Dijadikan Umpan

Tiga hari kemudian

Ludwig berdiri di depan cermin setinggi dirinya dalam balutan setelan jas rapi. Bukan tuksedo mahal seperti yang pernah dia kenakan dulu, dalam pernikahan gagal bersama seseorang yang membuat dirinya menjadi buronan.

Ludwig mengembuskan napas pelan penuh keluhan. Entah apa yang akan terjadi, karena dirinya menikahi Lilia dengan memakai nama Heinz Lainer. Namun, hanya inilah cara yang paling tepat, agar bisa tetap berada di peternakan itu dengan aman.

“Apa Anda sudah siap, Tuan Lainer?” tanya seorang pelayan yang berdiri di ambang pintu.

Ludwig tidak menjawab. Pria tampan bermata cokelat madu itu hanya mengangguk samar. Dia lalu melangkah gagah, menuju ke tempat di mana dirinya akan melangsungkan pemberkatan pernikahan bersama Lilia.

Di ruangan itu, sudah terlihat Gunther bersama beberapa orang kerabat yang akan menjadi saksi pernikahan. Memang sangat disayangkan, karena sang pemilik peternakan sapi perah tersebut harus menikahkan putrinya dengan perayaan yang teramat sederhana. Entah apa yang ada dalam pikiran Gunther, sehingga dia bisa menerima Ludwig yang dianggap tak jelas asal-usulnya, untuk menjadi suami dari Lilia.

Beberapa saat kemudian, mempelai wanita datang dengan mengenakan dress putih sebatas betis. Lilia tak sempat menyiapkan gaun pengantin indah seperti yang menjadi impian para gadis, karena pernikahan itu sangat mendadak. Namun, meski tanpa gaun panjang menjuntai, Lilia masih tetap terlihat manis dan cantik.

“Hai,” sapa Lilia pelan setengah berbisik, ketika sudah berdiri di samping Ludwig. Dia menatap pria yang akan menjadi suaminya, dengan sorot penuh cinta dan kekaguman.

“Hai,” balas Ludwig datar. Dia menoleh sesaat kepada Lilia, lalu kembali menatap ke depan.

Beberapa saat kemudian, pendeta memulai upacara pemberkatan dan berbagai ritual lain, hingga Ludwig dan Lilia dinyatakan sebagai pasangan suami istri yang sah.

“Apa yang kau pikirkan, Gunther? Kau menikahkan putrimu dengan seorang pekerja peternakan? Lelucon macam apa ini?” bisik Manfred, salah seorang kerabat dekat Gunther.

Gunther tak langsung menjawab. Dia meneguk minumannya, sambil memperhatikan Ludwig yang tengah berdiri di dekat Lilia. Namun, tak ada interaksi selayaknya pasangan suami istri antara dua sejoli tersebut.

Gunther kembali merasa tak yakin bahwa putrinya dan pria itu saling mencintai, seperti yang mereka katakan. Sang pemilik peternakan tersebut hanya menyunggingkan senyuman kecil. “Dia sudah menjadi menantuku sekarang,” ucapnya. “Lihatlah dari bahasa tubuh pria itu. Entah kenapa, aku merasa bahwa dia bukan orang sembarangan seperti yang ditunjukkannya selama ini.”

Manfred turut memperhatikan Ludwig yang tengah menikmati segelas anggur. Dia juga menangkap aura berbeda, dari dalam diri pria yang kini telah menjadi suami Lilia, meski dengan identitas palsu. “Ya. Kau benar. Lihatlah caranya memegang gelas. Dia tidak seperti seseorang yang biasa membersihkan kotoran sapi,” ujar pria berusia sama dengan Gunther tersebut.

“Itulah yang menjadi pertimbanganku. Aku harus waspada, karena Wolfgang Clemens bisa saja membuktikan ancamannya.” Gunther menoleh kepada Manfred. “Lihatlah diriku. Sahabatmu ini hanyalah pria tua yang sudah tidak bisa melakukan apapun, selain menggertak orang lain demi tetap mempertahankan wibawa.”

“Kau pikir Heinz Lainer bisa diandalkan?” tanya Manfred ragu.

Gunther lagi-lagi tak langsung menjawab. Dia memicingkan mata sembari terus melayangkan tatapan kepada Ludwig.

Ludwig sendiri bukannya tak menyadari, bahwa dirinya tengah menjadi pusat perhatian. Namun, dia berpura-pura tak tahu akan hal itu.

“Ya, Kawan,” sahut Gunther pelan, tapi terdengar yakin. “Dia mempunyai gerak refleks yang sangat baik. Hal seperti itu biasanya tidak dimiliki sembarang orang. Aku juga masih penasaran dengan identitas aslinya. Dia seperti dengan sengaja menyembunyikan hal itu dari semua orang.” Gunther kembali meneguk minumannya.

