*Dug, dug, dug!"
Ku lihat wajah ibuku tampak bahagia saat menumbuk padi, seperti biasanya ia memang selalu menyambut kedatangan pagi dengan menumbuk padi.
Suara lesung ibu begitu khas sehingga bahkan selalu menjadi alarm yang membangunkan kami anak-anaknya, termasuk ayah juga.
Namun ada yang berbeda kali ini, bila kemarin ibu masih terlihat kurus dengan mata sayu, kini ia terlihat gagah dengan wajah berseri-seri saat menumbuk padi.
Ia bahkan melambaikan tangannya kearah ku seakan memintaku untuk datang membantunya.
Aku pun menerima alu yang diberikan oleh ibu kemudian mulai menumbuk padi-padi itu.
Aku hanya sedikit heran kenapa hari ini ibu menumbuk padi begitu banyak bahkan lebih banyak dari hari-hari biasanya.
"Kenapa hari ini ibu menumbuk padi banyak sekali, bukankah biasanya ibu hanya menumbuk satu bakul nasi saja?" tanyaku penasaran
"Karena sekarang warung nasi ibu kan banyak jadi ya numbuk padinya harus banyak," jawab Ibu dengan logat Jawanya yang kental
"Kenapa ibu tidak mengunakan beras yang sudah jadi saja Bu," jawabku
Ibu tersenyum simpul menatapku, "Semuanya sudah ada le. Nasi untuk manusia, rumput untuk rojo koyo (hewan ternak berkaki empat) , bekatul (pakan ayam dan bebek) untuk ayam. Memangnya kamu mau makan bekatul?" jawab Ibu
"Kok begitu perumpamaannya?" jawabku sedikit menyangkalnya
"Ya memang begitu le, setiap mahluk ciptaan Gusti Allah itu memiliki makanan yang berbeda-beda, jadi jangan di samakan," jawab Ibu lagi
Jawaban kali ini benar-benar absurd hingga membuat ku merasa kesal mendengarnya. Tapi kali ini aku tak mau menyangkalnya lagi karena ibu itu tipe orang yang sangat keras dan teguh pendirian. Jadi kalau sudah ngomong A ya harus A gak bisa di ganggu gugat.
"Yowes kalau gitu gimana kalau ibu bayar orang saja buat numbuk padi, soalnya ibu sudah terlalu tua untuk mengurus semuanya sendirian. Sekali-kali berbagi rezeki sama orang-orang yang membutuhkan gak apa-apa kan?" jawabku
"Gak bisa gitu le, perkoro nyowo gak iso di pindahke wong liyo. Lagian kenapa harus minta bantuan orang lain kalau ada kamu yang bisa bantuin ibumu!" sahut Ibu
"Fikri, fik, dimana kamu le!"
Kudengar sayup-sayup suara bapak memanggil ku.
"Aku dibelakang Pak!" jawabku dengan suara yang sengaja ku tinggikan agar bapak denger.
Aku memberikan alu kepada Ibu dan menoleh saat ku dengar langkah kaki Bapak mulai mendekat.
"Haduh, ngapain Le kamu di sini, dari tadi ibumu nyariin kamu," ucap Bapak sambil mengatur nafasnya
"ngapain Ibu nyari Fikri Pak Wong dari tadi ibu sama Fikri kok," jawabku kemudian menoleh kearah Ibu
*Deg,
Aneh bin ajaib tiba-tiba aku tercengang saat melihat ibu tiba-tiba menghilang. Aku reflek langsung mencarinya sambil memanggil namanya.
Melihat aku yang kebingungan membuat bapak langsung menegurku.
"Ibu di kamarnya le, ngapain kamu nyari di sini," ucap Bapak kemudian menarik lenganku
Namun aku segera menjelaskan kepadanya jika Ibu tadi ada bersamaku di belakang. Aku mengatakan jika kami baru saja menumbuk padi bersama, bahkan aku baru saja menggantikan ia untuk menumbuk padi.
Saat aku menoleh kebelakang untuk menunjukkan lesung yang masih berisi padi kembali aku di buat terperanjat saat melihat lesung itu masih tertutup kain hitam.
"Aneh, kok bisa begini," ucapku penasaran
Yang lebih aneh lagi aku melihat alu ( sejenis tongkat panjang untuk menumbuk padi ) yang ternyata masih tergantung diatas lesung.
Seketika aku merasa tubuhku begitu lemas hingga nyaris ambruk. Beruntung bapak langsung menangkap ku dan membawaku masuk.
