Akhirnya Anyelir dan Nadia bisa meninggalkan ruangan tersebut dengan nafas lega. Walau ada perdebatan kecil yang membuat mereka berdua sedikit tertekan atas permintaan Raju yang meminta kepastian dari Nadia untuk kehadirannya di perusahaan miliknya. Nadia akhirnya mengambil keputusan bisa datang setelah keputusan sebulan pertemuan ini. Hal tersebut membuat Raju meradang karena jangka waktu yang terlalu lama baginya. Dan setelah mendengar penjelasan dari Anyelir dan Gunawan akhirnya Raju mengiyakan walau sedikit rasa kecewa. Karena biasanya ia yang mengatur koleganya bukan ia yang diatur. Namun sedikit pertimbangan akhirnya Raju menghilangkan egonya karena dia akan merasakan kesulitan menemukan orang seperti Nadia dalam menjalankan bisnisnya nya kali ini.
Di dalam mobil Raju dan Gunawan terus saja membicarakan tentang Miss Bee yang menurutnya sangat luar biasa. Baru pertama kali ini mereka menemukan orang yang sedikit sulit di atur. "Gila tu cewe ya, mateng banget cara dia ngejelasin dan rancangan setiap detailnya itu mukus banget menurut, gue." Gunawan terus mengoceh tak henti mengagumi Nadia. "Sayang banget mukanya ketutup gitu udah kaya filem Aisyah aja, iya gak bro?"
"Ahh elo dari tadi yang elo bahas cewe itu terus. Cewe dimana mana semua sama, cuma bisa nyakitin hati laki laki." Perkataan Raju dinilai tidak nyambung oleh Gunawan
"Ehh, mas bro. Gue lagi ngak ngebahas masalah hati wanita atau karakter wanita ya. Gue cuma lagi kagum sama kepintaran tu cewe. Dan tadi elo liat kan dia tuh gak mau bersentuhan sama kita, berarti tu cewe ngejaga banget dirinya." Gunawan terus fokus ke depan tanpa melihat Raju yang bersikap masa bodo dengan celotehan sahabatnya tersebut.
"Tunggu... tunggu... gue ngerasa sura cewe tadi pernah gue denger dah, tapi dimana ya? dan cara dia salaman juga sama banget sama tu orang."
"Udah gak abis abis elo ngebahas tu orang." Kesal Raju yang sekarang fokus ke ponselnya.
Dengan refleks Gunawan memukul tangan Raju yang ada di sebelah kirinya.
Plak
"Gue inget, tuh cewe suaranya sama kaya cewe yang watu itu kita ketemu di acara tunangan pak Brama. Iya... iya, gak salah lagi kayanya itu dia."
Raju dengan cepat menyoroti kepala Gunawan karena rasa panas akibat pukulan Gunawan barusan. "Sinting nih bocah, gue sampe lo pukul pukul gini!" Omel Raju yang ponselnya hampir terjatuh ke bawah
"Ehhh, tunggu... tunggu tapi cewe yang waktu di pesta itu dia gak pake cadar gitu ya? Cantikkk pake banget tuh cewe, gue lupa namanya siapa. Ahhh sial pake lupa segala lagi gue!" Celoteh Gunawan yang tidak direspon oleh Raju.
Mobil mereka terparkir di parkiran perusahaan. Keduanya turun dari mobil dan melangkah menuju lift pribadi khusus CEO. Semua karyawan yang baru selesai istirahat menyapa meeka berdua ketika berpapasan dengan senum penuh hormat. Dan tak banyak para wanita wanita disana menganggumi ketampanan Raju sang CEO yang penuh pesona wajahnya yang belasteran India sangat kentara disertai kulit nya yang bersih kemerahan dan berbadan tegap menjadikannya lelaki paing sempurna di dunia ini.
Sesampainya mereka di ruangan Gunawan meletakan tas keja Raju di atas meja di dekat sofa Yanga da di ruangan. Lagi lagi Gunawan masih membahas kekagumannya kepada Nadia.
"Gue baru liat muka kecewa elo, saat itu cewe nolak keinginan elo, Raj." Gunawan duduk dengan sembarang di sofa berwana putih sambil menaikan kakinya ke atas meja. "Tadi lo liat wajah panik asisten nya saat elo berdebat dengan Miss Bee."
Raju duduk di kursi kerjanya sambil membuka file yang sudah Nadia kirimkan ke alamat email Raju. "Sinting lo gya, dari tadi gak abis abisnya loe ngebahas itu cewe. Udah sana kerja. Pusing gue denger elo ngoceh trus!" Raju melempar kalender meja yang ada di depannya ke arah Gunawan.
"Awww. Dasar cowo mati rasa. Udah lah broo move on dari gegagalan elo yang kemaren. Gak semua cewe sama kaya Calista." Gunawan bangkit dari sofa dan hendak ke luar namun lagi lagi Raju melempar benda yang ada di hadapannya. Kali ini sebuah buku catatan yang di lempar oleh Raju.
