Jantung Hati

Jantung Hati

Si Kecil yang Cantik

Di sebuah kota terpencil, terdapat panti asuhan kecil yang terlihat tak terawat dengan bangunan tuanya yang sudah mulai reyot. Panti asuhan yang dihuni oleh anak-anak yatim piatu yang malang dari berbagai usia.

"Putri, kemarilah!" teriak seorang wanita yang berprofesi sebagai ibu pengasuh panti asuhan itu, memanggil salah satu anak asuhnya yang tengah asyik bermain bersama teman-teman senasibnya di halaman belakang panti asuhan.

Seorang anak perempuan berumur sekitar 5 tahun dengan penampilan yang tidak terawat nan kotor pun berlari menghampirinya, "Ibu, memanggil saya?" tanya anak itu sesampainya ia di hadapan ibu pengasuhnya.

Anak itu mengedarkan pandangannya. Ia menatap dua orang dewasa asing yang berdiri di samping ibu pengasuhnya itu dengan wajah bingungnya yang tampak menggemaskan.

Lantas, ia pun tersenyum manis menyapa keduanya. Senyuman yang walau tertutup oleh debu dan kotoran di wajah mungilnya, tapi siapa pun tahu kalau senyuman itu sungguh menawan hati siapa pun yang melihatnya. "Ah, cantiknya!" pikir kedua orang itu bersamaan saat melihat senyuman anak itu.

Wanita cantik yang berdiri di samping ibu pengasuh itu pun berlari memeluk bocah itu, "Terima kasih, Tuhan. Akhirnya, kami menemukanmu," ucapnya beserta isak tangisnya yang terdengar tulus, sedangkan anak itu hanya terdiam menikmati pelukan yang tidak pernah ia dapatkan.

Bagi anak itu, pelukan itu sungguh terasa hangat dan begitu nyaman. Hingga tanpa sadar, air mata anak itu mulai menetes membasahi pipinya, lalu tangisnya pun pecah.

Entah apa yang membuat anak itu menangis, bahkan hingga sesenggukan. Terlebih, saat wanita asing itu semakin mempererat pelukannya manakala mendengar suara tangis sang anak yatim piatu itu. Mungkin, rasa rindunya akan kasih orang tua yang tidak pernah sempat ia rasakan yang membuatnya pilu.

"Putri, perkenalkan, ini adalah Tuan Fajrin Adithama dan istrinya, Nyonya Jovita Adhitama. Mereka datang ingin mengadopsimu," jelas ibu pengasuh seraya memperkenalkan kedua orang tersebut.

Ada senyum kebahagiaan di wajah ibu pengasuh karena ada keluarga yang berbaik hati ingin membantu membesarkan anak itu, tapi juga tidak bisa disembunyikan gurat kesedihan di wajahnya karena anak yang menyenangkan itu akan pergi meninggalkan mereka.

"Bagaimana? Apa Putri mau?" tanya ibu pengasuh lagi dengan nada yang begitu lembut seperti biasanya. Anak yang bernama Putri itu menghentikan tangisnya dan menyeka air matanya dengan kedua tangannya yang kotor.

Jovita Adhitama, wanita itu pun akhirnya, melepaskan pelukannya. Di sela-sela isak tangisnya, Putri menengadahkan kepalanya menatap pria yang berdiri di hadapannya, "Apa Anda akan menjadi ayahku?" tanya Putri dengan polosnya.

Pria tampan bertubuh tinggi itu pun berlutut mensejajarkan posisinya dengan Putri. "Kami adalah sahabat karib almarhum kedua orangtuamu. Kami sudah lama mencari keberadaan kalian dan kami sungguh terpukul saat mengetahui kematian mereka,"

katanya.

Tuan Fajrin memeluk tubuh mungil itu, "Maafkan, kami datang terlambat dan sebagai permintaan maaf, kami ingin merawatmu. Putri, maukah kau ikut dengan kami? Mulai hari ini, aku akan menjadi ayahmu dan istriku akan menjadi bundamu," lanjutnya seraya menunjuk istrinya yang tersenyum tulus dengan kepala mengangguk di hadapan Putri.

