Si Manipulatif

Ariel akhirnya menggiring Davina kembali masuk ke dalam club, lalu dia kembali lagi dan duduk di depan aku dan Arka.

“Mas Arka,” Ariel tersenyum ke tunanganku. Pelipisnya sudah di tutupi kain kasa.

Namun, perasaanku langsung tidak enak.

“Ya?”

“Kok Mas Arka tidak kelihatan cemburu waktu aku dan Bu Ariel menikah?”

Aku menghela nafas.

“Aku percaya Ariel,” jawab Arka.

Rasanya ingin kupeluk pria di depanku ini.

Tapi Ariel malah melirikku dan tersenyum licik.

“Oke,” desis Ariel, “Maaf ya Mas, anggap saja pernikahan bisnis. Pakai kontrak, demi kesejahteraan seluruh keturunan,” desis Ariel.

Bisa juga dia berkalimat bijak.

“Aku tidak terlalu mengerti yang terjadi, tapi aku akan mencoba menerima. Selama kalian tidak macam-macam.” Desis Arka. Jelas ada penekanan di kalimat ‘macam-macam’.

Namun Ariel hanya tersenyum manis ke arah Arka.

“Mas Arka kerja di Arghading kan?” tanya Ariel lagi.

Astaga ini anak, aku tahu ke arah mana kalimat selanjutnya!

Aku menendang-nendang sepatu Ariel untuk menghentikannya berbicara.

“Sakit, Bu. Jangan tendang-tendang.” desisnya padaku.

Sialan.

“Kenapa, Ariel?” Arka menatap Ariel dengan tajam.

“Bisa buatkan aku akses untk menemui Raden Ar-“

“Baron. Kami mau bertemu Baron,” potongku. Bisa dihabisi preman kalau sampai Arka tahu nama sebenarnya Baron adalah Raden Aryaguna Ranggasadono. Nama itu terlarang untuk diketahui, termasuk identitasnya bahwa dia adalah keluarga kami. Karena berhubungan dengan keselamatan beliau.

Pekerjaannya memungkinkan banyaknya musuh yang dendam, belum hubungannya yang dekat dengan dunia hitam dan masa lalunya yang kelam. Bisa jadi dia menghilang juga agar tidak ada yang mengganggu keluarga besar kami.

Atau... mungkin juga sudah disebarkan berita kalau Raden Aryaguna sudah meninggal. Jadi dia menggunakan nama ‘Baron’ agar bisa hidup tenang.

“Baron?” tanya Ariel.

“Kenapa kamu mau bertemu Baron? Tadi Ariel juga sudah tanya,”

Dan Ariel pun terdiam, menyadari kalau nama itu sensitif.

“Baron orang yang berbahaya. Baron, Artemis, Ivander, Griffin... semuanya tukang pukul Boss ku. Eksekutor. Hal yang aneh kalau kalian ingin berbicara dengannya.” Kata Arka.

“Baron pernah berhubungan dengan salah satu keluarga kami. Kasus penculikan. Pihak keluarga ingin kami mengusut. Jadi kami mau tahu keterangannya.” Aku berusaha sebisa mungkin menutupi hal ini.

“Aah, karena itu kamu bisa memasukkan aku ke Arghading? Karena kamu kenal Baron. Apa dia tersangka kasus penculikan?”

“Hem... itu yang kami mau tahu.”

“Kupikir tadinya kamu saudaranya loh,”

“Makanya kamu memancingku dengan pertanyaan barusan? Duh kamu nih,”

“Aku bisa saja buatkan Kartu Pass untuk kalian. Tapi Ariel jangan pakai seragam sekolah, bisa mengundang pertanyaan,”

“Makasih, Sayang.”

“Kamu tinggal minta padaku tadi, nggak usah pakai geret-geret Ariel ke sini.” Desis Arka.

“Bukan itu-“

“Baiklah!” Ariel berdiri dan mengulurkan tangan ke arah Arka. “Makasih ya Mas. Nanti kalau sudah pulang pacaran, saya pinjam Bu Guru sebentar untuk mengatur pertanyaan. Masalah keluarga agak ribet soalnya mas. Sensitif, pakai ada penculikan segala. Ngerti dong ya Mas Arka?”

Astaga, kata-katanya selangit!

**

Begitulah, setelah aku dan Arka makan malam, Kiss perpisahan, aku menunggu Ariel di Lobby.

Aku tidak masuk ke Club.

Takut.

Iya, terus terang saja aku takut masuk ke tempat-tempat begituan.

Lebih ke takut kalau aku menemukan salah satu muridku ada di sana. Beban moralnya tak terkira. Apalagi kalau aku sampai menemui Ariel sedang beradegan aneh-aneh... rasanya aku tak punya harga diri sebagai guru.

Aku bersikap judes ke orang-orang juga karena hal ini. Kalau kalem, bisa jadi aku akan ditindas. Sok galak saja sekalian. Yang penting Arka tahu bagaimana sifatku yang sebenarnya.

“Bu Ariel,”

Aku mengangkat kepalaku, tampak Davina menghampiriku sambil cengengesan.

Aku akan berbicara empat mata dengannya kalau ada kesempatan di sekolah besok. Aku tidak akan bilang ke Jenny dulu. Terus terang saja, sebagai Guru BK, Jenny kurang bisa dipercaya. Apalagi Jenny terang-terangan menunjukkan ketertarikan yang intens terhadap Ariel.

Davina meletakkan tas kertas di sebelahku.

“Bu Ariel,” ia berbicara dengan suara rendah yang sangat manis terdengar di telingaku. “Mohon maaf ya bu atas kejadian hari ini. Toloooong saya mohoooon, anggap saja kita tidak bertemu hari ini. Bagaimana?”