"Sekali lagi loe sebut nama cewe itu di depan gue, jangan harap lo bisa kerja lagi disini." Umpat Raju yang sangat marah bila nama Calista sang mantan pacar yang hampir ia nikahi namun gagal karena di hari dimana ia akan menikah Raju melihat Calista dengan teman lamanya berselungkuh di rumah yang akan ia tempati ketika ia menikah dengan wanita yang sangat ia cintai dua tahun yang lalu.
Raju beroacaran kurang lebih hampir 5 tahun saat mereka SMA dan kuliah di univeritas yang sama. Namun Raju tak pernah menyangka bila dirinya akan di selingkuhi dengan teman lamanya yang ia angkat sebagai direktur HRD di perusahaannya.
*
*
*
Malam di kediaman Brama Hertanto. Nadia sudah duduk di meja makan bersama dengan Syakila Marhen, tante Retno dan om Brama. Setalah selesai makan om Brama meminta agar semuanya tidak bangkit dari meja makan. Hal itu membuat semua bertanya yanya kecuali Retno sang istri yang sudah mengetahui hal yang akan di sampaikan oleh suaminya.
"Nadia, kuliahmu sudah selesaikan?" Tanya Brama dengan tangan yang sambil memegang keponakan satu satunya yang ia miliki.
"Iya, om." Nadia menjawab singkat sambil menatap mata om Brama dengan penuh hormat.
"Ada hal penting yang ingin om sampaikan kepadamu." Brama menarik nafas dalam dalam tak ingin perkataan yang ia sampaikan menyinggung hati sang keponakan.
"Apa sih, pah. Yang mau oalah sampaikan ke Nadia langsung ke intinya aja." Marhen yang tak sabar dengan apa yang akan disampaikan oleh papahnya.
"Marhen. Diam dulu, nak! papahmu sedang berbicara dengan Nadia bukan sama kamu" Kali ini Retno tak ingin membuat apa yang ingin disampaikan oleh suaminya terpotong oleh Marhen.
"Iya, maaf!" Wajah serius terlihat dari wajah Syakila dan Marhen begitu pula Nadia.
"Waktu dua minggu lalu sahabat lama om dan juga ayahmu datang berkunjung ke perushaan om. Dia membahas tentang keinginan ayahmu yang pernah meminta kepadanya agar bisa menjaga persahabatan mereka berdua tidak putus, ayahmu pernah meminta agar suatu saat bisa menjadikanmu menari dalam rumah mereka." Brama mentaru nafas dan meminum sedikit air mineral yang ada di hadapannya sebelum menyelesaikan pembicaraannya.
Deg
Hati Nadia mulai dibuat tak karuan. "apakah maksud om Brama?" Pertanyaan itu lolos begitu saja ketika omnya mengatakan hal demikian.
"Maksud papah om Herman meminta Nadia menjadi menatu dari sahabatnya itu? dalam kata lain Nadia dijodohkan sejak keci?" Kini Syakila yang bersuara
"Tunggu dulu, papah belum selesai berbicara, sayang?" Brama mencegah perdebatan dengan anak kesayangannya. "Jadi ketika pertunangan Syakila dan Adrian malam itu, teman om itu membahasnya kembali. Karena pikir om beliau hanya sedang bergura saja saat ia berbicara waktu di kantor, dan ternyata ia mengulang kembali dan menanyakan hal demikian di acara tersebut." Brama melihat ke arah wakah Nadia yang sedikit murung.
"Tapi, Pah. Kasihan Nadia kalau di jodohakn seperti itu. Siapa tahu Nadia sudah punya lelaki pilihan di hatinya." Marhen membela Nadia ketika mendengar perkataan dari sang papah.
"Iya, kenapa kita harus ikut campur untuk masalah hati Nadia, pah. Kalau Syakila jadi Nadia, Sykila akan menolak perjodohan ini." Syakila dengan marah medengar semua itu dan bangkit dari kursinya dan ingin menarik tangan Nadia. Namun hal tersebut terhenti ketika Brama berbicara dengan penuh penekanan.
"Lepaskan tangan Nadia, Syakila. Kamu boleh pergi bila tidak ingin mendengarkan semua. Papah hanya butuh Nadia yang berbicara bukan, kamu!" Brama bangkit dan duduk kembali setelah Syakila meninggalkan meja makan dengan wajah yang marah.
"Nadia, om hanya menyampaikan apa yang pernah ayahmu inginkan dari sahabatnya. Om juga awalnya tidak tahu kalau ayahmu pernah berkata seperti ini kepada keluarga." Brama hanya bisa mengusap kasar wajahnya.
Sebenarnya Brama sudah hampir mengatakan ini sebelum pesta perjuangan Syakila namun snag istri menasehatinya agar semua ini dibicarakan setelah Nadia menyelesaikan wisuda agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan oleh keluarga besar Brama.
