Beberapa Minggu Kemudian
Aaric berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit dengan tergesa-gesa, dari wajahnya tampak jelas bahwa dia tengah sangat cemas dan panik. Dia semakin mempercepat langkahnya karena wajah sang nenek terus terbayang di wajahnya, di belakangnya nampak beberapa orang yang mengikuti, dua orang asisten dan orang-orang kepercayaannya.
Aaric telah sampai di sebuah ruangan VVIP, dengan cepat dia membuka pintu dan menerobos masuk ke dalamnya.
Kedatangannya disambut oleh pelukan sang Ibu dengan wajahnya yang sembab menandakan dia telah banyak menangis.
"Bagaimana keadaan nenek?" tanya Aaric di pelukan ibunya, matanya menatap sang nenek yang berbaring lemas di atas ranjang pasien.
"Penyakit jantungnya kambuh lagi, tapi dokter sudah menanganinya dengan baik, keadaannya sudah stabil," jawab Winda menahan tangisnya.
Aaric melepaskan pelukan ibunya, dia menatap wajah sang ibu yang tampak sangat bersedih.
"Nenek akan baik-baik saja, ibu tenang saja, aku sudah memanggil dokter terbaik untuk mengobati nenek," ucap Aaric menenangkan sang ibu.
Winda mengangguk pelan.
Aaric mendekati ranjang neneknya perlahan, menatap sayu wajah sang nenek yang seperti tengah tertidur pulas dengan alat bantu pernapasan yang menutupi mulut dan hidungnya, dia lalu melihat tangan renta sang nenek yang telah keriput termakan usia, selain dipasangi infusan, tangan itu juga dipasangi berbagai macam alat medis untuk terus memantau keadaannya.
Aaric perlahan memegang tangan sang nenek.
"Nek. Bertahanlah, aku tahu nenek pasti kuat," ucap Aaric dengan menahan tangisnya.
Ini untuk kesekian kalinya dia melihat sang nenek terbaring lemah di ranjang Rumah Sakit karena penyakit jantung yang diidapnya, walaupun terlihat tegar namun sebenarnya perasaannya tidaklah sekuat itu, hatinya hancur melihat tubuh renta sang nenek kembali terkapar lemah tak berdaya.
Dibalik sikapnya yang dingin tak banyak bicara, Aaric sebenarnya sangat menyayangi neneknya, karena hanya nenek dan ibunyalah kini satu-satunya keluarga yang dimilikinya, hanya saja dia memang tak pandai mengeppresikan perasaannya dan terkadang Aaric menyesali semua itu.
Winda menghampiri putranya, mereka berdua lalu menatap wajah sang nenek dengan nanar.
Tiba-tiba Winda teringat sesuatu.
"Nak, kemarilah, ada yang ingin ibu bicarakan." Winda memegang tangan putranya, menarik agar mengikutinya menuju sofa yang tidak jauh dari sana.
Aaric mengikuti ibunya, dia duduk di samping ibunya.
"Nak, kamu tahu kan keinginan terbesar nenek?"
Aaric menarik napas panjang.
"Aku tahu Bu. Nenek ingin aku menikah dan memberikannya seorang cicit sebelum beliau menghembuskan nafas terakhirnya," ucap Aaric dengan penuh sesal.
Winda menganggukan kepalanya pelan dengan mata yang melihat putranya dengan serius.
"Lalu bisakah kamu mengabulkan keinginannya itu?"
Aaric menatap wajah ibunya.
"Maksud ibu?"
"Memberikan nenekmu seorang cicit," jawab Winda cepat.
"Sekarang?"
"Iya, dalam waktu dekat ini, karena kita tidak tahu sampai kapan nenekmu bisa bertahan mengingat usianya yang sudah sangat renta ditambah dengan penyakit jantungnya yang sudah semakin parah, dokter bilang suatu keajaiban jika nenekmu bisa bertahan setahun lagi."
"Apa?" Aaric tampak kaget.
Winda mengangguk.
"Itu benar, karena itu kamu harus segera mengabulkan keinginan terakhirnya, membiarkan nenek pergi dengan tenang."
