Memaksaku

Saat itu kami sedang membicarakan mengenai Lokakarya yang diadakan sebagai kegiatan Guru Penggerak Angkatan 7. Semua bersemangat kecuali aku.

Aku kurang suka berpartisipasi di acara pameran. Walau pun angka kreditnya lumayan banyak. Tapi Pak Rendi bilang, aku wajib ikut.

“Coba kita pikir, apa sih yang terkenal dari Jakarta Pusat?” Ini temanku, Guru Utama, Pak Zair. Usianya 45 tahun, dia Guru Fisika untuk kelas 10 dan 11. Tampangnya lumayan ganteng kayak CEO di novel idaman. Kalau jalan di keramaian, banyak yang minta tandatangan dikira artis drakor nyasar.

“Kita kan SMA Swasta, kok masih ikut lokakarya juga sih?” keluhku.

“Nggak apa lah Riel, meramaikan, lumayan angka kreditnya!” Ini temanku juga, Anita, Guru Matematika untuk kelas 10.

“Kan jumlahnya sama dengan webinar 2 jam,” aku masih malas.

“Lu kelewat Introvert,” desis Yudhis, Guru Muda, mengajar Penjas dan Bahasa Inggris. Iya dua matpel sekaligus. Karena belum ada sekompetitif dia di bidang beladiri dan penjas, Dia juga masuk kategori Ganteng. Masih 32 tahun usianya. “Gue pernah denger kalo setiap wilayah DKI tuh punya ciri khas masing-masing.”

“Jakarta Pusat apa’an khasnya? Kantor Pemerintahan? Lo mau majang maket gedung KPK di stand?” tanyaku.

“Kenapa harus KPK, lo nyindir siapa, heh?” Yudhis menunjuk hidungku, menuduhku.

Aku menggigit telunjuknya.

Dia langsung menariknya sambil meringis, Sakit Riel!Kayak ponakan gue kalo gue salah beliin pocky. Maunya yang stoberi gue beliin yang coklat. Gitu tuh, dia nangis sambil gigit gue,”

“Ponakan melulu, nikah sana!” gantian Pak Zair yang menyindir Yudhis.

“Dhis, udah kesebar loh dirimu ada main sama murid kelas 10 yang nggak bakalan gue sebut namanya di sini,” kata Anita

“Masih jauh ya jalan menuju lulus?” Yudhis malah bertanya begitu.

Aku memukulnya dengan map silabus.

“Hai Gaeeeees!” Jenny datang sambil menggeliat-geliatkan badannya ala Puteri Indonesia. Dia guru Bimbingan Konseling dan Dokter UKS.

Anita langsung membuang pensil mekanik ke atas mejanya dengan sebal, “Ck! Dia ikut ya...”

“Ya jelas lah,” kataku sambil berkacak pinggang ke arah Jenny, “Udah telat, tebar pesona. Bikin gue laper bawaannya,” aku mengomeli Jenny.

“Nggak usah galak-galak dong Riel, kayaknya lo harus ikut sesi Anger Management sekali-kali, judes lo kelewatan.” Sahut Jenny sambil mengibaskan tangannya di depan mukaku.

“Anger management juga bakalan buyar kalo psikolognya elu!” Omelku.

“Sikap seperti Ariel itu diperlukan mengingat siswa-siswi yang kita ajar itu masing-masing  gayanya udah kayak paling bener sejagad. Ada berapa sih murid di sini? 300? 400?” kata Yudhis. Tumben-tumbenan dia membelaku.

“duuuh jangan dong,kita kan guru. harus bisa dijadikan panutan dan budi pekertinya harus bisa dijadikan teladan,” kata Jenny dengan gaya centilnya.

Kami diam sambil menatapnya dari atas sampai bawah.

Lalu mencibir sinis.

“Bisa hancur generasi muda kalau... duh saya nggak tega meneruskan kalimatnya.” gumam Pak Zair.

“Kalo guru BK-nya kayak lintah ditabur garam macam lu!” aku melanjutkan kalimatnya. Biar saja.

“Sewot aja sih lo! Eh, gimana kalau stand kita warnain pakai warna Orange. Jakmania ooooy! Teruuuus kita pakai wallpaper motif batik warna orange, gorden warna orange, setiap tamu yang hadir kita kasih suguhan kue cucur?”

“Kue cucur warna orange toping sunkist?” aku bergumam malas.

“Begitu juga boleeeeeh, kyahahaha seruuuu!” Jenny bersemangat sendirian.

“Kita didaftarin buat pentas nari kicir-kicir loh pas pembukaan,” kata Pak Zair.

Sedaaaaapppp.

Aku duduk sambil mengompres kepalaku dengan tisu basah.

**

“Sayangku tidur siang ternyata,”

Aku langsung duduk tegak saat kudengar ada suara di dekat telingaku.