Nadia terdiam tanpa memberikan jawaban di hadapan Om Brama dan Tantenya ketika di meja makan, hingga akhirnya Retno yang angkat bicara agar memberikan waktu kepada Nadia untuk memikirkan hal tersebut. Beberapa menit setelah pembicaraan tersebut Marhen melihat Nadia yang termenung di dekat jendela kamarnya. Ia mengetuk pintu kamar Nadia. Nadia sedikit kaget dengan kehadiran Marhen di dalam. kamarnya.
"Abang, ketuk pintu beberapa kali dan ngucapin salam gak ada jawaban, jadi bang Marhen masuk aja dah." Marhen duduk di meja belajar Yanga da di kamar Nadia.
"Iya. Maaf, bang." Jawab Nadia sedikit tak bersemangat.
Marhen mencoba menghibur Nadia dan berbicara dari hati ke hati mengenai pembahasan perjodohan tadi. "Bang, besok Nanad ingin pulang dulu ke rumah ayah dan ibu. Ada hal penting yang harus Nadia selesaikan di sana."
Marhen mencoba memahami apa yang dihadapi Nadia saat ini. "Iya, tapi bang Marhen yang antar ya, kamu jangan pulang sendiri!" Marhen sudah menganggap Nadia seperti adiknya sendiri. Dan rasa khawatirnya saat ini begitu terlihat dimata Nadia.
"Boleh Nadia peluk bang Maren!" Tanya Nadia yang butuh kehangatan di kondisi hatinya saat ini.
Marhen mendekat pada nadia, dan mencoba menjadi pemenang untuk hati Nadia. "Boleh, Nadia. Sejak kamu kecil bang Marhen ka selalu ada dimana kamu membutuhkan sosok abang. Iya, kan?" Marhen mengekus punggung Nadia dengan rasa pilu, karena dia tak pernah merasa tega bila melihat adiknya bersedih seperti ini.
Marhen sejak dulu memang yang ping dekat dengan Nadia. Ketika Nadia masih duduk di sekolah dasar, Maren pernah tinggal bebrapa bulan di rumah orangtua Nadia om Herman. Dia selalu menjadi pelindung ketika Nadia diganggu oleh teman temannya yang jail. Sampai suatu ketika saat Nadia sakit dengan demam yang tinggi sampai dilarikan ke IGD Marhen menangis melihat Nadia yang sempat pingsan ditangannya. Saat itu Marhen berjanji pada sang paman untuk menjadi abang bagi Nadia. Dan saat Marhen kuliah ke luar negri Nadia sempat merasa kehilangan sampai jatuh sakit.
"Maafin bang Marhen ya, Nanad. Bang Marhen baru ada lagi disi kamu baru baru ini. Bang Marhen tahu kesulitan setiap waktu yang kamu jalanjn." Marhen mengenang saat saat ia beranjak dewasa bersama. Dan tak terasa air matanya menetes dan jatuh di punggung Nadia.
"Bang, abang nagis?" Nadia mengendurkan peukkannya dan menatap wajah Marhen. "Iihhh, kok abang ikutan nagis?" Nadia melukis senyum di wajahnya dan membuat hati Marhen sangat bahagia.
"Besok kita ke tempat tempat kita sewaktu kecil ya, Nad. abang pingin beli jajanan di warung mbah Rum. Nasi uduk yang bikin kangen." Kenang Marhen yang menatap wajah Nadia dengan menghapus sisa air mata di pipi Nadia.
"Ihhh curang curhat curhatan berdua aja, akunya gak di ajak!" Tiba tiba Syakila datang dengan melepaskan pelukan Nadia dan Marhen.
"Apa sihhh, mau kepo aja urusan orang." Marehn bangkit hendak meninggalkan Nadia dan Syakila.
Tangan Syakila dengan cepat mencegah kepergian Marhen. Dan akhirnya mereka bertiga melepas ke rinduan saat saat mereka bersama dulu. Suara canda dan tawa memecah isi kamar Nadia. Mengenang masa masa mereka kecil dulu, dan Marhen menyimpan foto foto mereka bertiga di ponsel miliknya. Hal itu ia lakukan saat ia sebelum kuliah ke luar negri. Merka tertawa melihat wajah polos mereka ketika kecil dulu. Marhen yang duduk di kelas satu SMP sedangkan Syakila yang masih sekolah di kelas 5 dasar sedangkan Nadia masih sekolah di kelas 3 SD. Wajah lucu Nadia di foto itu saat dirinya memakan es krim yang dijaili oleh Marhen hingga mulutnya penuh dengan coklat.
Tak terasa mereka menghabiskan waktu dengan begitu lama di kamar Nadia hingga pukul 12 malam. Dan Nadia pun terhibur dengan semua itu sampai ia lupa dengan adalah perjodohan yang dibicarakan om Brama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments