duduk di sebuah batu datar yang berukuran besar, mereka berdua duduk berdampingan.
"Kamu tau ini dimana?" tanya lelaki itu pada si gadis.
"Mungkin, perbatasan sebelum ke akhirat?" Liana menjawab dengan ragu. Lelaki itu terkekeh pelan membuat suasana hati gadis di sebelahnya menghangat. Entah berapa lama Liana tidak pernah mendengar tawa selembut dan setulus itu.
"Kamu benar. Sebelumnya namaku Shiki, aku yang membawamu ke tempat ini, nak." Liana kini menatap wajah rupawan milik lelaki yang baru ia ketahui namanya ini. Garis wajahnya tegas, tapi menenangkan. Liana baru pertama kali melihat orang yang kelewat karismatik seperti disebelahnya ini.
"Belum waktunya jiwamu pergi, Nak. Kamu masih harus hidup, walaupun bukan di dimensi sebelumnya." Ujar Shiki dengan tenang. Dahi Liana berkerut.
"Dimensi?" tanya gadis itu. Lelaki berpakaian serba putih itu mengangguk.
"Aku akan mengirim mu ke sebuah tempat, atau dimensi yang kau ketahui." Liana semakin bingung.
"Aku tau kamu bingung. Intinya, kamu akan dikirim ke suatu dunia yang dikenal sebagai sebuah Novel di dimensimu itu." Entah berapa kali Liana terkejut sejak tadi. Dia akan dikirim ke dunia novel, dirinya?
"Tunggu, kenapa aku?" tanya Liana dengan bingung. Perasaan ia tidak pernah berdoa atau berharap supaya bisa bertransmigrasi ke dalam sebuah cerita fiksi karangan manusia yang sering ia baca Itu. Kenapa malah dia yang dipilih?
"Liana, kadang yang kamu kira hanya sebatas karangan manusia di dimensimu adalah kehidupan nyata di dimensi lainnya. Lalu, aku mengirimmu ke sana juga bukan tanpa alasan dan tujuan. Aku ingin kamu melakukan sesuatu disana."
Hening. Liana masih mencerna seluruh informasi yang secara tiba-tiba menyerbu otak kecilnya. Dia memang menduga bahwa dirinya tidak secara cuma-cuma dikirim ke dimensi atau apalah itu ia tidak peduli. Tapi, kenapa dia yang dipilih.
"Karena ini memang takdirmu, Liana." Kali ini Liana tidak lagi menunduk, melainkan menatap iris hitam milik Shiki. Iris itu seolah meyakinkannya bahwa ia bisa melewati semuanya. Gadis itu menghela napas lalu mengangguk.
"Apa yang perlu aku lakukan?" tanya Liana dengan nada yang meyakinkan. Apapun resikonya, jika memang takdir telah menggariskan dan asalkan itu baik, Liana akan menerimanya.
Shiki tersenyum, gadis di sebelahnya ini telah keluar dari keraguannya. Tangannya mengusak pucuk kepala Liana dengan lembut, membuat empunya tertegun.
"Hiduplah dengan baik, temukan kebahagiaanmu lalu lindungilah orang-orang yang berharga bagimu nak. Jangan memikirkan alur yang kau tau, buat alurmu sendiri dan ciptakan kebahagiaan bagi dirimu dan mereka yang kau cintai." Untuk kesekian kalinya Liana tertegun mendengar kata-kata Shiki. Air mata perlahan mengalir membasahi pipinya.
"Bolehkah aku- memelukmu?" tanya Liana diiringi dengan isakan kecilnya yang kian terdengar. 17 tahun ia hidup, baru pertama kalinya gadis itu menunjukan dengan gamblang bagaimana perasaan sebenarnya yang ia rasakan. Shiki terkekeh lagi, lelaki itu memeluk Liana yang terisak di dadanya.
"Apapun yang terjadi, tetaplah kuat Liana. Jangan pernah membiarkan dirimu hancur. Bangkitlah selama kamu masih punya alasan untuk bangkit." ucap Shiki ditengah sesi pelukan mereka. Setelah cukup tenang, Liana melepas pelukannya, gadis itu menggaruk lehernya.
"Umm, maaf." Pipi Liana merona tipis, gadis itu malu. Shiki hanya menggeleng pasrah menghadapi tingkah gadis didepannya. Lelaki itu lantas menuntun Liana untuk berdiri.
"Liana, seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, jangan pedulikan alur yang kamu tahu, buat alurmu sendiri dan ciptakan kebahagiaanmu sendiri, mengerti?" Liana mengangguk. Matanya memancarkan keteguhan. Ia menatap lelaki yang memeluknya dengan hangat seperti sang ayah itu dengan serius.
Shiki tersenyum. Ia lantas menepuk kepala Liana tiga kali. Tidak lama setelahnya, cahaya terang keluar dari tubuh gadis itu, bersamaan dengan tubuhnya yang bersamaan memudar.
"Selamat berpetualang, Liliana."
Semoga jalan hidupmu kali ini menjadi lebih baik. Batin lelaki itu sebelum ia menghilang, menyisakan padang Lily biru yang luas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Quản trị viên
Thor, tak tunggu sampe pagi kalo harus! 🌝
2023-07-23
0
Uryū Ishida
Terima kasih thor buat karya indah ini! Bikin hati senang!
2023-07-23
1
kozumei
Wah, mantap!
2023-07-23
1