#6

#6

Senin pagi di International Senior High School.

Apel pagi baru saja usai, dan para siswa sudah dipersilahkan masuk kelas, namun siswa siswi yang berada di karantina sengaja dikumpulkan di lapangan oleh Coach Budi.

“Selamat pagi semua…” Coach Budi segera memulai tanpa basa basi.

“Pagi Coach …” Jawab seluruh siswa yang kini berbaris rapi sesuai arahan sang pelatih tersebut.

“Kalian pasti penasaran, kenapa pagi ini bapak tidak izinkan kalian langsung ke kelas masing masing,” Coach Budi mulai berjalan mondar mandir dengan tangan diletakkan di punggung.

“Sesuai jadwal yang sudah kalian ketahui, bahwa Olimpiade Nasional Antar Sekolah semakin dekat, tapi belakangan juga saya sering menerima laporan bahwa kalian diam diam berani keluar dari asrama, jelas ini tidak sesuai dengan aturan yang sudah kita buat dan kita sepakati, karena itulah pada nama nama yang bapak sebut, kalian mendapat porsi latihan tambahan sebagai hukuman.”

Sontak bisik bisik mulai terdengar, pasalnya sekolah memberikan imbalan yang sesuai karena para siswa sudah bersedia menjalani masa karantina, salah satu diantaranya adalah boleh memilih universitas favorit sebagai jenjang lanjutan pendidikan mereka, dan sekolah akan memberikan rekomendasi karena siswa tersebut sudah berprestasi.

Para siswa dan siswi tersebut, saling pandang dengan hati berdebar, termasuk Alex dan Stella yang malam sebelumnya terlambat masuk asrama.

Alex hanya bisa membuang nafas kasar, ia sudah sangat yakin bahwa dirinya dan juga Stella, sudah pasti masuk dalam daftar siswa yang menerima hukuman.

Coach Budi segera menyebutkan satu persatu nama siswa, dan firasat Alex terbukti benar, karena dua nama terakhir dari 10 siswa yang ia sebutkan adalah nama Alexander dan Stella Marissa.

“Paham semua?”

“Paham Coach …”

Dan begitulah, pada sore harinya, kesepuluh siwa dan siswi yang pagi tadi di sebut namanya oleh coach Budi, sore ini tengah menyelesaikan latihan tambahan mereka.

“Sorry …” 

“For what?”

“Yang kemarin.”

Stella tersenyum, sungguh senyum yang cantik, tapi jangan meremehkan senyuman tersebut, si cantik yang satu ini cukup ditakuti lawan lawannya ketika sudah berdiri tegap di atas arena. “Kakak gak telat pun, kita akan tetap dihukum.” 

Alex balas tersenyum, sang kapten tampan ini pun tak kalah mengerikan ketika di arena basket, postur tubuh yang tinggi menjulang, memudahkannya melakukan tembakan jarak jauh yang menjadi andalannya, hingga beberapa kali pernah membuat harum nama sekolah mereka, hanya satu yang menjadi ganjalannya, yakni restu sang papa Sony Geraldy tak pernah memberi izin sang putra menjadi atlet basket nasional, padahal pelatih tim basket sekolah sudah berkali kali dihubungi oleh pelatih basket nasional, mereka sungguh terpesona dengan gaya dan bakat Alex di lapangan, bagi Sony Geraldy, basket hanyalah hobi, karena di pundak sang putra sudah tertulis takdir menjadi penerus keluarga, terlebih Alex adalah satu satunya anak laki laki di keluarga Geraldy. 

Keduanya berbincang di tengah hukuman yang kini tengah mereka jalani, wajah dan tubuh kedua nya sudah basah bersimbah keringat.

Seorang pemuda tampan nampak tersenyum melambai dari kejauhan, ia sengaja menunggu hingga Alex usai latihan, mengingat tadi Alex meminta padanya untuk ditemani belajar.

