PAREWANGAN
Hari ini Mbah Kakung akhirnya tutup usia juga setelah mengalami sakit yang cukup lama. Gondo Sasmita, itulah nama Mbah Kung yang sangat terkenal di kota tempat tinggal kami sebagai salah seorang konglomerat di sebuah kota di Jawa Tengah.
Mbah Kung meninggal di usia 103 tahun. Ia bahkan masih terlihat gagah dan awet muda di usianya itu sehingga membuat beberapa orang sempat menanyakan kepadanya apa resep awet mudanya itu.
"Rajin bangun pagi," itulah jawaban Mbah Kung setiap kali orang bertanya apa resep awet mudanya
Sebagai seorang yang meninggal dengan aset kekayaan yang berlimpah tentu membuat anak keturunan Mbah Kung saling berebut warisan. Sudah hal yang umum jika manusia mati meninggalkan harta pastilah ahli warisnya akan berebut harta warisan.
Begitulah sifat manusia, sikap serakahnya akan muncul saat melihat harta benda. Padahal saat Mbah Kung sakit, tak ada satupun yang mau mengurusnya kecuali ibuku.
Sebagai anak perempuan satu-satunya Ibuku harus merawat Mbah Kakung yang mengalami sakit cukup lama, namun sedihnya ia malah mendapatkan harta warisan paling sedikit diantara anak-anak Mbah Kung lainnya.
Mereka bahkan hanya memberikan ibu sebuah warung makan yang sepi dan tak terurus dengan rumah tua Mbah Kung yang sudah tak terawat semenjak beliau sakit.
Namun Ibu tetap tak mengeluh dan menerima semuanya dengan Legawa.
"Kamu itukan anak bungsu Sri, jadi aku rasa hanya kamu yang cocok mewariskan usaha keluarga kita," ucap Pak De Danu
"Iya, lagian kita ini kan laki-laki gak cocok kalau jadi bakul nasi," imbuh Pak De Seto
"Iya, gak papa Mas, biar aku aja yang melanjutkan usaha Romo. Lagipula Romo sudah menitipkan sama aku dan aku juga sudah menyanggupinya," jawab Ibu
"Yaudah kalau begitu, sekarang semuanya sudah jelas jadi silakan bubar," pungkas Pak De Danu kemudian meninggalkan ruang keluarga diikuti oleh yang lainnya.
Hanya ibu yang masih duduk termangu menatap lukisan Mbah Kung yang terpajang di ruang tamu.
...🍀🍀🍀🍀...
Pukul setengah lima pagi ku dengar suara seseorang menumbuk padi dengan lesung. Suaranya begitu nyaring hingga membuatku tak bisa memejamkan mata lagi. Aku Pun bergegas keluar dari kamar tidur ku dan menuju ke belakang tempat asal suara itu.
Aku melihat Ibuku sedang mengayunkan alu dan menumbuk padi-padi yang tergantung di belakang rumah dengan begitu bersemangat.
Melihat ibu sendirian mengerjakan itu akupun berniat membantunya, tapi sayangnya ibu melarangnya dengan halus. Ibu malah memintaku untuk mengerjakan pekerjaan lain saja.
Aku melihat Ibu tampak bahagia saat memukul lesung itu, senyumannya tampak mengembang seperti seorang yang sedang bertemu dengan pujaan hatinya.
Selesai menumbuk Padi, ibu kemudian membawa beras itu ke warung makan kami yang berada tak jauh dari rumah.
Ternyata Ibu menggunakan beras yang ia tumbuk sendiri untuk nasi yang dijualnya.
Aku pernah menyarankan untuk mempekerjakan orang untuk menumbuk padi atau membeli beras saja yang kualitasnya bagus untuk nasi jualan Ibu, tapi ia selalu menolaknya dengan alasan itu adalah resep rahasia warungnya yang diturunkan oleh Mbah Kung.
Ibu juga mengatakan jika resep itu gak boleh hilang jika mau warung makan mereka tetap laris.
Meskipun warung makan kami tak begitu rame namun semenjak di pegang oleh Ibu, rumah makan itu menjadi sangat ramai hingga memiliki banyak cabang di seluruh Jawa Tengah.
Usaha warung makan ibu yang berkembang pesat membuat para pak de iri dan meminta ibu untuk memberikan rumah mbah kung kepada mereka karena ibu sudah memiliki banyak warung nasi.
Lagi-lagi ibu tak marah dan membiarkan Pak De Danu dan Seto mengambil rumah Mbah yang seharusnya menjadi milik ibu.
