Naina mengetuk pelan pintu di depannya lalu membukanya perlahan dan berjalan memasuki kamar itu.
"Nak." Seorang wanita separuh baya yang tengah berbaring di atas tempat tidur tersenyum melihat Naina berjalan mendekatinya.
"Bagaimana keadaan ibu sekarang?" tanya Naina sambil memegang tangan Ibu Farida.
Farida tersenyum.
"Ibu sudah lebih baik sekarang, kamu jangan terlalu mencemaskan ibu nak," jawab Farida pelan.
"Bukan hanya aku, tapi semua orang mencemaskan keadaan ibu," ucap Naina dengan sedih.
Farida berusaha tersenyum.
"Katakan pada mereka kalau ibu baik-baik saja, ibu hanya butuh istirahat yang cukup, setelah itu ibu akan kembali sehat seperti biasanya," ucap Farida sambil mengelus perlahan tangan Naina yang berada dalam genggamannya.
"Iya, aku harap ibu segera kembali sehat karena kita semua membutuhkan ibu." Naina menggeser tubuhnya, mendekati Farida lalu memeluknya erat.
Naina menangis terisak di pelukan Farida.
"Ibu harus kembali sehat karena kita harus berjuang mempertahankan panti asuhan ini, aku tidak sanggup jika harus berjuang sendiri." Naina semakin terisak.
Farida turut meneteskan air matanya sambil menepuk perlahan punggung Naina.
"Maafkan aku ibu, seharusnya aku tidak seperti ini." Naina melepaskan pelukannya, dengan cepat berusaha menghapus air mata di pipinya.
"Seharusnya aku tidak semakin membebani pikiran ibu." Naina tampak sangat menyesal.
"Tidak apa-apa. Ibu mengerti, kamu sudah sangat lelah menghadapi permasalahan ini sendiri."
"Tidak Bu. Aku tidak lelah, aku akan terus berjuang mempertahankan panti asuhan ini, karena nasib puluhan anak-anak panti sedang dipertaruhkan, aku tidak ingin mereka hidup terlantar jika panti ini ditutup nanti."
"Tapi bagaimana caranya nak. Pemilik tanah ingin agar kita segera mengosongkan tempat ini."
"Masih ada banyak cara lain Bu. Aku hanya ingin ibu mendukung apapun cara yang akan aku lakukan nanti."
Farida mengerutkan keningnya.
"Memangnya apa yang akan kamu lakukan nak.?"
"Apapun ibu. Apapun akan aku lakukan asal panti ini tidak ditutup," jawab Naina tegas.
Farida terdiam, dia sedikit terharu dengan tekad kuat Naina yang ingin menyelamatkan panti dari rencana penggusuran yang akan dilakukan oleh pemilik baru tanah tempat panti itu berdiri.
Farida tertunduk penuh penyesalan, semua yang terjadi kini adalah karena kesalahannya di masa lalu.
Seharusnya dari dulu Farida sudah memperkirakannya, dimana jika mantan suaminya meninggal maka semua harta kekayaan termasuk tanah luas tempat dia mendirikan panti ini akan menjadi rebutan semua anak-anaknya.
Kejadian bermula ketika kurang lebih sebulan yang lalu dia kedatangan tamu, Farida terkejut melihat tamunya adalah sesosok wanita dari masa lalunya, wanita yang menghancurkan kebahagiaan dan rumah tangganya. Karin.
"Ada urusan apa kamu datang kesini?" tanya Farida dengan ketus.
Wanita itu tersenyum sinis, dia berjalan dengan angkuh mendekati Farida.
"Kenapa aku disambut dengan tidak ramah, apa kamu masih marah dengan apa yang sudah aku lakukan padamu dulu?" tanya Karin dengan nada yang terdengar meledek.
Farida tersenyum.
"Jangan basa-basi, katakan apa yang membawamu kesini."
Karin kembali tersenyum meledek.
"Aku hanya ingin memberitahu jika suamiku, yaitu mantan suamimu telah mati."
Farida tampak tersentak kaget, namun dia berusaha mengendalikan diri agar Karin mengira kalau sebenarnya dia sudah tidak peduli lagi.
"Lalu?" tanya Farida seolah tak peduli.
Karin tertawa kecil.
"Ya lalu kamu harus meninggalkan tempat ini."
Farida lagi-lagi terlihat kaget.
"Apa hakmu mengusirku dari rumahku sendiri?"