“Kau menjadikan Lilia sebagai umpan?” Manfred menaikkan sebelah alis. Dia mulai dapat menebak ke mana arah pemikiran sahabatnya dekat, yang sudah dirinya anggap seperti saudara tersebut.

Gunther menoleh, lalu tersenyum simpul. Pria paruh baya itu tidak mengatakan apapun.

Menjelang sore, acara telah selesai. Beberapa kerabat dekat Gunther yang menghadiri undangan, telah membubarkan diri dari sana. Lilia pun sudah kembali ke kamarnya dengan ditemani Ludwig.

Lilia terlihat serba salah. Dia tak terbiasa melihat ada seorang pria di dalam kamarnya. Berbeda dengan Ludwig, yang tak merasa aneh lagi saat berduaan dengan wanita.

“Aku … aku akan menyuruh pelayan untuk mengambil barang-barangmu dari lumbung,” ucap Lilia gugup. Dia langsung beranjak ke dekat pintu. Terlebih, saat dirinya melihat Ludwig tengah melepas jas dan hanya menyisakan kemeja.

“Tidak usah,” cegah Ludwig.

Lilia yang sudah hampir memutar gagang pintu, langsung tertegun. Wanita muda itu menoleh. Debaran jantungnya benar-benar tak beraturan, saat melihat Ludwig menatap intens kepada dirinya.

“Kemarilah,” suruh Ludwig. Kebiasaan lama yang selalu dia lakukan, terhadap para wanita yang biasa memuaskan hasrat kelelakiannya saat masih berada di Jerman beberapa tahun silam.

Bagaikan kerbau dicocok hidung, Lilia menuruti ucapan Ludwig. Dia melepaskan pegangannya dari gagang pintu, lalu berjalan mendekat kepada Ludwig. Lilia, berdiri di hadapan pria tampan yang memiliki postur lebih tinggi darinya.

“Aku akan mengambilnya sendiri,” ucap Ludwig pelan dan dalam. Dia semakin mendekatkan diri kepada Lilia, lalu menyentuh paras cantik wanita berusia dua puluh tiga tahun tersebut. Ludwig membelai pipi kemerahan putri tunggal sang pemilik perkebunan itu, menggunakan punggung tangan.

“Aku ….” Lilia terlihat salah tingkah. Gugup, malu, dan segala macam perasaan bercampur aduk dalam dada. “Aku ….” Ucapan si pemilik mata abu-abu itu terhenti, karena Ludwig lebih dulu menciumnya mesra.

Lilia merasakan lagi betapa nikmatnya sentuhan bibir pria tampan asal Jerman tersebut. Seluruh tubuhnya seakan terbakar, seperti beberapa malam yang lalu saat dia takluk dan menyerahkan kegadisan kepada si penghuni lumbung. Senja ini, sepertinya percintaan panas itu akan kembali terulang.

“Aku malu,” ucap Lilia saat Ludwig hendak melucuti pakaiannya.

“Kita hanya berdua di sini. Terhalang tembok yang tak mungkin ditembus oleh pandangan siapa pun,” balas Ludwig setengah membujuk. Dia kembali melu•mat bibir Lilia, hingga wanita muda itu lupa akan segalanya. Lilia bahkan seperti tidak menyadari, bahwa seluruh pakaian yang dikenakannya telah jatuh ke lantai, dan hanya menyisakan tubuh polos berbalut kulit putih mulus.

Matahari terbenam, bersamaan dengan raga indah Lilia yang dibaringkan pelan di ranjang. Kesunyian menjelang pergantian hari, tak berlaku di kamar si gadis yang kali ini telah memiliki suami. De•sahan, erangan, berbaur bersama helaan napas memburu, layaknya seseorang yang tengah mengejar sesuatu agar segera didapatkan.

Untuk kedua kalinya, Ludwig menikmati pelayanan Lilia. Namun, kali ini bukan lagi di atas tumpukan jerami. Dia juga tak perlu bersembunyi atau menahan diri terlalu lama, untuk bisa melampiaskan kebutuhan biologis yang dulu selalu terpenuhi kapanpun dirinya inginkan.

Malam terus merayap. Suasana semakin senyap, seperti tak ada kehidupan sama sekali. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.30, saat Ludwig terjaga dari tidurnya. Dia melihat ke sebelah, di mana Lilia terlelap dengan tubuh yang hanya ditutupi selimut. Entah berapa kali wanita muda harus dipacu melayani keinginan Ludwig, yang memang tak puas dengan satu atau dua kali permainan.

Ludwig menyibakkan selimut, lalu turun dari tempat tidur. Dia mengenakan celana panjang, kemudian berjalan keluar kamar. Ludwig mungkin tak menyadari, bahwa ada sepasang mata yang mengikuti gerak-geriknya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!