Ia mengalah dan membeli rumah baru sebagai tempat tinggal kami.
Aku bahkan sempat marah sama Ibu karena ia terlalu baik hingga membuat kedua kakaknya itu selalu menindasnya. Tapi ibu hanya menjawab dengan santai setiap aku berdebat dengannya.
"Harta itu tidak dibawa mati Le, jadi untuk apa kita rebutan harta yang bukan milik kita. Toh semua itu milik Mbah Kung jadi biarkan saja mereka mengambilnya," jawab Ibu
Begitulah ibuku, ia selalu legawa dan tak pernah mempermasalahkan semua harta benda miliknya yang diambil oleh kakak-kakaknya.
Hari itu saat aku hendak kembali ke kota karena masa liburan semester sudah habis, kami kedatangan seorang tamu kolektor benda-benda antik.
Pria itu tertarik dengan lesung milik ibuku. Ia bahkan menawar dengan harta tinggi, namu ibuku dengan lantang menolaknya.
"Emangnya kamu berani bayar berapa untuk nyawaku!" seru Ibuku dengan nada tinggi
Mendengar jawaban Ibu yang terdengar sadis membuat para kolektor barang antik itupun bergegas pergi.
Memang lesung itu satu-satunya warisan Mbah Kung yang dimiliki Ibu, jadi wajar saja kalau ibu mempertahankan benda antik itu mati-matian. Apalagi aku pernah mendengar kalau Mbah Kung juga melarang Ibu untuk menjual lesung itu apalagi memberikannya kepada orang lain.
Begitulah keseharian ibuku selama menjalankan warung makan warisan Mbah Kung. Melihat kehidupan kembali berjalan normal aku pun memutuskan untuk kembali ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah.
Beberapa tahu kemudian ayah kembali memintaku untuk pulang karena Ibu sakit.
Setibanya aku di rumah ayah langsung memelukku. Ia kemudian mengantar aku bertemu dengan ibu di kamarnya.
Aku melihat Ibu tampak kurus terbaring di ranjangnya. Wajahnya tampak sayu seperti orang yang kelelahan.
Aku langsung memeluknya erat. Terasa tubuh ibuku hanya tinggal tulang belulang, membuatku merasa iba dengannya.
"Ibu pasti kelelahan karena mengurus warung makan sendirian makanya sakit," ucapku sambil membantunya duduk.
Ibu hanya tersenyum simpul sambil menatap cermin besar yang ada di kamarnya.
Ia kemudian memintaku untuk merapikan rambutnya.
Sambil menyisir rambut Ibu, akupun mengajaknya untuk berbincang dengannya.
Selesai merapikan rambut Ibu, akupun mengajaknya jalan-jalan ke depan rumah.
Karena ibu masih lemah aku sengaja menuntunnya.
Ibu menghentikan langkahnya saat melewati lesung padi yang di letakan di halaman belakang.
"Sudah lama ibu tak memberi makan kalian," ucap Ibu menatap nanar kearah lesung padi itu.
Entah kenapa aku merasa aneh saat melihat ibu mengucap kalimat itu, seolah ia sedang berbicara dengan seseorang.
Tiba-tiba bulu kudukku langsung berdiri saat ibuku mengusap lesung itu. Ia memperlakukan lesung padi itu seperti seorang manusia. Ibu bahkan menyelimutinya dengan kain khusus agar lesung itu tidak kotor.
Untuk ukuran barang-barang mewah mungkin aku tidak masalah jika ibu memperlakukannya berlebihan karena memiliki nilai jual yang tinggi.
Tapi untuk ukuran sebuah lesung padi yang sudah tua aku rasa ini cukup berlebihan.
Bukan hanya di tutup dengan kain khusus, ibu bahkan membersihkan lesung itu dengan air khusus yang diberi kembang setaman.
Tentu saja perilaku ibu ini membuat ku sedikit bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ibu rahasiakan?..
Keesokan paginya aku dikejutkan dengan suara lesung yang kembali berbunyi, karena penasaran akupun bergegas menuju halaman belakang untuk melihat siapa yang menumbuk padi sepagi ini.
Rasanya aku tak percaya saat melihat Ibu yang kemarin masih terlihat lemah sedang menumbuk padi menggunakan lesung itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Abi Zar
keren Thor lanjut
2024-03-15
0
lili
baru mampir thor
2024-02-29
0
Amelia
bagus cerita ❤️
2024-02-19
0