Putri, anak perempuan cantik nan mungil itu pun menatap pasangan Adhitama itu dan tanpa pikir panjang, ia pun turut mengangguk. Senyuman yang cantik kembali mengembang di wajah polosnya.

Betapa bahagianya gadis kecil itu mendapatkan orang tua baru karena sejak ia berumur 4 bulan, ia sudah kehilangan kedua orang tuanya. Kecelakaan mobil yang terjadi 5 tahun lalu berhasil merenggut kedua orang tuanya secara bersamaan.

Memisahkannya dari kehangatan kasih sayang orang tua yang seharusnya ia nikmati di usianya yang terlalu kecil. Mengharuskannya untuk tinggal di panti asuhan ini karena tidak satu pun sanak keluarga yang ia miliki. Lima tahun ia habiskan dalam kerinduan kasih sayang orang tua, walau hanya sekedar sebuah pelukan, ia sangat mendambakannya.

Setiap malam, ia habiskan dengan memandang langit dari balik jendela kamarnya, dengan binar mata yang penuh harap menemukan wajah kedua orangtuanya yang terlukis di kelamnya langit malam, bahkan hingga matanya tertutup beralih ke alam mimpi, ia masih berharap menemukan sosok kedua orangtuanya di sana, meskipun hanya sebatas siluet hitam yang tak jelas, ia tetap saja mengharapkannya.

Setidaknya, itu cukup untuk mengobati kerinduannya karena bagaimanapun, tidak ada ingatan yang tersimpan dalam benak bocah mungil itu, bahkan untuk sekedar ingat, bagaimana rupa kedua orangtuanya, ia sungguh tidak dapat mengingatnya.

Begitu pula setiap paginya, Putri selalu berdoa, juga sebelum tidurnya, agar saat matanya terbuka, orangtuanya akan datang bersama datangnya mentari pagi, menjemputnya pulang ke rumah.

Seperti itulah, harapan Putri setiap harinya. Tanpa henti, mulut mungil itu selalu melafalkan doa agar ia bisa bertemu dengan kedua orangtuanya dan kini, ada orang yang memintanya untuk memanggil mereka ayah dan bunda. Sungguh, ini hal yang membahagiakan untuknya. Kenapa ia harus menolaknya?

***

Setelah melakukan segala prosedur adopsi yang sudah diserahkan kepada asisten pribadinya, pasangan Adhitama itu pun membawa pergi bocah mungil itu bersama mereka, meninggalkan tempat yang sudah jadi rumahnya selama ini.

Sebelum pergi, Putri memeluk satu persatu teman-temannya yang sudah seperti saudara untuknya, juga ibu pengasuh tua yang sudah seperti neneknya itu. Derai air mata pun tidak bisa dielakkan. Semuanya menangis melepaskan kepergian bocah pintar dan penurut yang selalu membawa keceriaan di panti asuhan itu.

Sesampainya di Jakarta, kota tempat mereka tinggal, pasangan Adhitama itu membawanya ke mall terbesar di kota itu untuk berbelanja semua keperluannya. Tempat yang selama ini hanya bisa Putri lihat dari layar televisi usang yang hampir rusak di panti.

Tak henti-hentinya, sepasang mata indah itu melebar penuh binar, ditambah mulut mungilnya yang terus ternganga takjub. Dengan langkah riang, bahkan hampir terkesan menari-nari kecil, Putri mengelilingi mall dengan bahagianya.

Selama ini, tidak ada satu pun orang yang pernah mengajaknya berbelanja, walau hanya di sebuah warung kecil dekat panti asuhannya, bahkan hanya untuk sekedar membeli sebuah permen yang ia inginkan.

Panti asuhan itu hanya panti asuhan kecil yang terletak di pinggiran kota kecil. Panti asuhan yang tidak memiliki sokongan dana yang besar dan hanya mengharap belas kasihan para warga sekitar untuk membantu mereka.