Aku menatapnya tajam.

Lalu melirik ke bawah, ke arah tas kertas yang desainnya tampak mahal, lalu kembali menatapnya tajam.

Ternyata tingkahnya sama saja dengan bapak-ibunya. Manipulatif.

Yaaa, anak-anak memang menyerap 10x kebaikan dan 10x keburukan orang tua sih.

Entahlah sudah diteliti ahli atau belum pernyataan ini.

“Davina, padahal saya sudah mau menyembunyikan kenyataan menyedihkan yang baru saja kamu tunjukkan di depan hidung saya. Tapi kini kamu malah semakin mengecewakan saya. Kamu pikir saya bisa disogok dengan ini?” aku menunjuk ke arah tas kertas mahal. “Tolong jangan bikin saya marah,”

Kulihat Davina ternganga, alu menelan ludahnya.

Wajahnya tampak semakin pucat.

“Saya tolak ya. Sana pulang, sudah malam...” aku mengibaskan tanganku. Lalu Davina buru-buru mengambil tas kertas itu, dan menunduk kepadaku. Lalu ia berjalan terburu-buru ke pintu keluar.

Kulihat payar ponselku, kuscreenshot. Di sana jam dan tanggal kejadian, agar kalau terjadi macam-macam, aku bisa minta rekaman cctv gedung di jam dan tanggal yang sama dengan screen-shoot ponselku.

Kebiasaan ini sudah sering kami, para guru Bhakti Putra, terapkan. Sejak salah satu pejabat datang ke sekolah, marah-marah karena anaknya tidak diluluskan padahal sudah menyogok sang guru supaya mendongkrak nilai anaknya.

Si guru membela diri kalau ia tidak menerima apa pun dari si Ortu. Kalau menerima pun ia akan tetap bersikap profesional. Tapi wali murid si anak bersikeras kalau yang dikeluarkan agar anaknya lulus itu ratusan juta sesuai permintaan si guru. Hasil akhirnya, karena tidak ada cctv dan tidak ada bukti pesan digital, Guru yang bersangkutan dipenjara, dan anak itu sudah jadi almamater kini.

Kejadian itu sangat berbekas di benak kami.

Walau pun hanya dipenjara beberapa minggu, karena akhirnya tidak terbukti kalau ia menerima gratifikasi jadi dibebaskan, namun beberapa minggu itu sudah merupakan pukulan mental yang sangat traumatis.

Sejak itu kalau ada hal aneh-aneh yang di luar nalar terjadi, terutama yang berbau gratifikasi, kami terbiasa mencatat tanggal dan waktunya. Disertai kronologi kejadian.

Kami jadi guru bukan sekedar berharap cuan. Kami berusaha membimbing anak bangsa, mengajari mereka mengenai dunia, membantu orang tua mendidik anak-anak mereka agar berguna bagi bangsa dan masa depan mereka kelak. Namun kami tidak bisa mengawasi semua anak. Apalagi yang usianya sudah remaja, gerak mereka sangat dinamis, pergaulan mereka lebih luas, mereka ingin tahu segalanya. Maksudnya segalanya ya... segala-galanya. Jadi yang bisa kami lakukan adalah menjalankan SOP semampu kami, sekuat tenaga. Kalau tenaga habis yaaaa... yang penting kami sudah memberitahu apa yang seharusnya mereka lakukan.

Tapi seringkali opini kami tidak didengarkan, sih.

Pengalamanku di SMA Bhakti Putra, di mana dari yang terkaya sampai yang termiskin ada dan bercampur baur di sini, untuk soal kenakalan remaja tidak dibedakan dari status sosial.

Ternyata sama saja.

Yang membedakan hanya medianya.

Yang satu pakai amer oplosan, yang satu pakai vod ka 3 juta per botol.

Maboknya sama saja, merugikan orang.

Pas masuk ke SMA Bhakti Putra, menggunakan beasiswa, dia masih anak baik-baik. Begitu di sekolah bergaul dengan anak hedon, malah tingkahnya jadi maksa dan aneh.

Ada juga anak orang kaya hidup mewah dari lahir, pas masuk ke Bhakti Putra malah jiper karena di sini banyak yang lebih kaya. Bahkan anak Boss bapaknya juga sekolah di sini. Akhirnya jadi insecure terus-terusan sampai lulus.

Lalu kasus anak baik-baik, calon penerus perusahaan, pas masuk ke sini malah jadi kriminal, itu juga banyak.

Hidup ini misterius, dan sekolah adalah salah satu tempat terbaik untuk bersosialisasi.

Di sini diri sejatinya anak dibentuk, jati diri mereka diolah, pikiran mereka dibuka, bahwa dunia jauh lebih besar dari daun kelor.

Aku pun menunggu Ariel sambil memainkan ponselku.

Dan sekitar beberapa menit kemudian dia pun muncul sambil cengangas-cengenges.

“Yuk?” tanyanya.

Yuk? Yuk Apanya?

Bikin kesal saja.

Terpopuler

Comments

L A

L A

terpujilah wahai engkau
ibu bapak guru 🎤🎶🎵

2024-04-23

0

iin

iin

Salah... yg bener menyerap 10x kebaikan & 100x keburukan ortunya 😁

2024-01-10

0

ȋ⏤͟͟͞Rἅyαyu⚜𒈒⃟ʟʙᴄ

ȋ⏤͟͟͞Rἅyαyu⚜𒈒⃟ʟʙᴄ

mesin fotocopy paling canggih ya anak jawabannya, kita berbuat baik anak ngikut kita berbuat hal negatif anak pun ikut, intinya emang pendidikan di mulai dari rumah, gimana kita ngebentuk anak bisa jadi bahan saat anak ke luar dari lingkungan rumah

2023-08-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!