Beberapa hari dirawat, kondisi Senja sudah lebih baik hingga diperbolehkan untuk pulang. Sudah dua hari ini Senja beristirahat, tidak melakukan pekerjaan apapun termasuk memasak.
Pagi itu, Senja mendengar Bumi yang memprotes rasa masakan yang tidak seperti biasanya. "Bi? Ini, kenapa rasa masakannya beda?" tanya Bumi dengan wajah mengernyit.
Bi Tijah yang mendapat pertanyaan tersebut, tersenyum tipis. Mungkin, jujur akan lebih baik. Lagi pula, hubungan kedua atasannya sudah membaik. "Jelas beda, Pak. Kan, selama ini yang masak adalah Bu Senja," ungkap beliau membuat Senja yang berada di sana, memejamkan mata.
Bumi seketika melempar pandangan pada Senja yang sedang menunduk. "Senja? Apa yang dikatakan Bibi benar?" tanya Bumi memastikan.
"Benal, Pa. Alta celalu lihat Bunda macak pagi," ucap Arta ikut membenarkan ucapan Bi Tijah.
Mendengar sebuah fakta itu, Bumi terpaku di tempat. Jadi, makanan yang setiap hari dia makan adalah hasil karya dari Senja? Dan jujur saja, lidahnya cocok dengan masakan yang Senja buat.
"Iya. Aku yang masak selama ini," ungkap Senja memilih jujur.
"Kamu jangan marah yang, Bum. Aku takut kamu marah kalau tahu jika selama ini aku yang masak." Senja memohon dan menatap memelas pada Bumi.
Bukannya marah seperti yang Senja perkirakan, Bumi justru terkekeh pelan. "Apakah aku begitu menakutkan di matamu? Sampai kamu selalu berpikir jika aku akan marah?" tanya Bumi merasa lucu.
Senja mengangguk polos. "Memang iya bukan? Apalagi ketika sedang marah," sindirnya.
Ledakan tawa pun terdengar dari Bumi. Hal itu cukup membuat perasaan Senja menjadi lebih tenang dan bahagia. Ini pertama kalinya setelah sekian lama Senja tidak lagi melihat tawa lepas itu.
"Aku lebih mirip siapa?" tanya Bumi lagi dengan tawa yang masih tersisa.
"Milip Hulk," celetuk Arta yang kini membuat Senja terbahak renyah. Sedangkan Bumi, laki-laki itu kini tampak mengerucutkan bibir kesal karena disamakan dengan tokoh animasi yang berperan sebagai antagonis.
"Benar. Papa memang mirip Hulk kalau sedang marah," ucap Senja menyetujui sambil mengacungkan jari jempol nya.
Obrolan pagi itu pun mengalir begitu saja. Keadaan yang semula canggung, kini sudah mencair dan lebih hangat dari biasanya. Pagi itu juga merupakan pagi baru setelah pagi suram ketiganya lewati.
Ketika sore hari tiba, Senja tidak lagi sembunyi-sembunyi untuk membuat menu makan malam. Sejak pukul empat sore, dia mulai berkutat di dapur demi mendapatkan sebuah masakan terbaik untuk suami dan anaknya.
Walau Bumi belum menerima Senja sepenuhnya, itu tidak masalah. Baginya, sikap Bumi yang sekarang sudah cukup membuat Senja nyaman.
Menit demi menit yang berlalu, tidak terasa satu per satu masakan telah matang. Bersamaan dengan itu, deru mobil di halaman depan terdengar, membuat Senja tersenyum senang. "Bumi sudah pulang," gumam Senja segera mematikan kompor.
Ketika Senja menoleh, sosok Bumi muncul dengan kondisi lengan kemeja yang sudah di gulung hingga siku dan kancing kemeja teratas sudah terbuka. Entah kemana dasi yang tadi pagi suaminya itu pakai.
"Mau mandi dulu atau langsung makan?" tanya Senja menyambut kepulangan Bumi dengan sebuah senyuman.
"Mandi dulu saja. Arta mana?" tanya Bumi sambil mengedarkan pandangan.
"Arta di teras belakang. Katanya mau menangkap belalang," jawab Senja sambil mengambil alih tas kerja di tangan Bumi. Untuk pertama kalinya Senja bisa menjadi sosok istri 'sungguhan' selama pernikahannya yang hampir empat bulan.
Kepala Bumi melongok, melewati sisi tubuh Senja untuk melihat ke arah teras belakang dimana sosok Arta dan Susternya terlihat dari jendela kaca. Bumi kembali ke posisi awal dan menatap Senja lekat. "Eum.." Gumaman dari Bumi membuat Senja balas menatap sosok pria di hadapannya.
"Kenapa? Ada yang ingin kamu bicarakan?" tanya Senja tidak ingin mati penasaran.