Hal itu membuat anak-anak asuhannya hanya bisa menelan air liur mereka sendiri setiap kali ada yang mereka inginkan untuk dimakan, bahkan tidak jarang, bocah itu dan para penghuni panti lainnya harus menahan lapar berhari-hari jika kehabisan bahan makanan. Malang sungguh nasibnya, tapi sekarang, seolah dunia berbalik tersenyum padanya.

Pasangan Adhitama itu meminta Putri untuk memilih apapun yang ia inginkan di mall itu untuk ia beli dan mereka akan membayarnya untuknya. "Bolehkah?" tanya Putri ragu seraya memainkan dua jari telunjuk yang ia pertemukan ujungnya.

Butuh waktu lama untuk pasangan Adhitama itu meyakinkannya bahwa itu tidak dilarang dan ia tidak akan mendapatkan hukuman hanya karena melakukannya.

Putri pun akhirnya memberanikan dirinya memilih sebuah baju dress dengan model sederhana, yang baginya itu pun sudah sungguh luar biasa karena selama ini, ia hanya memakai pakaian yang diberikan para warga sekitar, bahkan banyak di antaranya yang sudah tidak layak pakai.

Namun bagaimanapun, Putri selalu mensyukuri pemberian yang ia terima. Sekali pun pakaian itu sudah usang atau berlubang di mana-mana, ia akan tetap tersenyum bahagia menerimanya karena tidak ada orang tua yang bisa ia mintai untuk membelikannya baju, walau selembar.

"Kenapa hanya satu?" tanya Jovita heran menatap baju yang berada di tangan Putri. "Pilihlah lagi! Apapun yang kau mau, bunda tidak akan marah," lanjut Jovita tersenyum lembut seraya membelai lembut pipi chubby Putri.

"Tidak, Bunda. Ini saja cukup," sahutnya seraya memeluk baju yang ia pilih itu dengan erat, layaknya sebuah harta karun yang baru ia temukan di tempat antah berantah yang asing untuknya.

"Baiklah. Sini, berikan baju itu pada Bunda, biar Bunda membayarnya!" pinta Jovita seraya mengalihkan pandangannya ke arah suaminya. Jovita memberi isyarat pada Fajrin untuk membawa Putri menjauh karena sepertinya, Putri akan bersikeras untuk tidak menurutinya membeli baju lagi.

Fajrin yang mengerti isyarat sang istri pun tersenyum melihatnya, lalu ia pun mengajak Putri untuk mengikutinya. Mereka berdua pun meninggalkan Jovita seorang diri di outlet itu.

"Tolong carikan baju dengan ukuran seperti ini!" perintah Jovita pada salah satu pelayan toko itu seraya menyerahkan baju yang tadi dipilih Putri. "Kalau bisa dengan model yang sederhana seperti ini," lanjut Jovita.

Tak berselang lama, pelayan itu pun datang dengan berbagai pilihan. Kemudian, Jovita pun menikmati memilih baju anak perempuan beserta segala aksesoris pendukungnya yang belum pernah ia lakukan.

"Aah, semuanya cantik! Aku jadi bingung memilihnya. Bagaimana ini?" gumam Jovita di sela-sela aktivitasnya. "Ya sudah, tolong dibungkus saja semuanya dan antar ke alamat saya!" titahnya seraya mulai mencatat alamatnya di kertas memo, lalu mengeluarkan sebuah kartu hitam dari tasnya.

Sementara itu di sisi lain, Fajrin bersama Putri berkeliling di sebuah toko mainan. Lagi-lagi, Putri tampak kebingungan saat Fajrin menyuruhnya mengambil mainan yang ia suka.

Bukan karena tidak ada yang Putri sukai, tapi ia sendiri tidak tahu cara menggunakan mainan-mainan yang baru pertama kali ia lihat itu. Seumur-umur, mainan yang pernah ia miliki hanyalah boneka barbie bekas yang satu kakinya hilang entah ke mana atau bola yang biasa ia mainkan dengan teman-temannya di panti asuhan.

