Teringat

Malam semakin larut dengan keheningannya. Di dalam tenda tahanan Al Bahri termenung. Dia masih teringat jelas perkataan Ratu Elish tentang dirinya tadi siang.

“Sudah kuduga, Engkau adalah Putra Arthur III dari Atlantis Kingdom. Barusan aku hanya ingin memastikannya... Rambut putihmu dan mata hijau cemerlang itu, postur tubuh hingga SIFAT KALIAN BERDUA!! Sangat mirip.”

Karenanya dia teringat akan Ayahnya, King Arthur III yang belum pernah dilihatnya. Begitu pula Ibundanya, Queen Phalixena. Namun bukan mereka yang tidak pernah ditemuinya yang membuat hatinya sakit dan dadanya sesak. Karena sosok yang sangat dicintainya namun telah tiada juga pernah mengucapkan hal yang sama.

Sebuah memori samar melintas di kepalanya. Sebuah percakapan antara Pamannya Sultan Harits yang telah berkorban untuk dirinya dengan Bibinya, Valide Halime Hatun yang kini tidak diketahui keberadaanya.

“Oh Harits, lihatlah anak yang malang ini! Matanya hijau dan rambutnya putih. Persis seperti Ayah dan Ibundanya.”

“Iya, kalau rambutnya yang putih dan matanya yang berwarna hijau zamrud ini turun dari ayahnya, sedangkan garis wajahnya yang tangguh dan tampan ini, sudah pasti dari Ibundanya.”

Tanpa disadari air matanya telah menggenang sedari tadi hingga sudah tidak dapat dibendung dan turun membasahi pipinya. Al Bahri menangis dalam diam. Berbagai peristiwa yang menyakitkan terputar ulang. Wajah-wajah orang yang dikasihinya melintas tanpa ada yang menghentikannya.

Paman Stephen yang merawatnya sedari kecil, yang mengajarkan banyak hal kepadanya. Yang sering menemaninya bermain dan berpetualangan. Saat-saat terakhirnya sebuah tentakel gurita raksasa melemparkannya ke karang. Air mata mulai mengalir, membasahi wajahnya yang tampan. Mengalir hingga ke rahangnya yang kokoh. Dan turun membasahi tanah. Seakan tak mau berhenti memori masa lalu itu terus mengalir.

Paman Harits yang telah mengasuhnya. Mengajarkannya makna kepemimpinan dan kekuasaan, yang senantiasa melindunginya dari segala marabahaya. Dia berkorban untuknya. Air matanya mengalir semakin deras.

Bibi Halime yang mengajarkannya arti kehidupan, mengajarkan agama yang menjadi panduan hidupnya, yang selalu menyelamatkannya, mengajarkannya cara bertahan hidup. Pertemuan terakhir mereka. Bahkan Al Bahri tidak tahu apa yang terjadi. Saat terbangun dia sudah ada di dalam dinding es. Al Bahri sudah tidak tahan lagi kini ia terisak pelan.

Sejenak dia tersadar, itu semua sudah berlalu. Tyrant King tidak akan mati dan tahtanya tidak akan kembali hanya dengan tangisan.

Al Bahri melihat sekeliling. Mengusap wajahnya. Menghilangkan bekas tangisan. Tenda Tahanan ini adalah kerangkeng besi yang dimasukan ke dalam tenda yang ukurannya tidak terlalu luas. "Baiklah Bismillah!" Ucap Al Bahri dalam hati. Ia mencengkeram erat jeruji besi dengan kedua tangannya dan dengan kepasrahan diri Al Bahri mengucapkan.

“Subhanallahu wa bi hamdihi, Subhanallah il adzim.”

Jeruji besi yang dicengkeram Al Bahri menjadi terasa lunak dan dengan mudah dibengkokkan. Membuat celah besar diantara jeruji yang cukup untuk dilewati oleh badan Al Bahri.

Al Bahri menyibak kain tenda. Sinar rembulan langsung menerpa wajahnya. Pertanda bahwa malam hari telah tiba. Suasana yang hening dan senyap. Al Bahri menengok ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada Penjaga yang memergokinya.

Letak Tenda Tahanan itu berada tepat di belakang Tenda Utama. Al Bahri yang sudah mengetahui bentuk Tenda Utama, mengendap-endap menuju bagian belakang Tenda Utama yang berjarak lima meter dari Tenda Tahanan. Susah payah. Al Bahri dapat menjangkau Tenda Utama tersebut.

...〰️AL BAHRI : OCEAN SULTAN〰️...

“Sudah cukup, RAIZANA!!”

“Sudah cukup, kamu menghina kehormatan dan keagungan bangsa kita!” Ucap Ratu Elish. Raizana hanya terdiam, Dia tidak menyangka bahwa Ibunya sampai tega menamparnya.

“Kita tidak terbiasa bergantung kepada bangsa lain. Dari dulu kita memang sudah ditakdirkan hidup seperti ini! Kita akan bangkit dengan kekuatan kita sendiri. Jangan mengharapkan ku untuk mengizinkan temanmu itu untuk campur tangan dalam urusan bangsa kita!”

“Tapi Bu! Bukankah Ayah Al Bahri juga teman Ibu!” Kata Raizana dengan segenap keberaniannya.

“Raizana! Itu hanyalah masa lalu. Kini bangsanya lah yang menyerang kita! Apakah kamu tidak sadar! Bagaimana mungkin dia tega melawan bangsanya sendiri? Lagipula apakah kamu berharap dengan pemuda yang bahkan tidak memiliki otot di tubuhnya. Bahkan wanita paling lemah di suku ini jauh lebih gagah dan perkasa dibanding dirinya!” Ucap Ratu Elish tanpa menyadari bahwa Al Bahri mendengarkan percakapan mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!