Istri Sang CEO Yang Tak Diberi Nafkah
Daisy mendongak sejenak dari buku yang dibacanya saat terlihat notifikasi aplikai hijau di layar ponselnya. Matanya membulat berbinar saat membaca nama yang terlihat di layar. Ina.
Ardina. Sahabat yang hampir 3 Bulan menghilang bak ditelan bumi itu kini menghubunginya lagi.
Hi.. Semoga kamu bisa hadir ya, sayang~ ucap Ardina di layar yang membuatnya menatap heran. Pasalnya sahabatnya itu kini tengah menjalani kuliah di jepang.
Terlampir juga sebuah vidio. Dengan senang hati Daisy membukanya. Tapi betapa terkejutnya ia saat melihat ternyata itu adalah sebuah undangan online.
Awalnya ia menyunggingkan senyum bahagia. Tapi seketika dunianya serasa runtuh saat melihat nama yang tertulis berdampingan dengan nama Ardina. Mohammad Ebra.
Berkali-kali ia memastikan nama alamat dan nama bin yang tertulis disamping Ebra. Semuanya sama. Ya. Ebra-Nya.
Ebra yang 2bulan ini begitu mengusik fikiran dan hatinya. Ebra yang selama ini tak pernah lupa memberinya kabar. Setidaknya sebelum ia menghilang.
"Ebra..?" Gumam Daisy pelan. Seketika bahunya lemas. Matanya memanas. Hati yang baru beberapa menit lalu terasa bahagia kini sakit seperti ditusuk sebilah pisau tajam.
Perlahan sebutir bening cairan kristal jatuh. Tak berapa lama disusul dengan butir-butir kristal yang lain. Tangisnya pecah tak terbendung sudah.
Masih dengan ponsel digenggaman tangan yang sudah lunglai kebawah. Ia mendongak. Merasakan sakit yang teramat sangat.
"Engga mungkin." Gumamnya masih ingin berpikir positif mungkin saja ada Ebra yang lain bukan Ebra-Nya.
Segera ia mengangkat lagi ponselnya dan segera mencari nama Ardina disana.
"Halo.." Sapa suara di sebrang. Suara yang masih amat sangat Daisy kenali.
"Hm… Ardina apa kabar?"
"Baik… kamu gimana?"
"Sebelumnya baik. Tapi sekarang kaya nya lagi ga baik-baik aja. Hahaha." Jawab Daisy dengan tawa nyaring yang terdengar hambar.
"Aku tau kamu mau ngomong apa. Maaf ya sy. Udah lama aku sayang sama Ebra. Kamu baik-baik ya disana. Biar aku jagain Ebra disini. Biar kamu ga khawatir lagi sama keadaannya rutinitasnya dan kesetiaannya. Sekali lagi maaf. Akan kupastikan Ebra sehat dan bahagia sama aku disini. Semoga kamu bisa ketemu orang yang lebih baik dari aku dan Ebra ya…" Jelas Ardina panjang lebar yang seketika membuat tangis Daisy semakin pecah.
Meski ada banyak pertanyaan dan pernyataan dikepala, tapi Daisy tak mampu mengungkapkannya. Sesak. Ia bahkan sulit untuk menghirup udara dengan benar.
Tanpa basa-basi Daisy menutup telfonnya dengan melemparkan ponselnya ke dinding sekuat tenaga sampai hancur.
"Aargh.!" Jeritnya tertahan. Ia pukul-pukul dadanya yang mendadak terasa sesak seolah tak bisa menghirup oksigen dengan benar.
Ia lampiaskan sakit yang mendadak ia rasakan lewat jerit tangis tertahan. Andai ia sedang berada sendirian dirumah pasti ia sudah berteriak sepuasnya.
Sampai akhirnya ia tertidur saat kelelahan karena sudah hampir setengah hari menangis tanpa henti.
****
"Masak apa, Nak?" Panggil Ayah saat Beliau berjalan masuk ke dapur. Semantara Daisy sedang sibuk mengupas terong yang baru saja ia bakar. Sambel terong bakar super pedas emang menu favoritnya saat sedang tidak baik-baik saja.
"Eh. Ayah.. Daisy mau masak terong bakar yah. Ayah mau lauk ikan apa telor aja?" Tanya Daisy msh tetap dengan pandangan tertunduk menatap terong yang masih ia kupas bagian kulitnya yang gosong.
Ayahnya diam. Ia perhatikan sejenak anak kesayangannya yang entah kenapa suaranya terdengar parau. Ia bahkan bisa melihat mata nya yang bengkak seperti habis menangis.
"Sama kaya adek Isi aja mau yang mana," Jawab Ayah sembari menyiapkan piring dan juga sendok yang akan dipakainya makan bersama Daisy.