“Hai … udah lama?” sapa Alex ketika dia pemuda itu mendekat dengan sebotol air mineral di tangannya.

Alex dibuat melongo dengan ulah sang sahabat, rupanya botol air mineral tersebut tak diperuntukkan untuk dirinya, padahal Alex sudah mengulurkan telapak tangannya untuk menyambar botol air mineral tersebut.

Rupanya Alan memberikan botol air mineral tersebut untuk Stella, “Makasih kak…” 

Wajah Alan memerah menerima ucapan terimakasih dari gadis yang sejak lama menarik perhatiannya, ia menggaruk rambutnya yang tak gatal, “sama sama …”

“Eh … air buatku mana?” protes Alex.

“Tuh … ambil sendiri.” Alan menunjuk bungkus makanan yang teronggok di kursi taman. “Manja amat jadi laki.” berutu Alan kira hanya didengar Alex.

Alex tercengang mendengar gerutuan sahabatnya, tanpa mereka  tahu Stella ikut menahan senyuman, “Eh… tuh makanan di beli pake duit ku yah?” protes Alex lagi.

“Iya tahu … yang punya banyak duit, jangan pelit pelit kenapa.” Alan melingkarkan tangannya ke leher Alex kemudian berbisik, “Bantuin aku PDKT,”

“O… Bilang dong,” Jawab Alex.

“Kan seminggu lalu aku udah cerita, kamu gak peka amat jadi sohib,”

Alex nyengir, “Lupa … maaf.” Alex mengangkat jari telunjuk dan jari tengah nya sebagai tanda permintaan maaf

“Makasih ya kak, aku mau ke kamar dulu, gerah … mau bersih bersih,” pamit Stella yang tak ingin mengganggu keasyikan kedua sahabat tersebut.

Alan menoleh terkejut, “Eh … kok udahan sih … sini aja dulu,” Pinta Alan yang belum puas berbincang dengan sang pujaan, sementara kakinya sibuk menendang betis Alex, berharap Alex memberinya bantuan.

“Eh rujak, sakit tau …” Sembur Alex, yang kemudian menggosok betisnya. “Aset berharga nih, asuransinya mahal,” imbuh Alex. “nih kaki kalo lecet atau luka, gak bisa lari aku.”

Namun Alan mengabaikan omelan Alex, “yuk makan pizza dulu, tadi si kuya berkaki dua ini nitip minta beliin pizza.”

“Oke …” Jawab Stella yang seketika menyambut ajakan Alan, keduanya kompak menjadikan Alex pihak ketiga yang tak diharapkan kehadirannya.

Berawal dari tak sengaja berkeliling perpustakaan, Stella justru membaca biografi Alan, rupanya pemuda ini banyak memenangkan penghargaan di bidang Sains, hal itu seketika membuat Stella terpesona.

Cukup lama ketiganya berbincang, namun kebanyakan Alan dan Stella yang mendominasi dengan topik yang tak banyak Alex ketahui, tak ada masalah dengan perasaan Alex saat itu, karena ia memang telah memiliki kekasih yang sejak lama ia pacari.

Beberapa saat setelah Alex membawa Alan ke kamarnya, Alex pun sudah segar usai membersihkan diri, mereka tak menginginkan makan malam, karena sudah cukup kenyang dengan pizza yang tadi Alan beli.

“Kapan kamu tembak dia? kayanya Stella juga ada rasa sama kamu.” tanya Alex ketika ia melihat Alan duduk melamun di meja belajarnya.

Alan menoleh, “Entah … aku belum berpikir sampai sana,”

Alex mengangguk anggukkan kepalanya, mereka memang bersahabat, tapi urusan hati ia tak ingin ikut campur.

“Aku doakan yang terbaik yah.”

“Thanks yah, ayo ah, keburu malam nih, ayo bab mana yang mau kamu tanyakan? aku juga ingin menikmati kehidupanku,” gerutu Alan, karena ni bukan kali pertama ia diundang Alex ke kamarnya, hanya karena sahabatnya tersebut tertinggal pelajaran karena sibuk dengan pertandingannya. 

