Aldo tergugu mendengar pertanyaan itu, tidak mungkin ia memperkenalkan dirinya sebagai seorang geng motor, Aldo membuat karangan palsu.
“Eum, aku, aku hanya pengangguran, tidak ada pekerjaan yang bisa aku lakukan.” Sahut Aldo kemudian.
Shiren tersenyum lagi meski tak puas mendengar jawabannya. “Berusahalah, aku yakin setiap kemauan pasti ada jalan.”
“Apa kamu percaya dengan mimpi?” tanya Shiren sambil menatap indahnya bintang.
Aldo memperhatikan wajah cantik yang diterpa cahaya bulan itu. Aldo menyampaikan pendapatnya. “Mimpi hanyalah bunga tidur. Ketika bangun kita tidak bisa menjadi apa yang kita harapkan. Hanya dalam mimpi kita bisa melakukan apa yang tidak pernah bisa kita lakukan di dunia nyata.”
“Itulah mengapa aku suka bermimpi, aku yakin hanya dengan bermimpi aku bisa mewujudkan keinginanku.”
“Sebenarnya apa mimpimu?” Aldo merasa semakin ke sini gadis berhijab itu sangat menarik.
“Aku ingin punya sekolah di tanah ini. Ya, sekolah gratis untuk mereka yang tak punya biaya. Membayangkan saja pasti sulit, tapi demi masa depan mereka aku rela untuk mewujudkan mimpiku.”
Aldo tercengang mendengar mimpi Shiren yang begitu besar. “Shiren, kamu bukan wanita biasa, keluargamu pasti sangat senang dengan mempunyai anak seperti mu dengan mimpi yang besar!”
“Papaku mendukung apa yang aku inginkan, tapi masalahnya tanah ini akan dibangun mal besar. Aku sangat membenci mereka, hanya menguntungkan diri sendiri.” Shiren mengungkapkan kekesalannya pada beberapa pejabat yang pernah mendatangi tempat ini. Shiren salah satu dari sekian banyak orang di tempat itu yang menolak pembangunan mal. Sayangnya, Shiren kalah dalam perdebatan itu. Rumah CINTA akan mengalami penggusuran lima bulan lagi
Aldo mengepalkan tinju, rasanya ia ingin membantai orang – orang yang tak tahu diri itu.
Malam semakin larut, mereka kembali masuk ke dalam tenda masing – masing.
Keesokan harinya.
Aldo terbangun dan tak mendengar suara Shiren apalagi anak – anak. Aldo bangkit dan rupanya Shiren beserta anak – anak sudah tidak ada. Tenda pun sudah bersih. Aldo membongkar tenda dan melipatnya. Menyusul yang lain ke rumah CINTA.
“Aldo, kamu sudah bangun, baru saja aku mau membangunkan kamu, memberikan sarapan ini,” Shiren memperlihatkan piring berisi pizza mie dan telur rebus.
Aldo menggaruk kepalanya, “Eum, Shiren, bolehkah aku meminjam kamar mandi, badanku gatal. Aku mau mandi.” Aldo malu – malu mengatakannya.
Shiren tertawa dan itu membuat Aldo semakin malu. “Iya, baiklah, aku akan meletakkan kembali sarapanmu di atas meja. Kamar mandi ada di belakang dapur.”
“Aku ke kamar mandi dulu.”
“Iya,”
Aldo mengambil langkah ke kiri bersamaan juga dengan Shiren yang mengambil langkah ke kanan, hingga tubuh mereka saling berhadapan. Secepatnya Aldo bergerak mengambil langkah ke kanan memberi kesempatan untuk Shiren agar bisa lewat. Shiren pun berpikir sama, Shiren mengambil langkah ke kiri memberi jalan agar Aldo lewat. Sayangnya hal yang tadi terjadi lagi. Mereka berdua saling berhadapan dan pandangan keduanya bertemu. Larut dalam pikiran masing – masing. Tanpa sengaja Shiren menatap jauh bola mata yang teduh itu. Aldo memiliki bola mata hitam dan bulat, kedua alis yang tebal memberikan kesan kalau dia pria yang cerdas, sensitif, mudah beradaptasi, positif, pandai mengekspresikan diri, dan sangat mudah bergaul. Mata Shiren agak lain dari kebanyakan mata wanita yang Aldo jumpai, yang berbentuk elips dengan ujung bagian luar mencuat ke atas, mengesankan mata seperti almond atau mata kucing. Perempuan yang memiliki mata seperti ini biasanya sangat percaya diri dan tahu apa yang mereka inginkan dalam hidup. Mereka menyukai tantangan dan optimis dalam memandang hidup.