Aaric tersenyum.
"Jangan katakan ibu ingin aku menikah dalam waktu dekat ini?" tanya Aaric.
Winda mengangguk.
"Sudah kukatakan beberapa kali kalau aku belum berpikir untuk menikah, apalagi dalam waktu dekat ini, aku bahkan tidak sedang dekat dengan seorang wanita pun, bagaimana bisa tiba-tiba aku menikah dan memberikan nenek seorang cicit?"
"Kalau begitu ibu punya satu cara agar kamu bisa memberikan nenek cucu buyut secepatnya tanpa kamu harus menikah."
Aaric mengerutkan keningnya.
"Apa maksud ibu?"
"Dengar, nenek hanya ingin melihat anakmu lahir, anak yang akan menjadi penerus keluarga Widjaja, anak yang akan menjadi pewaris perusahaan setelahmu nanti."
Aaric tampak masih tidak mengerti.
"Jadi ibu punya ide bagaimana kalau kamu menitipkan benihmu saja pada seorang wanita, dengan begitu kamu akan mempunyai anak tanpa harus menikah dalam waktu dekat ini, maka dengan begitu keinginan terakhir nenekmu akan terlaksana."
Aaric langsung menggelengkan kepalanya.
"Begini, apa kamu tahu jika melalui program inseminasi buatan seorang wanita bisa hamil tanpa harus---" Winda tampak gelagapan untuk menjelaskannya.
"Aku tahu apa itu inseminasi buatan ibu," ucap Aaric tiba-tiba.
Winda tampak senang.
"Nah, syukurlah kalau kamu tahu, dengan begitu kamu akan----"
"Aku tidak mau." Aaric memotong perkataan ibunya.
"Apa?" Winda tampak kaget.
"Seperti yang ibu dengar, aku tidak mau."Aaric beranjak dari duduknya.
"Tapi nak--" Winda ikut berdiri, memegang tangan putranya.
"Hanya ini satu-satunya cara agar kita bisa membahagiakan nenek untuk terakhir kalinya." Winda menatap Aaric dengan tatapan memelas.
Aaric terdiam, menatap mata sang ibu dengan lekat.
"Tapi bukan seperti ini caranya bu."
"Apa kamu punya cara lain? kalau begitu beritahu ibu apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Winda.
Aaric terdiam menundukkan kepalanya.
"Bagaimana kalau perkiraan dokter benar, nenekmu hanya bisa bertahan setahun lagi, tidakkah sebelum kepergiannya kita harus mengabulkan permintaannya?" Winda terisak.
Aaric mendekati ibunya.
"Ibu. Kumohon jangan menangis." Aaric memeluk ibunya.
"Ibu tahu ide ibu tadi terdengar konyol, tapi ibu melakukannya karena semata-mata ibu ingin membahagiakan nenekmu untuk terakhir kalinya."
"Aku mengerti bagaimana perasaan ibu, tapi seperti yang ibu katakan, ide ibu tadi tidak masuk akal, bagaimana kita bisa membuat seorang bayi lahir tanpa adanya sebuah pernikahan, ditambah kelak bayi itu akan menjadi penerus keluarga kita, pikirkan apa yang akan orang-orang katakan."
"Jangan pikirkan apa yang akan dikatakan orang-orang, pikirkan saja nenekmu, karena hanya nenekmu yang sekarang paling penting nak." Winda semakin terisak dalam tangisnya.
"Ibu, kumohon jangan menangis," ucap Aaric pelan.
"Ibu hanya putus asa nak, ibu takut nenekmu pergi tanpa kita mengabulkan keinginannya."
Aaric terdiam, dia melirik neneknya yang masih terbaring lemah.
"Jika nenekmu pergi tanpa keinginannya terpenuhi, ibu akan sangat merasa bersalah seumur hidup ibu." Winda masih terus menangis terisak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Bundanya Aulia
br mampir di ceritamu thor semoga bagus nggak sepi jg,,,
2025-03-11
0
Ayas Waty
nikah saja dulu baru inseminasi
2023-09-17
0
itanungcik
ibunya arick gemblung lanjut bestie..
2023-04-09
0