Kekacauan Yang Terjadi

LUNA terkejut serta tangannya bergetar saat ia jatuh ke lantai, melihat Daniel dan Megan kini berdiri di hadapannya. Pandangan Luna bergejolak antara kekecewaan, amarah, dan kehancuran yang ia rasakan. Kedua orang yang pernah ia percayai begitu dalam, memandangnya dengan ekspresi yang penuh rasa iba dan mengasihani.

"B-bagaimana kalian bisa mengkhianatiku seperti ini?" desis Luna dengan suara serak, mencoba mengatasi kekhawatiran dan sakit hati yang merasuki dirinya.

"Luna, aku...," Daniel mencoba membuka mulutnya, tetapi terbata-bata. Tatapannya terlihat ragu dan kebingungan.

"Jangan coba-coba berbicara denganku mas!" potong Luna dengan suara tajam. "Kamu sudah mengkhianatiku. Apa yang sebenarnya kalian berdua pikirkan sih?!"

"Megan, bicaralah padanya!" ucap Daniel, mencoba memindahkan beban tanggung jawab kepada Megan.

Megan ragu namun akhirnya menuruti perkataan Daniel juga, ia menjulurkan tangannya, berusaha untuk menyentuh lengan Luna dengan lembut. "Luna, a-aku minta maaf. Ini semua terjadi gitu aja, tanpa disengaja. Aku tahu ini sulit buat kamu, tapi aku berharap kita bisa mencari jalan keluar bersama."

Luna menolak sentuhan Megan dan berdiri, matanya penuh dengan kemarahan. "Tanpa disengaja kamu bilang?! Gimana kamu bisa meminta maaf dengan begitu mudahnya, Megan? Apakah kamu bahagia merusak pernikahan orang lain?"

"Mas Daniel yang memilihku, Lun," sahut Megan, mempertahankan sikap tak bersalahnya. "Aku nggak bisa kamu salahin atas pilihan mas Daniel!"

Daniel mendengus kesal. "Luna, kita perlu bicara tentang ini. Aku tahu aku melakukan kesalahan besar dan aku menyesal. Tapi tolong dengarkan penjelasanku dul—"

"Mas! Apa kamu bisa berhenti dengan semua omong kosongmu itu?" Luna memotongnya dengan tegas. "Kamu nggak pernah memikirkan bagaimana hidupku setelah ini? Bagaimana dengan anak kita, Aura? Kamu nggak memikirkannya, Mas Daniel?"

Daniel menatap Luna dengan penuh keputusasaan. "A-aku masih cinta sama kamu, Luna. T-tapi aku juga nggak bisa ninggalin Megan gitu aja untuk sekarang. Aku berharap kita bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik-baik, oke?"

"Cinta?" Luna tertawa pahit. "Cinta nggak seharusnya merusak dan menyakiti orang lain kayak gini, mas! Kamu itu sudah mengkhianatiku disaat aku paling butuhin kamu! Aku nggak tahu lagi siapa kamu sebenarnya, mas!" Hatinya sudah dipenuhi dengan perasaan kecewa, amarah, dan kehancuran. Luna merasa dunia yang ia kenal sedang runtuh di hadapannya. "Terus kamu dengan entengnya bilang kalau nggak bisa meninggalkan Megan, kenapa? Karena dia mengandung anakmu sekarang?!"

Megan mendegus sudah kehabisan kesabaran, padahal ia sudah cukup bersabar menunggu Daniel selama ini dan berpura-pura di depan semua orang, namun ia sudah tidak tahan lagi dengan Luna saat ini, toh dia juga sudah mengetahui semuanya.

"Kamu mendengar pembicaraan kami sebelumnya?" tanya Daniel mengerutkan dahinya.

Tanpa ingin menjawab, Luna memutuskan untuk pergi dari situasi yang membingungkan ini. Namun, sebelum ia dapat melangkah, telepon genggamnya berdering. Ia menjawab panggilan tersebut dengan perasaan cemas yang memenuhi dirinya.

"Ya, halo?" Luna menjawab dengan suara gemetar.

"Bu Luna, ini pegawai hotel."

"Ada apa ya?"

"Maaf saya ingin memberitahu, tadi ada yang baru saja melaporkan bahwa ada seseorang yang membawa pergi Nona Aurora Megenta, apakah benar itu putri Anda?"

"I-iya, dia putri saya. Apa yang terjadi?!"

"Mereka membawa Nona Aurora dan pergi dengan mobil hitam ke arah timur, saya pikir itu adala—" suara pegawai hotel mengabarkan dalam keadaan panik.

Luna segera mematikan panggilannya, merasa kakinya lemas mendengar berita mengerikan itu. Ia melihat ke arah Daniel dan Megan, mempertanyakan jika mereka berdua ada hubungannya dengan hilangnya Aura.