Bimo hendak lewat tapi jalanan di ruangan itu terhalang oleh dua pasang manusia yang saling mematung. Bimo berdehem hingga membuyarkan lamunan mereka.
“Kamu, jalanlah dulu!” Aldo diam memberi jalan pada Shiren.
Shiren menunduk untuk menghindari kontak mata yang terlalu dekat itu. “Terimakasih,” lalu Shiren jalan lebih dulu.
Aldo menoleh memperhatikan punggung Shiren yang kemudian menghilang. Aldo mengusap dadanya. Detak jantungnya berpacu seperti genderang di medan perang. “Apakah aku sedang jatuh cinta?” gumamnya dalam diam.
Selesai mandi, Aldo bergabung bersama yang lain. Selesai makan Aldo membuka obrolan. “Shiren, aku akan pulang ke rumahku, tapi bolehkah aku bermain lagi ke sini, eum, itu jika kamu tak keberatan,” Aldo ragu untuk mengatakannya.
“Iya, pulanglah, kamu boleh kok main ke sini!” Shiren tersenyum, nampaknya teman baru di rumah CINTA sangatlah mengasyikkan. “Setelah sarapan, aku juga mau pulang.” Shiren memberi tahu.
“Kak Aldo, sering – sering main ke sini ya!” ujar Mila.
“Iya, Kak Aldo orangnya asyik!” imbuh Risma.
Aldo cengengesan saja lalu setelah berpamitan pada penghuni rumah CINTA, Aldo bergegas pergi menyusuri jalan terakhir ia pingsan kemarin.
....
Sesampainya di rumah.
Sebuah tamparan keras melayang di atas pipi kanan milik pria dengan luka di kepala.
“Masih berani pulang kamu setelah dua hari tidak pulang!” maki Robi sang ayah saat Aldo memasuki rumah.
Kepala Aldo sontak menoleh akibat tamparan begitu keras itu. Pipinya terasa kebas, bercak darah ke luar dari sudut bibirnya.
“Setiap hari kerjaan kamu keluyuran tidak jelas. Mau jadi apa kamu, hah!”
Aldo mengusap sudut bibirnya lalu menatap ayah nya. “Aldo sakit Pa, nginep di rumah teman.”
Rendy yang tidak lain adalah adik Aldo muncul, “Bohong Pa. Pasti Kak Aldo ikut balapan lagi,” terka Rendy.
Aldo mengepalkan tinju. Kalau bukan adiknya sudah ia sumbat mulutnya dengan bogem.
Robi menatap nanar ke arah Aldo. “Kamu balapan lagi? Aldo, Aldo, sampai kapan kamu begini terus, lihatlah Rendy, kuliah lulus dengan predikat terbaik dan sekarang di usia muda sudah menjadi CEO. Sementara kamu, apa? Menyusahkan orang tua saja. Dimana rasa balas jasa mu pada orang tua? Seharusnya kamu sudah bekerja dan mendekatkan penghasilan sendiri. Tidak menjadi benalu di rumah ini.”
Aldo terpaku mendengar umpatan yang bagaikan makan asam garam itu.
Rendy membuka mulutnya lebar. “Sebenarnya Kak Aldo itu anak kandung Papa bukan sih, kenapa sangat sulit diatur, tidak seperti diriku. Selalu bisa diandalkan orang tua.”
Tangan Aldo mengepal. “Diam mulutmu, banyak bicara!”
Rendy bergidik menatap mata Aldo yang tajam.
“Turunkan tanganmu, Aldo! Apa kamu juga akan menghajar adikmu? Dan kamu Rendy, ini urusan papa. Kamu jangan terlalu ikut campur!”
Rendy pergi setelah mengeprak meja di sampingnya.
Aldo sangat tidak suka dibanding – bandingkan. Aldo langsung pergi dan tak menghiraukan lagi umpatan ayahnya. Langkahnya terhenti ketika ibunya lewat.
“Aldo, kamu kemana selama dua hari ini tidak pulang?” tanya Siska lembut. Tangannya terulur hendak mengusap Aldo. Aldo menepis tangan Siska.
Aldo merasakan sesak di hari. Rasanya ia ingin berteriak meluapkan amarahnya.
“Ternyata sangat sakit,” Aldo mendekap dadanya. Air matanya merembes keluar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
🔵◡̈⃝︎☀MENTARY⃟🌻
Hwaiting Kk
PaMud mampir
2023-07-23
0