Setelah beberapa saat berputar-putar bersama Fajrin, langkah Putri akhirnya berhenti tepat di depan deretan boneka barbie yang tersusun rapi di dalam kotaknya. Matanya membulat sempurna dengan mulut yang terbuka lebar, seperti baru saja melihat surga di hadapannya.

Fajrin yang melihat ekspresi putri barunya itu pun menepuk dahinya lalu tertawa renyah. Lantas, ia melangkahkan kakinya menjauh dari sana. Tak selang berapa lama, ia datang dengan sebuah troli kosong.

Kemudian tanpa bertanya lagi, Fajrin mulai mengambil satu persatu kotak berisikan boneka favorit anak perempuan itu sampai troli itu terisi penuh. Ia juga memanggil salah satu pelayan toko itu, memintanya membawakan rumah-rumahan barbie dengan ukuran besar beserta dengan segala perabotannya.

Apapun yang berbau barbie di toko itu berhasil dimasukannya ke dalam keranjang belanjaannya. Tak sampai di situ, selama menunggu kasir menghitung jumlah belanjaannya, ia tampak menghubungi seseorang lewat ponselnya.

"Halo, Sebastian! Aku perlu bantuanmu," ucap Fajrin kepada lawan bicaranya yang baru saja ia hubungi itu. "Halo, Jin! Katakan saja! Apa yang bisa aku lakukan untukmu?" sahut salah satu temannya itu.

"Tolong, bantu aku membuatkan kamar untuk putriku dengan tema barbie. Untuk desain dan furniturnya, aku serahkan padamu. Aku percaya dengan pilihanmu," jawab Fajrin.

"Apa? Putri? Sejak kapan kau punya putri? Apa Jovita hamil lagi? Sudah berapa bulan? Atau sudah lahir? Jadi, aku harus membuat kamar bayi? Kenapa aku tidak tahu kabar gembira ini?" tanya Sebastian hampir tanpa jeda membuat Fajrin tersenyum mendengarnya.

"Bukan. Dia putri almarhum Keanu, sahabat kita," jawab Fajrin. "Kau sudah menemukannya?" tanya Sebastian tidak percaya di seberang sana yang terdengar turut gembira.

"Iya, akhirnya aku menemukannya dan aku sudah mengadopsinya. Mulai sekarang, dia akan jadi putriku. Mungkin hanya ini yang bisa kami lakukan sebagai balas budi kami pada mereka karena bagaimana pun, aku tidak akan sesukses ini, tanpa mereka," jawab Fajrin.

"Sayang, aku tidak sempat berbagi kebahagiaan ini dengan mereka," ucap Fajrin lirih di akhir kalimatnya. Sebutir air mata hampir menetes di ujung matanya saat kenangannya bersama almarhum sahabatnya itu kembali terlintas di kepalanya.

"Syukurlah, kalau begitu. Aku turut gembira mendengarnya. Aku jadi penasaran ingin menemuinya. Dia pasti secantik ibunya dan sepintar ayahnya," sahut Sebastian antusias.

"Kau benar, dia mirip seperti orangtuanya, tapi bisakah kau menyelesaikannya secepatnya? Kau bisa memakai kamar di sebelah kamar pangeran tampanku itu," kata Fajrinlagi. "Baiklah, akan aku usahakan," jawab Sebastian dan panggilan itu pun mereka akhiri.

Terpopuler

Comments

Fanny Winharty

Fanny Winharty

halo nama ku alyn

2021-06-17

1

Fanny Winharty

Fanny Winharty

hai namaku alyn aku orang islam klo kamu orang islam atau orang kristen

2021-06-17

1

Zee Gween

Zee Gween

di awal baca, hatiku sakit' bahkan sakitnya sampai terasa menjalar ke jari". ngebayangin mereka anak" yg hidup di panti asuhan yg serba kekurangan, bahkan sering kelaparan 😭 oooh tuhaaan, semoga itu hanya terjadi di dunia novel sajah.

2020-08-20

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!