Dari kota S ke kota J akan memakan waktu kurang lebih delapan jam, namun hingga hampir setengah perjalanan terlewati tak semenit pun Celia bisa tertidur. Padahal bus yang ia tumpangi adalah bus kelas eksekutif yang sengaja dipesan oleh ayahnya agar ia merasa nyaman diperjalanan, dengan tempat duduk yang lumayan lebar hingga ukuran 5L (langsing, langsing, langsing, langsing dan langsing), tersa sangat empuk dan nyaman, serta dilengkapi dengan sandaran kaki juga selimut, takut kalau-kalau penumpangnya kedinginan dan lagi nggak bawa pasangan, kan jadi nggak bisa berpelukan kaya Teletubbies. Sayang sekali, simanis jembatan gantung yang sedang gundah gulana ini sama sekali tak menikmati perjalanannya. Ayahnya juga lebih banyak diam, hanya sesekali mengajak Celia bicara.
Pak Sujadi tampak memejamkan matanya, hanya sekedar memejamkan mata, karena ia pun juga tak benar-benar bisa tidur. Pria paruh baya itu juga sebenarnya merasa sedih akan berpisah jauh dari anak gadisnya, merantau di kota besar, jauh dari pandangannya, jauh dari penjagaan dan pengawasannya. Akan tetapi ia yakin dan percaya Celia mampu menjaga diri dan kehormatannya, ditambah disana Celia akan tinggal dengan budhenya, yaitu budhe Rani yang adalah kakak kandung dari pak Sujadi sendiri.
Pak Sujadi sangat menyayangi Celia, bahkan sedari istrinya mengandung ia sudah sangat berharap jika bayi yang dikandung oleh istrinya adalah anak perempuan, dan ketika Celia lahir, ia merasa begitu bahagia dan sangat bersyukur karena keingannya untuk memiliki anak perempuan terkabul. Dalam benaknya kembali terlintas pada Celia kecilnya yang ceria. Saat kecil dulu Celia sangat dekat dengan ayahnya, bahkan ia tidak akan bisa tidur jika tidak di ketiak sang ayah sambil di usap-usap kepalanya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Celia yang semakin beranjak besar mulai memilik dunianya sendiri hingga tercipta sedikit jarak antara ia dan ayahnya. Meskipun begitu, pak Sujadi tetap memantau tumbuh kembang putrinya, memastikan jika putri kesayangannya tidak keluar jalur, tetap berada di circle pergaulan yang aman. Celia juga ia didik menjadi anak yang mandiri agar kelak ia bisa menjadi wanita yang kuat, tidak manja dan ketergantungan pada orang lain. Tak terasa waktu yang telah berlalu terasa begitu cepat, satu persatu tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah telah ia tunaikan, hari ini ia pergi mengantar putrinya menuju gerbang kesuksesan, dan mungkin sebentar lagi ia akan mengantarkan putrinya menuju mahligai pernikahan, yang mana itu akan menjadi tugas dan tanggung jawab terakhirnya sebagai orangtua. Tanpa ada yang menyadarinya, sesekali pria paruh baya itu manarik nafasnya dalam untuk mengurai sesak di dada dan diam-diam mengusap ekor matanya yang berair.
Anakku, maafkan ayah harus mengirimmu pergi jauh dari kami, jadilah wanita yang kuat, wanita yang mandiri, agar kelak tidak akan ada satu orangpun yang dapat meremehkanmu meskipun kamu seorang wanita, dan juga kelak jika kamu sudah menikah, kamu tidak akan dipandang sebelah mata mertuamu, keluarga dan saudara-saudaranya.
Celia masih setia memandang keluar jendela, melihat pemandangan yang silih beganti, sesekali ia akan memejamkan mata untuk menghilangkan rasa perih, pikirannya seperti kosong, mungkin tadi tertinggal di terminal lupa nggak dimasukin bagasi. Tadi saja saat bus yang ia naiki keluar dari batas kota, nona manis ini rasanya ingin lari ke depan, membuka pintunya dan melompat keluar. Untung saja niat tak terpujinya itu tidak terealisasi karena takut, takut jatuh nyungsep nyium aspal, guling-guling, berdarah-darah dan patah-patah, atau mungkin bisa lebih fatal lagi, ditemuin sama malaikat, iya kalau diajak terbang ke langit ketujuh buat ketemu sama bidadara setampan lee min ho, lha kalau malah dijatuhin ke kerak neraka bareng sama kang togel gimana?! Amit-amit jabang kebo.
