Chapter 19 : Mengumpulkan Bukti

Arsene tersenyum saat melihat keberadaan Melinda ada di sampingnya, wanita cantik yang dulu ia sia-siakan sudah berada di pelukannya. Rasanya sedikit aneh dan berbeda, apa mungkin ini pertama kalinya Arsene merasakan kehangatan yang sebenarnya.

"Mel, aku tidak mengerti dengan diriku sendiri. Di satu sisi aku memiliki kekasih yang sudah lama menjalani hubungan denganku, di satu sisi aku sudah menjadi seorang suami dari istri yang tidak pernah aku rasakan." Arsene terus menyentuh wajah Melinda dengan lembut, apalagi Arsene tidak bisa berhenti tersenyum saat melihat wajah Melinda yang begitu cantik.

Melinda mencoba bangun saat sesuatu menyentuhnya, hal pertama yang dia lihat wajah suaminya. Wajah yang sangat tampan, memiliki kumis tipis, rahang yang sangat sempurna. Bagaimana bisa dirinya tidak jatuh cinta dengan Arsene, walau Arsene pernah mengabaikannya tapi suaminya ini mulai hangat.

"Gimana apa tidur kamu nyenyak semalam?" tanya Arsene kepada Melinda yang masih memainkan wajah Melinda.

Melinda mengangguk dengan cepat, "Makasih ya mas kamu mau tidur bareng sama aku. Rasanya seperti mimpi bisa tidur sama kamu satu ranjang di kamar."

"Maafin mas ya. Mas belum bisa jadi suami yang baik untuk kamu, maaf selama ini mas selalu mengabaikan kamu."

"Nggak apa-apa mas. Kamu hangat seperti ini aja aku senang banget mas." balas Melinda dengan memberikan senyuman manis, begitupun dengan Arsene dia sangat beruntung mendapatkan istri seperti Melinda.

Sedangkan di luar kamar sudah kalang kabut melihat pintu kamar yang ditempati pemilik kamar tidak kunjung keluar. Rasanya dia ingin mendobrak pintu itu dan menarinya, itulah yang dirasakan Dion setelah berjam-jam berdiri sambil menatap kamar.

Dion menghentakan kedua kakinya dengan perasaan kesal, "Mereka kenapa gak keluar dari kamar. Ini udah jam berapa kenapa mereka betah sekali di dalam kamar."

"Loh mas belum makan juga." sapa salah satu wanita yang muncul dan melihat Dion tidak ngambil sarapan.

"Ya bi. Oh ya kenapa Arsene sama istrinya belum keluar kamar bi."

Wanita itu tersenyum sambil menatap pintu kamar, "Bagus loh mas mereka gak keluar kamar. Ini pertama kalinya bibi lihat mereka akur, bibi senang banget kalau rumah tangga mereka baik-baik aja. Mungkin mereka lagi sibuk mas di dalam."

"Sibuk?" kening Dion mengerut saat mendengar ucapan dari wanita yang bekerja sebagai art.

"Ya sibuk. Sibuk buat anak mas. Hehehe." wanita itu menjawab dengan memberikan sebuah candaan, tetapi Dion tidak merasa lucu saat mendengar candaan tersebut dia merasa kesal.

Dion mengambil roti tanpa menunggu kedatangan mereka berdua, Dion pergi membuat bibi memanggil. Kepergian Dion membuat pemilik rumah keluar dari kamar, saat itu juga keduanya menatap bibi.

"Ada apa, bi?" tanya Melinda yang baru saja keluar dari kamar, begitupun dengan Arsene mengikuti langkah Melinda.

"Itu bu tadi teman bapak yang tinggal di sini sudah pergi."

"Pergi? Pergi kemana, bi?" kali ini Arsene yang sedikit mengkhawatirkan Dion, Melinda yang mendengar suaminya khawatir sedikit aneh dengan sikap suaminya.

"Gak tahu pak. Dia pergi gitu aja tanpa makan cuman ngambil roti bakar aja satu." jawab bibi kepada majikannya.

"Sayang aku berangkat dulu ya. Kamu hati-hati di rumah, maaf aku gak bisa antar kamu ke butik." Arsene mencium pipi Melinda barulah lelaki itu pergi, Melinda yang melihat sikap Arsene sedikit aneh.

Apa dia saja yang berpikir gitu atau memang mereka seperti... Melinda dengan cepat menggeleng tidak mungkin mereka berdua memiliki hubungan, apalagi keduanya adalah sepasang laki-laki.

"Ada apa, Bu?" tanya bibi melihat majikannya terus menggeleng, Melinda tersenyum lalu menuju meja makan.

***

Arsene masuk ke dalam bergegas menjalani mobil, selama perjalanan Arsene terus menghubungi Dion tetapi panggilan tersebut tidak ditanggapi oleh pria itu. Dion yang merasa kecewa, marah hanya menatap panggilan dari Arsene tanpa menjawab.

"Ayolah sayang angkat jangan gini." ucap Arsene yang sudah panik saat panggilannya tidak dihiraukan, Dion yang merasa pusing dengan panggilan yang terus berbunyi akhirnya mematikan handphone.

Dia meminta supir taksi untuk segera ke kantor, barulah Dion menatap kearah luar jendela mobil. Di sana banyak sekali pemandangan kota, gedung bertingkat dan juga banyak sekali kendaraan yang terus beraktivitas di jalan.