"MAS!" Luna berteriak, matanya memandang tajam pada suaminya. "Apa ini permainan kalian? Apakah kalian yang menyuruh orang untuk membawa pergi Aura?" pikiran Luna sudah berkecamuk tidak karuan, kepalanya sedang tidak jernih untuk memikirkan apa yang benar dan apa yang salah.

Daniel dan Megan saling pandang kebingunan, mereka benar-benar tidak mengerti kali ini. Luna merasakan kemarahan yang membara dalam dirinya.

"Ada apa dengan Aura?!" Daniel berkata dengan suara yang ikut bergetar. "Percayalah, aku nggak tahu apa-apa tentang ini."

Luna tidak bisa lagi mempercayai kata-kata Daniel, meskipun itu kejujuran yang terlontar dari bibirnya, semuanya menjadi semu saat ini. Ia merasa seperti telah terperangkap dalam jaring tipu muslihat dan pengkhianatan yang rumit. Namun, saat ini, yang terpenting adalah menemukan Aura sebelum terlambat.

Dengan air mata yang sudah tak bisa ia bendung lagi, Luna berusaha menenangkan diri. "Aku nggak pengen percaya, tapi kalau perkataanmu benar, mas. Bantu aku mencari Aura dan setelah ini, aku akan mendengarkan penjelasanmu..."

Tanpa menunggu jawaban dari Daniel, Luna bergegas keluar dari tempat itu, menggunakan semua kekuatan yang masih tersisa untuk mengesampingkan rasa sakit yang ia rasakan.

Kemudian Luna melihat Megan yang berdiri di hadapannya, menawarkan untuk ikut dengannya. Namun, Luna menolak dengan tegas. "Ini itu masalah keluarga kami, Megan. Aku nggak mau ada orang lain ikut campur dalam masalahku," kata Luna dengan suara dingin.

Megan mencoba membela diri, "Tapi Luna, ini juga berkaitan dengan kehidupan Aura, dia sudah kuanggap seperti anakku sendiri."

Luna menegaskan keputusannya, "Aura itu anakku, bukan anakmu! Kami akan mengurus ini sendiri!"

Megan merasa kesal, tetapi Daniel mengambil langkah berani. "Megan, memang lebih baik kamu pulang duluan aja," kata Daniel dengan lembut. Megan memandang Luna untuk terakhir kalinya sebelum terpaksa pergi keluar dari ruangan.

Perjalanan menuju hotel penuh dengan ketegangan. Luna dan Daniel duduk di diam di kursi belakang mobil taxi, mata mereka saling bertemu hanya sesekali. Tak ada sepatah kata yang terucap, suasana di dalam mobil terasa sangat canggung. Seiring dengan gesekan gantungan yang bergemerincing di dalam mobil taxi, mereka akhirnya sampai dengan pikiran yang penuh kekhawatiran dan keraguan.

Luna merasa panik dan khawatir, menanyakan kepada pegawai hotel tentang situasi yang baru saja terjadi segera setelah memasuki gedung hotel. Dengan wajah tegang, pegawai hotel menjelaskan bahwa mereka sudah memanggil kepolisian untuk menindaklanjuti penculikan Aura.

"Maaf, Bu Luna, kami telah melaporkan kejadian ini kepada kepolisian. Mereka sedang dalam perjalanan untuk melakukan penyelidikan," kata pegawai hotel dengan nada prihatin.

Luna terduduk di sofa hotel, menangis dengan kelopak matanya yang basah oleh air mata. "Kenapa semua masalah datang secara tiba-tiba? Aura, apa yang terjadi denganmu, Nak?" gumam Luna dalam lirih.

Tanpa disadari oleh Luna, Daniel mengambil sebuah telepon di saku celananya dan merespons panggilan yang masuk. Ia berjalan menjauh dan dengan diam-diam mengangkatnya, Daniel mendapat panggilan dari orang misterius, di ujung telepon sana terdengar seseorang mengancam akan melakukan hal buruk pada Aura jika mereka tidak mengikuti permintaannya.

"Sekarang dengarkan baik-baik, Daniel. Aku mengambil putrimu sebagai jaminan. Aku akan mengembalikannya jika kamu memberikan uang tebusan sebesar 1 miliar rupiah ke dalam tas warna hitam di pagar taman kota ini. Jangan mencoba melibatkan polisi atau nasib baiknya akan berakhir buruk," kata suara misterius, penuh dengan nada ancaman.

Daniel merasa jantungnya berdegup kencang. Dia tahu bahwa dia harus melaporkan telepon ini kepada polisi, tetapi takut bahwa Aura akan menjadi korban jika dia melakukannya. Dia merasakan tekanan menyesakkan dadanya, dihadapkan pada pilihan yang sulit.

Terpopuler

Comments

Davina Malik

Davina Malik

Bisa ya Luna gak jambak Megan, kondisi anaknya yang bikin semua makin rumit.

2023-07-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!