Flashback end.

.

.

.

Dengan wajah berbalut senyuman, Alexander mengakhiri kisahnya, tatapan mata penuh kekaguman ia dapatkan dari cucu cucunya yang kini menginjak masa remaja, mereka tak menyangka bahwa sang opa pun pernah nakal ketika masih muda, bahkan Arjuna yang notabene anggota baru di keluarga Geraldy, tak kalah terkejut mendapati fakta bahwa salah satu dokter idolanya adalah mantan kekasih sang ibu mertua, “Opa … aku kira opa sama sekali tak mirip denganku, rupanya kita punya beberapa kesamaan.”

Sang tuan besar kembali tersenyum, “Tentu kita punya banyak kemiripan, opa dan oma juga pernah muda, tak masalah menjadi nakal, dan iseng, demi menuruti sebuah rasa yang bernama ‘penasaran’, TAPI … jangan berlebihan, dan jangan membahayakan hal berharga yang kalian miliki, jangan berbuat kriminal, jangan pernah menyentuh narkoba, apalagi s e x bebas, jadilah nakal dalam batas yang wajah, dan jangan bersikap kurang a j a r terlebih pada orang tua dan guru,” opa Alex mengakhiri nasihat nya, rasa nya jika sudah demikian ia selalu merasa kurang, rasanya masih banyak sekali yang ingin ia sampaikan pada anak dan cucu cucu nya, tapi tentu ia pun harus sadar bahwa sebagai manusia ia pun memiliki banyak kekurangan.

“Baik opa … akan ku ingat.” jawab Danesh.

“Jadi besok, terima hukuman dari pak Cipto dengan lapang dada, hadapi dengan Gentleman, dan jangan cemen, berani berbuat, tak berani bertanggung jawab.”

Danesh mengangkat telapak tangannya ke dahi sebagai tanda penghormatan, “Siap opa.” 

Seisi ruangan tersenyum, termasuk Andre yang kini sedikit berkurang rasa kesalnya terhadap sang putra.

“Opa … aku mau tanya,” Luna mengangkat tangannya, si cantik yang satu ini selalu melihat segala sesuatu dari sisi romantisme, efek dari buku dongeng yang sering ia baca, dimana seorang pangeran akan berakhir bahagia bersama putri baik hati. 

Alex menatap si cantik versi wajah campuran Anindita dan Stella tersebut, mau bagaimana lagi, ia harus terima kenyataan bahwa, cucu cucunya adalah cucu cucu mantan kekasih nya juga. 

“Kalau mantan kekasih oma adalah opa Alan, lalu siapa mantan kekasih opa???” pertanyaan polos tapi dijatuhkan tepat sasaran, laksana bom atom Hiroshima dan Nagasaki.

.

.

.

tik 

tok 

tik 

tok 

tik 

tok 

krik 

krik 

krik 

krik

Seisi ruangan yang mengetahui mengetahui kisah tersebut hanya diam, bahkan diam diam mengulum senyuman, ingin tahu bagaimana reaksi sang tuan besar mendapatkan pertanyaan dari cucu kesayangannya, perihal mantan kekasihnya, yang juga nenek mereka sendiri.

“Yang kok pada diem sih?” bisik Juna di telinga Emira.

Emira berbisik di telinga sang suami, seketika kedua bola mata Juna terbelalak. "benarkah?" tanya nya tanpa suara.

Terpopuler

Comments

pipi gemoy

pipi gemoy

😆😆😆😆😆😆😆
senjata makan tuan Alex 👻😆

2025-01-25

0

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ

siap opa 👍

2024-09-10

0

✍️⃞⃟𝑹𝑨 Uranium

✍️⃞⃟𝑹𝑨 Uranium

Minum air dulu ah 😅

2024-06-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!