Seorang pria dengan dengan stelan jas hitam yang membalut tubuhnya dengan rapi tiba di rumah Naya. Pria tersebut mengenalkan dirinya sebagai pengacara yang mewakili keluarga Juan.
Setelah dipersilahkan duduk oleh Mama Naya, barulah pria itu menjelaskan tujuannya datang. "Jadi begini Bu, perkenalkan saya Doni mewakili klien saya untuk menyampaikan permohonan maaf mereka dan juga menyerahkan uang kompensasi atau uang duka atas kerugian yang keluarga ibu terima karena kecelakaan itu," tuturnya, mengeluarkan amplop kertas berwarna coklat yang kemudian ia letakkan di atas meja.
"Kenapa permintaan maaf mereka diwakili? Jika mereka memang merasa bersalah kenapa tidak datang dan minta maaf secara langsung saja?" sosor Naya.
"Klien saya sedang ada urusan bisnis, dan putranya yang terlibat kecelakaan juga sedang dirawat karena cederanya. Makanya saya di kirim untuk mewakili," balas pengacara itu. Naya tak habis pikir mendengarnya, urusan bisnis katanya? Apa bisnis mereka lebih penting dari pada nyawa seseorang?
"Lalu bagaimana dengan hukuman anaknya?" tanya Naya, ia ingin orang yang telah menabrak kakaknya di beri hukuman yang setimpal.
Pengacara itu tak segera menjawab pertanyaan Naya, dia meletakkan amplop lain di atas meja, "Selain untuk memberi uang duka, tujuan saya datang kesini mau minta persetujuan ibu untuk menempuh jalur berdamai. Agar hukuman yang di terima klien saya bisa diringankan, Bu," jelasnya, pada Citra.
Naya menggebrakkan meja, tidak terima dengan pernyataan pengacara itu. "Diringakan? Dia udah nabrak orang sampai meninggal, kenapa harus diringakan hukumannya?"
Citra menggenggam tangan putrinya, mengisyaratkan agar Naya tidak tersulut emosi. "Bukannya anak itu tetap menerima hukuman meskipun sudah ada perjanjian damai?" Kini Citra yang bersuara, ia tahu sedikit tentang hukum karena Ayah Naya dulu juga seorang pengacara.
"Ibu benar, tapi setidaknya dengan adanya perjanjian ini hukumannya bisa di ringakan, Bu. Sisanya akan di urus keluarganya."
Naya menatap Mamanya, "Jangan bilang mama setuju dengan perjanjian damai itu?"
Naya hafal sekali sifat mamanya yang selalu tidak tegaan dengan orang lain, ia berharap Mamanya bisa mengesampingkan sifatnya itu untuk saat ini. Namun, melihat dari raut wajah yang ditunjukkan Citra, Naya bisa membaca apa yang akan menjadi keputusan mamanya nanti.
Merasa kecewa dan tidak sepakat dengan keputusan Citra, Naya pergi keluar rumah untuk mendinginkan kepalanya. Kini hanya tersisa Citra dan Pengacara bernama Doni itu di ruang tamunya.
"Saya minta kebijakannya, Bu. Saya tau bagaimana perasaan duka ibu saat ini, tapi Ibu juga punya anak bukan? Pasti ibu bisa merasakan bagaimana khawatirnya orang tua anak itu ketika mendengar hukuman yang akan diterima anak mereka nanti," ujar Doni, berusaha meyakinkan Citra.
Perkataan Doni tidak sepenuhnya salah, Jika Nabil atau Naya yang ada posisi anak itu, Citra sebagai orang tua juga akan melakukan segala hal agar meringankan hukuman anak-anaknya.
"Anak itu hanya dua tahun lebih tua dari putri ibu. Jika ibu tidak setuju dengan perjanjian damai ini, anak itu bisa di penjarakan 6 sampai 12 tahun. Saya tau itu bukan menjadi urusan ibu, tapi jika di penjara selama itu bagaimana dengan sekolahnya?"
"Dan juga saya tau anak itu salah, tapi kecelakaan itu bukan hal yang dia sengaja," tambah Doni.
Citra juga merasa kecewa dan sangat marah pada keluarga Juan karena kecelakaan itu telah merenggut nyawa putranya, namun memilih menjadi pendendam hanya akan mempersulit keadaan. Ia hanya ingin kasus ini cepat selesai sehingga putranya bisa tenang disana. Dengan perdamaian ini, Citra berharap anak itu bisa menjadikan kasus ini sebagai pelajaran agar lebih berhati-hati kedepannya.
Soal Naya yang tidak sepakat, akan ia coba yakinkan nanti. Meskipun rasanya mustahil mengingat Naya sangat terpukul karena kehilangan kakaknya.
"Baik, saya setuju dengan untuk damai. Tapi maaf, saya tidak bisa menerima uang duka itu. Nyawa seseorang tidak sebanding dengan harga," putusnya.