"Ka Hera telfon adek kah? Gimana kabar kakak?" Tanya Ayah lagi saat melihat putrinya diam dan terus tertunduk. Jelas terlihat ia sedang berusaha menyembunyikan mata nya meski tentu saja usahanya sia-sia.
"Terakhir telfon kemarin, yah. Katanya baik-baik aja.."
"Dek…" Ayah memegang tangan Daisy saat ia akan beranjak setelah menaruh cobek yang berisi sambel dan terong bakarnya.
"Ya. Yah?"
"Lihat Ayah. Kamu kenapa? Duduk sini cerita." Dani menarik tangan anaknya agar ia mau duduk disebelahnya. Sekarang makin terlihat jelas mata Daisy yang memerah dan bengkak lumayan parah.
Diam. Daisy masih diam tertunduk. Matanya sayu menatap kedua tangannya yang sibuk saling menautkan satu sama lain. Ia berusaha mengalihkan pandangannya sebisa mungkin dari Ayahnya.
"Gak mau cerita sama Ayah?"
"Yaudah kalau gitu adek disini aja biar Ayah yang nyiapin makanannya." Baru saja Dani hendak beranjak Daisy menarik tangannya untuk kembali duduk.
"Maafin adek yah. Adek sama Ebra gabisa nepatin janji buat tunangan 3 Bulan lagi." Suaranya hampir tercekat ditenggorokan saat Daisy mengatakan itu. Sulit. Sulit sekali, tapi Dani harus tahu.
Padahal Dani sudah amat sangat akrab dengan Ebra. Karena dulu hampir setiap hari Ebra main kerumah Daisy bersama Ardina tentunya. Mereka memang bersahabat sejak kecil.
Ayahnya itu bahkan heboh sekali kemarin saat memilih kain untuk pertunangannya. Dan kakaknya juga berjanji akan tetap menyempatkan pulang meski sedang hamil besar.
Airmata Daisy kembali jatuh tak tertahan saat mengingat semua persiapannya dan keluarga yang sudah berusaha menyiapkan acaranya.
"Engga.. Daisy gamau nangisin Ebra, yah. Ebra jahat. Ebra udah jahat sama kita." Ia mengusap air matanya dengan kasar. Tapi justru mengalir semakin banyak.
"Sudah. Keluarkan jangan ditahan," Ucap Ayahnya berusaha menenangkan putri kesayangannya yang sudah 25tahun ia besarkan sendirian.
Ia memeluk Daisy pelan sembari menepuk punggung Daisy lembut. Tapi itu justru membuat tangis Daisy semakin kencang hingga sesenggukan. Dani mengusap pipinya cepat saat sebutir airmata tiba-tiba ikut jatuh. Ia kemudian mendongak agar airmatanya tidak ikut berjatuhan.
Ia menatap muka Daisy nanar. Daisy masih sibuk mengusap airmatanya, padahal sudah hampir satu jam ia menangis. Dan Dani pun masih setia menemaninya.
Perlahan muka nya yang tadi sayu dipenuhi amarah. Padahal beberapa hari lalu Daisy masih begitu semangat saat membahas hari pertunangannya meski memang airmuka nya terlihat berbeda tapi tak ia sangka masalahnya sebesar ini.
Beberapa hari lalu pun Ayahnya berusaha menghubungi Ebra, karena melihat putrinya yang berubah pendiam dan seperti menyembunyikan sesuatu darinya. Pun saat ia tanyakan tentang Ebra ia selalu berusaha menghindar.
Tapi nihil. Terakhir ia hubungi kemarin malam justru tidak aktif. Entah apa yang terjadi pada mereka berdua. Tapi memang sepertinya Daisy lah korbannya.
"Daisy? Makan dulu, ya. Nanti dingin gaenak." Ucap Dani mengusap pelan lengan putrinya.
"Maaf Yah. Gara-gara aku ya makanannya jadi hampir dingin."
"Engga dong sayang. Masakan kamu tetep enak,"
"Meski aku masak rumput juga kata Ayah pasti tetep enak."
Dan merekapun tertawa bersama. Sungguh ditengah banyaknya drama keluarga. Daisy merasa sangat beruntung memiliki Ayah yang begitu menyayanginya. Rasanya apapun masalahnya akan terasa ringan asal Ayahnya ada disampingnya.
"Ayah gamau tanya aku dan Ebra kenapa?" Pancing Daisy hati-hati.
"Sudah. Kamu masih punya Ayah. Ayah dukung apapun keputusan kamu." Jawab Dani membelai pelan puncak kepala Daisy. Daisy pun segera berhambur ke pelukan Dani. Lega rasanya. Perasaannya jadi jauh lebih tenang.
~Happy Reading. ~
Mohon untuk tidak Boom Like dan Spam Like ya.! Demi kebaikan karya dan Author. ❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Uthie
coba keep 👍
2023-08-12
1