Kurasakan tissue basah jatuh dari dahiku dan aku terbelalak mencari asal suara.

Siapa yang beraninya menyebut aku dengan ‘sayangku’?!

“Arieeeeel, Hay ganteng kamu sudah maksi beluuum?” Jenny langsung menghampiri si tersangka pembisik kalimat laknat.

Ariel yang berdiri di belakangku maju ke depan dan duduk di tepian mejaku sambil tersenyum ke arah Jenny. “Belum. Mau nemenin bu? Atau mau traktir?” senyumnya beneran licik.

Ia menatap ke arah Jenny seakan ada es krim sundae berlari ke arahnya, alias, aku bisa melihat kilatan nafsu di matanya. Aku bersumpah ada ekspresi wajah yang terang-terangan mengindikasikan kalau ia tertarik.

“Kamu bukannya di skors ya?” tanya Pak Zair ke Ariel.

“Ya Pak, tapi sore ini ada meeting Osis, kami diminta untuk berpartisipasi di acara debat terbuka dalam Lokakarya Guru,” kata Ariel.

Bu Jenny maju dan kuku panjangnya menepis rambut di dahi Ariel. Sekilas, ia tampak menggigit bibirnya sendiri.

Perlu dipecat kayaknya guru begini mah. Bikin jelek nama sekolah.

Tapi Arielnya juga tidak menghindar, malah ia menatap lurus ke arah Bu Jenny seakan menunggu aksi berikutnya.

“Kamu kesini ada perlu apa, Ariel?” Aku membetulkan posisi dudukku dan menyeruput tehku yang sudah dingin di atas meja.

“Saya perlu materi karena debatnya mengenai Ekonomi di masa pandemi,” kata Ariel.

Bohong.

Anak sepertinya tidak mungkin butuh materi.

Tapi karena tidak enak dengan yang lain jadi aku beranjak ke arah lemari buku di seberang sana. Isinya penuh dengan jurnal penelitian dan buku para pakar ekonomi. Sekolah kami memang sangat loyal kalau masalah pembelian buku.

“Bahan untuk pergerakan ekonomi...” aku bergumam sendiri sambil mencari bahan debat.

Ariel berdiri di dekatku, sementara aku masih bisa mendengar di ujung sana, kalau diputuskan warna stand lokakarya adalah Orange ber-wallpaper batik, hanya karena yang lain sudah kehabisan ide.

“Nanti malam main yuk?” kata Ariel dengan suara rendah.

“Main? Ke Mall? Ajak lah pacarmu? Harus saya gitu?”

“Ya iya, kamu kan istriku. Atau kamu mengizinkan aku main dengan cewek lain?”

Aku langsung membeku.

Seketika aku  sadar yang dia maksud main, bukanlah jalan-jalan ke Mall.

Dadaku rasanya sesak.

“Aku nanti malam ada janji dating sama Arka.” Kataku menolak ajakannya. “Aku tolak. Maaf. Yang kemarin itu pertama dan terakhir,”

“Kamu istriku. Tidak seharusnya menolakku,”

“Kamu bisa dengan yang lain, kuizinkan,”

“Malah menyuruhku berbuat dosa...”

“Pernikahan kita terpaksa,” desisku pelan, “Hal itu juga membuat ikatan menjadi tidak sah!”

“Kita melakukan ijab kabul secara sadar. Kamu tahu kan apa artinya?”

“Kenapa sih kamu menggangguku? Hah?! AKu ini tidak penting bagimu! Hubungan kita hanya sebatas bisnis!”

“Sejak bersamamu, aku sudah kehilangan rasa dengan yang lain.”

Aku menarik nafas.

“Memang kenapa, Ariel?” aku semakin merendahkan suaraku, “Kamu ketagihan? Apa aku perawan pertama dalam hidupmu? Mohon maaf makanya cari cewek yang bener, main celap-celup melulu sampai nggak tahu rasanya bercinta dengan wajar!” aku sengaja berbicara tajam padanya, agar dia pergi.

Tapi di luar dugaanku, dia malah cengengesan.

“Makasih sudah menyimpan keperawanmu... untukku. Bukan buat Arka. Nanti malam aku ke rumah kamu. Batalkan semua janji.”

Dengan kasar kulempar buku ke dadanya, dan aku keluar dari ruang guru. Tidak peduli apakah ada yang melihat kejadian ini atau tidak.

Terpopuler

Comments

Vie ab

Vie ab

Lakikkkk betty hahahah

2024-03-30

0

Naftali Hanania

Naftali Hanania

wahahahahaha.....sadizzz...tp bener...🤣🤣🤣🤣🤣

2024-02-07

0

Ersa

Ersa

bocil naf suan🤭

2023-09-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!