Bapak kok bisa tidur nyenyak gitu ya, gak sedih apa mau pisah jauh sama Celia, Celia ini anak bapak lho, anak gadis bapak satu-satunya, yang paling demplon sekampung, sedih aku tu.
Gini nih kalo anak kurang micin, bawaannya suka suudzon kalo lagi rumit.
Kurang lebih pukul 18.30 WIB, mereka berhenti di tempat peristirahatan para bus di kota G.
"Bapak/Ibu, saat ini kita sampai di kota G, bus akan berhenti kurang lebih setengah jam, dipersilakan bagi penumpang untuk turun ishoma, makan malam sudah disiapkan di restaurant, dimohon untuk membawa kupon makan yang ada pada tiket masing-masing, toilet dan mushola ada disebelah barat restaurant". Memang tak semerdu suara announcement pramugara, tapi suara serak-serak becek pak kondektur bisa bikin mata para penumpang jadi seger, lumayankan bisa isi perut lanjut ngopi-ngopi mase atau ngeteh-ngeteh mbake, bisa juga jingkrak-jingkrak dulu biar otot nggak kaku.
"ayo nduk midun (ayo turun nduk)".
"nggih pak, niki tasih madosi sendal wau kulo lepas wau dereng ketemu (iya pak, ini masih nyari sendal tadi aku lepas, belum ketemu)". Yaelah pake segala drama sendal ilang dikolong kursi lagi.
Sedih boleh, tapi perut jangan sampai kosong, nangis itu butuh banyak energi, kalau nggak makan nanti nggak kuat nangis, melehoy menghadapi kenyataan yang seringnya tak seindah kukunya para putri.
Delapan jam perjalanan terasa sangat cepat bagi jiwa yang sebenarnya menolak namun terpaksa mengiyakan demi bakti dan rasa sayang. Terpampang jelas tulisan serta icon selamat datang di kota J, kota metropolitan yang katanya lebih menjanjikan masa depan, buktinya makin banyak saja perantau yang datang untuk mengadu nasib.
Begitu mereka turun dari bus, rupanya sudah ada mas Andri, menantu dari budhe rani yang menjemput Celia dan ayahnya.
" Pak lik gimana kabarnya? Lancar ya Pak lik tadi perjalanannya?"
" Alhamdulillah semua sehat mas Andri, perjalanan juga lancar tadi."
" Lho Cel, mata kamu kenapa itu?"
" Ini mata Celia nggak kenapa-kenapa kok mas, kayanya sih digigit semut tadi pas Celia tidur di bus, kan jadi bengkak gini mata Celia."
" Oalah Cel ... Cel ... udah nggak usah nangis, disini kan juga keluargamu semua to."
" hehe ... ketauan banget ya mas kalo Celia abis mewek, malu mas, mata Celia bengkak mana merah gini, ntar dikira budhe mas Andri pulang bawa the head slinging slasher."
" kamu ini ada-ada saja to Cel. Ya sudah ayo ke mobil, mari pak lik saya bantu bawa barang-barangnya ke mobil".
Mobil mereka melaju membelah jalanan kota metropolitan yang tidak pernah tidur 24 jam, selalu ramai dengan berbagai aktivitas penduduknya.
Masih rame aja, udah dini hari gini ya, kalau dikampung jam-jam segini mah yang rame lalu lalang bukan orang, tapi mbak kun dan kawan-kawannya yang mau berangkat dangdutan. Celia malah senyam-senyum sendiri membayangkannya.
- Pak lik : paman (adik dari ayah /ibu)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Zila Aziz
merantau utk mencari rzki itu lumrah dlm kehidupan skg
2024-01-20
1
Lina Aulia Hikmah
kok aku ketawa ya, baca yang ini😂
2023-09-02
1
Nilaaa🍒
Antara sedih sama ngakak
maaf Celia✌️
2023-08-16
1