Taksi yang ditumpangi Dion tiba begitupun dengan mobil Arsene, mobil mereka secara tidak sengaja tiba. Dion yang melihat mobil Arsene lebih dulu tiba masuk kembali, tapi dengan cepat Arsene menahan Dion dan membawa lelaki itu masuk ke dalam.

Tidak lupa uang ongkos yang sudah Arsene berikan ke supir taksi tersebut, Arsene mendorong tubuh Dion untuk masuk ke dalam. Arsene membawa Dion ke salah satu tempat yang jauh dari sini, Dion yang merasa kesal terus berontak meminta turun.

"Arsene turunkan aku. Aku gak mau ikut kamu, aku mau kerja." ucap Dion mencoba membuka pintu mobil, tapi hasilnya nihil seluruh pintu mobil sudah di kunci oleh Arsene membuat Dion pasrah.

"Diam Lia. Kalau kamu gak diam akan aku turunkan kamu di pinggir jalan supaya kamu tidak tahu arah jalan pulang sekalian." seru Arsene sedikit meninggalkan suara, Dion mendengar suara Arsene yang menyeramkan memilih diam.

Arsene menghentikan mobilnya tepat di jalanan sepi, jalan yang sangat sepi tidak ada satupun orang yang akan melewati jalan tersebut. Tapi Arsene tidak tahu kalau ada satu mobil lagi sibuk mengintainya.

Arsene melonggarkan dasi kerja dan menatap Dion, sedangkan yang ditatap tidak berani menatap sang kekasih.

"Tatap aku Lia."

"Gak."

"Kenapa? Sekarang kamu mulai gak berani menatap pacar kamu sendiri." kata Arsene yang masih menatap Dion, dari tadi Dion cuman bisa menunduk karena mendengar kalimat Arsene yang membuatnya takut.

"Lia." gertak Arsene membuat tubuh Dion terasa terpental, Arsene yang melihat itu merasa bersalah sudah membentak kekasihnya.

Arsene menghela nafas untuk mengatur emosi yang sudah keluar, barulah ia kembali menatap Dion dengan memanggil nama kekasihnya dengan penuh kelembutan.

"Sayang."

"Honey."

"Hey! Tatap aku, kamu jangan takut gitu aku gak akan membentak kamu." ucap Arsene lembut. Arsene berusaha membuka sabuk pengaman yang menempel tubuh Lia.

Lelaki itu mencoba membuka mata saat kekasihnya berusaha membuka, barulah mata itu terbuka saat Lia mencoba menahan air mata yang sudah tidak bisa menahannya lagi. Air mata itu itu akhirnya keluar dengan sendirinya saat Arsene memeluk tubuh Lia.

"Sudah ya sayang saya minta maaf. Aku gak bermaksud membentak kamu, aku tidak sengaja membuat hati kamu tersakiti gini."

"Hiks... hiks.. Tapi kamu sudah melukai perasaan aku mas." balas Lia dengan sesenggukan saat dalam pelukan itu pecah, membuat Arsene tidak tega melihat sikap Lia.

"Gak ada yang melukai perasaan kamu Lia. Siapa yang nyakitin kamu?" Arsene melepaskan pelukan dan terfokus menatap Dion.

"Barusan bibi."

"Bibi?" Dion mengangguk saat Arsene sibuk menghapus air mata, "Sekarang kamu bilang kenapa bibi nyakitin perasaan kamu."

"Bibi bilang kalau kamu sudah melakukan hubungan suami istri sama istri kamu makanya aku langsung marah, kesal, kecewa. Aku gak bisa membayangkan kalau kamu akan punya anak sama istri kamu, dan kamu ninggalin aku gitu aja."

"Aku gak mau itu terjadi. Kalau itu terjadi gimana dengan nasib aku..." ujar Dion. Arsene tersenyum saat melihat kekasihnya cemburu, rasanya dia ingin memakannya hari ini juga.

"Kamu salah paham sayang, bibi memang dari dulu gitu suka bercanda. Jadi jangan dimasukin ke hati ya, anggap aja angin lalu." Dion mengangguk, Arsene tersenyum melihat sikap manja Lia.

Akhirnya Arsene sudah tidak tahan lagi, Arsene menatap Lia dengan seksama barulah tatapan itu berubah menjadi tatapan panas. Seperti menginginkan sesuatu yang sudah lama tertahan, sedangkan mobil satunya lagi menikmati permainan panas yang dilakukan Arsene dengan Dion di dalam mobil.

Adegan panas itu sangat luar biasa, suaranya sangat syahdu bagaimana aliran musik yang mengikuti sentuhan angin. Siapa lagi kalau bukan Bart yang tidak memiliki kegiatan, walau begitu dia berhasil merekam apa yang mereka katakan di dalam mobil.

Sampai adegan panas yang kini mereka lakukan, rasanya di saat seperti ini Bart seperti membayangkan bermain dengan Melinda. Apalagi tempat yang seperti ini sangat cocok untuk bercinta, tapi semua itu hanyalah khayalan saja. Hanya bisa menghalau dan memimpikan bersatu dengan Melinda.

Kulit yang mulus, seksi, buah dada yang besar. Sangat montok dan menantang, apalagi saat memakai pakaian seksi bagaimana dirinya yang paling sempurna di muka bumi. Bibir manisnya sangat menggoda, apalagi bibir pinggirnya rasanya ingin sekali dia gigit dan masuk ke dalam tenggorokannya itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!