"Sebenarnya, besok pagi ada undangan pernikahan dari kolega. Aku berniat mengajak Arta ikut," ucap Bumi pada akhirnya.
Senja mengangguk paham dan menjawab. "Baiklah. Besok aku akan mengurus Arta. Kamu tenang saja." Lalu, Senja berniat untuk melangkah karena harus membawa tas kerja itu ke kamar.
Namun, hal itu urung dilakukan ketika Senja merasakan lengannya dipegang dengan begitu pelan, seakan tidak ingin menyakitinya. Senja menatap genggaman tangan itu lalu beralih menatap sang Pelaku.
"Kenapa? Ada yang ingin kamu ucapkan lagi?" tanya Senja dengan kening berkerut heran.
Gumaman panjang pun kembali terdengar. Seperti ada sesuatu yang ingin Bumi sampaikan hanya saja, laki-laki itu tidak bisa mendefinisikan. Mungkin.
"Kenapa sih, Bumi? Katakan saja," gemas Senja hingga bibirnya mencebik.
"Besok aku tidak mungkin membawa susternya Arta. Jadi, aku pikir, lebih baik aku ... mengajakmu ...."
Butuh beberapa detik untuk Senja bisa mencerna ucapan Bumi barusan. Rasanya, begitu aneh dan menyenangkan hampir bersamaan ketika mendengar Bumi yang secara tidak langsung memintanya untuk ikut ke kondangan.
"Langsung ke intinya sajalah, Bum. Jangan berbelit-belit. Maksud kamu mau ajak aku ke kondangan, begitu bukan?" Senja sengaja blak-blakan agar Bumi juga segera menurunkan egonya.
"Iya, begitu. Aku yakin kamu bisa memahami maksud ku," jawab Bumi sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Jelas sekali jika laki-laki di hadapan Senja sedang salah tingkah.
"Iya. Untung aku paham dan mau belajar memahami kamu. Lalu, kapan kamu mau belajar memahami ku?" tanya Senja spontan begitu saja. Dia tidak sabar menunggu jawaban seperti apa yang akan Bumi berikan.
"Aku harus segera mandi," pamit Bumi berlalu begitu saja, mengabaikan pertanyaan Senja yang belum menemui sebuah jawab.
Melihat itu, Senja hanya geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir karena Bumi masih saja meninggikan egonya. Padahal, Senja adalah istrinya.
Sedangkan Bumi, dia segera mengguyur tubuh di bawah pancuran shower. Mendapat pertanyaan dari Senja seperti tadi, nyatanya cukup menganggu isi kepalanya. "Apa aku harus mulai memahami Senja?" gumam Bumi bertanya-tanya.
Nyatanya, walau kondisi tubuhnya sudah lebih segar, pikiran tentang Senja masih saja lekat di kepala. Bumi menghela napas kasar. Dia memang harus berusaha memahami Senja sebagai istrinya.
Setelah lengkap memakai pakaian, Bumi berniat keluar menuju meja makan. Namun, suara notifikasi pesan masuk yang bersumber dari ponselnya, berhasil mengalihkan seluruh perhatian.
Dia memutuskan meraih ponsel yang tergeletak di atas kasur dan melihat sebuah pesan yang dikirim oleh Naura, adik tiri Deandra.
Naura:
Mas? Bagaimana kondisi Mbak Senja? Sepertinya, malam ini aku berniat datang untuk menjenguknya.
Bumi membaca pesan yang Naura kirimkan padanya. Dengan tanpa minat, Bumi pun mengetikkan balasan.
Tidak perlu datang. Senja sudah sehat. Lebih baik kamu pikirkan kuliahmu agar cepat selesai.
terkirim.
Bumi menghela napas pelan dan mematikan ponselnya. Hari ini dia tidak ingin diganggu karena pesan dari Naura yang selalu membuat kondisi moodnya memburuk dadakan.
Semenjak hari dimana Pak Theo meminta bantuan untuk membayar uang kos, Naura sering sekali menghubungi Bumi dan itu cukup menganggu karena pembahasan selalu di luar konteks dan menjerumus pada pertanyaan tidak penting.
"Papa! Makan!" Pekikan dari luar kamar itu membuat Bumi tersadar. Dia tersenyum kala mendengar suara sang Putra dan bergegas keluar.
"Yuk, kita makan bersama." Lalu Bumi membawa Arta dalam gendongan, menuruni tangga untuk sampai di meja makan dimana Senja takhta menunggu dan duduk dengan manis di sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Tri Handayani
semoga bumi segera menerima senja seutuhnya'sblm uler keket datang mengacaukan semua...semangat senja'menggapai cintamu'next thorrrr
2023-07-21
0