"Rumahmu? Ini memang rumahmu, tapi tanahnya adalah hak anakku." Karin mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
"Apa maksudmu?"
"Sertifikat tanah ini tadinya atas nama suamiku, tapi karena dia sudah mati, maka kepemilikannya aku ganti menjadi nama anak pertamaku." Karin memperlihatkan sertifikat itu pada Farida.
Farida tampak melihat dan dan membacanya dengan serius.
"Apa yang kamu lakukan? Mas Sutowo sudah memberikan tanah ini padaku, aku hanya belum sempat mengambil sertifikatnya saja."
Karin tertawa kembali.
"Itu kesalahanmu, kenapa ketika dia memberikannya padamu kamu tidak segera mengambil sertifikat dan menggantinya dengan namamu." Karin lagi-lagi berkata dengan sedikit mencemooh.
"Itu berarti kamu sangat bodoh, mengingat apa yang sudah terjadi kepada kita dulu seharusnya kamu tahu kalau aku akan melakukan ini, aku masih akan menghancurkan hidupmu." Kali ini Karin berkata dengan sinis.
"Kali ini kamu tidak hanya menghancurkan hidupku, jika kamu tetap berniat mengambil tanah ini maka bukan hanya hidupku yang hancur tapi juga delapan puluhan anak panti yang akan hidup terlantar."
"Aku tidak peduli." jawab Karin enteng.
"Jangan lakukan itu, pikirkan nasib anak-anak itu." Farida membuka gorden jendela yang berada di sampingnya, menunjukkan pada Karin puluhan anak-anak yang sedang bermain di halaman Panti.
Karin tertawa.
"Sudah kubilang aku tidak peduli. Oh iya, ada satu hal lagi, aku baru tahu jika Almarhum suamiku ternyata menjadi donatur tetap panti ini selama puluhan tahun, setiap bulan dia selalu dengan rutin mengirimkan uang yang cukup banyak padamu, aku pikir uang yang dikirim suamiku itu sudah cukup untuk membeli lahan baru dan mendirikan panti yang lebih kecil karena aku lihat penghuninya juga sedikit. Jadi cepatlah pergi dari tanah ini karena anakku berniat membangun sebuah resort di tempat yang indah ini."
"Uang yang dikirimkan Mas Sutowo selalu habis dipakai untuk biaya hidup anak-anak panti setiap bulannya."
Karin tertawa.
"Benarkah? Kalau begitu mulai sekarang kamu harus mencari donatur lainnya karena mulai bulan depan tidak akan ada uang bulanan lagi dari suamiku."
"Kamu jangan lakukan itu, bagaimana nasib anak-anak panti jika uang bulanan itu tidak ada?"
"Pikirkan olehmu sendiri, aku tidak akan menyumbangkan uangku karena aku bukan orang dermawan seperti suamiku."
Farida tampak sangat syok, membuat Karin tersenyum puas.
"Baiklah aku beri kamu waktu sebulan untuk meninggalkan tempat ini," ucap Karin sambil tersenyum.
"Tapi--"
"Aku pergi dulu." Karin berpamitan, padahal Farida masih ingin berbicara dengannya.
Farida menatap kepergian Karin dengan wajahnya yang tampak sangat sedih, tiba-tiba muncul sesosok wanita dibalik pintu.
"Naina." Farida tampak kaget melihat Naina melihatnya dengan lelehan air mata di pipinya.
Farida mendekati Naina dengan cepat.
"Apa kamu mendengar semuanya?" tanya Farida dengan takut.
Naina menganggukan kepalanya.
"Aku mendengar semuanya Bu. Aku tidak sengaja mendengar semuanya." Naina memeluk Farida sambil menangis.
Keduanya menangis tersedu.
"Ibu, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Naina dengan sesenggukan.
"Ibu harus mendatangi anaknya Karin, karena tanah ini atas namanya. Semoga anaknya tidak mempunyai sifat kejam seperti ibunya."
"Kalau perlu ibu bahkan rela bersujud di hadapannya agar dia tidak mengusir kita dari tempat ini," lanjut Farida sambil menahan tangis.
"Biarkan aku ikut Bu. Aku ingin menemani ibu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Ika Ratna🌼
Lagi lagi Aq terpesona dg karyamu Kak Al....begitu rapi tulisannya,setiap kata diketik dg penuh makna👍
2023-01-31
3
Andin Yafa
Trnyata ibunya ceo jahat gt
2022-10-24
0
Sulisayaheaisyah Sulis
masih mengikuti alur cerita
2022-08-18
0