"Makanya pagi-pagi jangan ngelamun di sini le, bukannya sholat malah ngelamun?" ucap Bapak membuatku semakin bingung
"Ngelamun, bukankah dari tadi aku menumbuk padi bersama ibu, lalu siapa yang bapak lihat sedang melamun??"
Belum selesai rasa bingungku kembali aku di buat tak bisa berkata-kata saat melihat ibuku tampak pucat memanggil-manggil namaku.
Sial, dia memang ibuku??
Aku memberanikan diri bertanya kepada bapak dimana ibu tadi.
"Dari tadi ya Ibu di sini sama bapak, wong ini aku baru selesai membersihkan tubuhnya," jawab Bapak kemudian menyingkirkan baskom tempat air yang ia gunakan untuk membasuh tubuh ibu.
Jika dari tadi ibu di sini, lalu saipa yang bersamaku, tadi. Siapa wanita yang begitu mirip dengan ibu dan menumbuk padi bersamaku?
Seketika ibu menarik lenganku dan menunjuk kearah cermin besar yang menempel di dinding kamar ibu.
"Kenapa kacanya?" tanyaku saat melihat raut wajah ketakutan ibu
Ibu tak menjawab, ia hanya menunjuk kearah kaca itu dengan raut wajah ketakutan dan akhirnya menangis tersedu-sedu.
Melihat ibuku menangis akupun memeluknya.
Kembali ku rasakan tubuh ibuku yang tinggal tulang belulang, rasanya aku merasa bersalah karena bertahun-tahun meninggalkan beliau sendirian mengurus warung makan.
Pukul delapan pagi, Bapak mengajak Ibu untuk berobat ke rumah sakit. Akupun ikut mendampingi Ibuku ke rumah sakit.
Aku bahkan menemaninya saat ia melakukan medikal cek up untuk memastikan sakitnya.
Karena seperti yang Bapak katakan Ibu sudah mengalami sakit-sakitan selama hampir dua bulan. Ia sudah membawanya ke beberapa rumah sakit besar namun setiap kali di bawa ke rumah sakit dokter selalu mengatakan jika ibu tidak menderita penyakit apapun. Semua dokter mengatakan jika Ibu hanya kelelahan saja dan menyarankan untuk beristirahat.
Benar saja, bahkan hari ini aku sendiri benar-benar membuktikan ucapan Bapak.
Dokter spesialis penyakit dalam bahkan mengatakan ibuku baik-baik saja. Ia tak mengidap penyakit kronis apapun. Semuanya baik-baik saja. Bahkan hasil CT Scan dan tes darah pun menunjukkan ibuku adalah wanita yang sehat.
"Jadi saran saya mending sekarang istirahat saja dan biarkan anaknya yang menjalankan usahanya. Bila perlu setiap akhir pekan, ajak ibu jalan-jalan, senang-senanglah intinya biar dia gak terlalu stress," tukas Dokter Tama
Akupun mengikuti saran Dokter. Kini aku sudah membulatkan tekad untuk mengurus rumah makan menggantikan Ibu. Aku bahkan mengangkat beberapa orang karyawan untuk mengurus 25 cabang rumah makan yang tersebar di sepanjang Pantura.
Setiap hari minggu aku bahkan sengaja libur dan mengajak ibu jalan-jalan.
Meskipun demikian, tetap saja ibu masih sakit-sakitan. Bahkan kondisinya makin parah.
Setiap malam ia menjerit-jerit kesakitan hingga membentur-benturkan kepalanya ke tembok.
Seperti malam itu, sayup-sayup ke dengar suara ibu berteriak-teriak meminta tolong.
Akupun segera keluar menuju kamar ibu.
Aku segera manarik ibuku yang sedang menggedor-gedor kepalanya ke tembok.
Aku melihat wajah ibuku di penuhi darah, dan aku segera mengusapnya dengan tisu.
Tiba-tiba ibu menyeringai saat melihat aku begitu panik melihatnya.
Entah kenapa aku merasa merinding saat melihat wajah ibuku yang tiba-tiba tampak menyeramkan.
Saat aku hendak mengambil Betadine untuk mengobati lukanya, dadaku seketika langsung sesak saat melihat sosok ibu terbaring di ranjang berusaha menarik lenganku meminta tolong.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Abi Zar
seru bangets thor
2024-03-15
0
lili
seru ceritanya
2024-02-29
0
Amelia
salam kenal ❤️
2024-02-19
0