"Bukan begitu, Bu. Uang duka ini memang salah satu kewajiban mereka untuk memberi kompensasi atas kerugian yang ibu terima, kami juga tidak berniat menghargai nyawa orang dengan uang ini," ucap Doni, tak ingin Citra salah paham.
Setelah itu, Citra mentandatangani surat perjanjian perdamaian, ia berharap keputusannya ini adalah hal yang tepat untuk kedua belah pihak.
...****************...
Naya mendatangi rumah sakit, tempat kakaknya dirawat sebelumnya. Tujuan gadis itu adalah untuk bertemu orang yang sudah menabrak kakaknya, ia yakin orang itu pasti masih di rawat di sini.
"Permisi mba," Naya memanggil seorang wanita yang sedang bertugas di meja resepsionis.
"Iya? Ada yang bisa saya bantu?" tanya petugas itu.
"Pasien kecelakaan yang datang bersamaan dengan kakakku, dua hari lalu di rawat di ruangan mana ya?"
"Nama pasiennya siapa? Nama kakaknya siapa?"
"Aku gak tau nama dia, tapi nama kakakku Nabil," kata Naya.
Petugas wanita itu mengetikkan nama kakak Naya di komputer miliknya, mencari data pasien yang masuk bersamaan dengan pasien bernama Nabil yang Naya sebutkan. "Pasien tersebut dirawat di ruang VIP 1, tapi di udah--," Petugas tersebut belum sempat menyelesaikan kalimatnya, namun sudah di tinggal pergi oleh Naya. "Pasiennya udah pulang," lanjutnya dengan suara pelan.
Dengan langkah lebar, Naya mencari ruangan yang disebutkan petugas tadi. VIP 1. Setelah melewati satu lorong barulah ruangan tersebut ia temukan.
Ia menghembuskan napas pelan, diputarnya pelan knop pintu ruangan itu hingga bunyi decitannya terdengar. Pintunya terbuka tidak terlalu lebar, tetapi bisa terlihat jelas di mata Naya bahwa sedang tidak ada siapapun di dalam sana.
Gadis itu mengecek lagi tulisan yang tertempel di depan pintu ruangan ini, memastikan bahwa ia tidak salah ruangan.
Tidak menemukan orang yang dicarinya, Naya kembali ke meja resepsionis untuk bertemu petugas tadi.
"Mba, gak ada orang di sana. Mba gak salah liat nama ruangannya?" tanya Naya lagi.
"Udah bener itu ruangannya mba, tapi pasiennya sudah dinyatakan pulang tadi pagi. Saya belum selesai ngomong mbanya udah pergi tadi," tutur petugas itu, memberi penjelasan.
Naya berpikir sejenak, memikirkan dimana lagi dia bisa bertemu orang itu. Setelah itu ia kembali membuka suara, "Saya boleh minta alamatnya? Atau nomor ponselnya?"
Petugas itu menggeleng pelan, "Maaf mba saya tidak bisa kasih tau, soalnya itu menyangkut privasi pasien."
"Nomornya aja gak boleh mba? Saya gak macam-macam kok, cuma ada urusan yang belum selesai aja sama dia," bohong Naya, jelas-jelas ia ingin bertemu orang itu untuk memintanya bertanggung jawab. "Dan nama pasien dan walinya siapa, mba?" lanjutnya.
"Mohon maaf sekali lagi mba, kami tidak dibenarkan membeberkan informasi yang menyangkut privasi pasien. Selain prosedur, itu juga permintaan keluarga pasien sendiri untuk tidak memberi informasi apapun tentang pasien kepada orang lain," petugas itu tetap tidak memberi tahu informasi apapun pada Naya.
Naya mengepalkan tangannya kuat, rasa kecewanya semakin besar kepada orang itu. Kenapa bisa seseorang dengan tidak tahu dirinya lari dari masalah yang ia perbuat? Apa orang itu tidak punya rasa bersalah kepada kakak Naya?
Ia hanya ingin orang itu bertanggung jawab dan mendapat hukuman yang seharusnya dia terima. Meskipun tak di beri tahu alamat, nomor, bahkan nama orang itu, Naya bertekad akan mencarinya dengan cara apapun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
𝐃ⁱʸᵃʰ 𝖆⃟𝖑⃟ Aᶻˡᵃᵐ🏹
Semangat Naya💪
2023-09-06
0
𝐃ⁱʸᵃʰ 𝖆⃟𝖑⃟ Aᶻˡᵃᵐ🏹
Aku jdi ikut emosi kan🤧
2023-09-06
0
𝐃ⁱʸᵃʰ 𝖆⃟𝖑⃟ Aᶻˡᵃᵐ🏹
Begitulah. Menganggap nyawa seseorang hnya lelucon😬
2023-09-06
0