"Re!" panggil Cantika tapi Rhea tetap menyembunyikan wajahnya.
"Udah ya, tenang ya, lo gak sendiri, gue di sini, semua akan baik-baik aja!" lanjut Cantika sambil perlahan berniat merangkul sahabatnya itu.
"Gak ada yang baik-baik aja, gue bikin Richie—" ucap Rhea sedikit menunjukkan wajahnya lalu kembali menunduk sambil menangis.
"Kepergian Richie bukan salah lo, sampai kapan lo mau kayak gini, Re!" jawab Cantika sedikit kesal lalu menggenggam tangan Rhea yang tengah bertumpu diatas lutut wanita itu.
"Richie ... siapa?" gumam Daffin menatap Rhea yang tampak hancur dimatanya.
"Please ... mau sampai kapan lo kayak gini? Kita udah pernah bahas ini. Kepergian Richie bukan salah lo. Dia terluka karena—" Cantika sedikit menekan emosi dan rasa kesalnya.
"Gue! Semua gara-gara gue, stop bikin gue keliatan bodoh dan jadi orang gak tahu malu, Ka!" teriak Rhea menatap sahabatnya dengan tajam.
"Semua salah gue, apa lo gak bisa lihat itu? Bahkan semua orang sampai orangtuanya Richie juga nyalahin gue, Ka. Apa lo masih bisa bilang semua baik-baik aja dimata lo, hah?" lanjut Rhea dengan napas tersengal-sengal karena menahan amarah.
"Apa lo gak mau jauhin gue kayak yang lain, Ka?" tanya Rhea menurunkan nada bicaranya sambil menunduk dan kembali memeluk lutut erat.
"Kenapa gue harus menjauh?" tanya Cantika menatap lekat.
"Gue gak mau lo kena masalah. Bahkan Shena CS juga ngerasa keusik dan sekolahnya jadi berantakan gara-gara gue," jawab Rhea merutuki diri.
"Stop mikirin orang lain! Apalagi cicak rese itu. Lo tahu sendiri mereka kayak apa, kan? Mereka cuman mau ganggu lo dan nyalahin semua yang terjadi karena kelakuan mereka sendiri, lo gak harus kemakan omongan mereka!" teriak Cantika tidak bisa menahan rasa kesalnya.
"Gue gak pernah nyangka ternyata Rhea gampang terpengaruh secara mental kayak gini. Dia yang berani berdebat sama lo kalau urusan nilai sekolah ternyata—" bisik Agam yang dapat didengar ketiga temannya.
Daffin sedikit melirik ke sekitarnya ternyata banyak penghuni asrama yang datang melihat semua ini. Tidak sedikit dari mereka menggunjing bahwa Rhea terkena penyakit mental, kehilangan kewarasan dan sejenisnya.
Merasa panas dan tidak tega melihat Rhea terus menjadi tontonan, Daffin melangkah masuk lalu menggendong Rhea tanpa memedulikan tatapan terkejut semua orang.
"Lo mau ngapain?" tanya Cantika menahan Daffin yang telah berdiri berniat membawa sahabatnya itu.
"Gue ambil alih sekarang. Lo tenang aja, dia akan baik-baik aja!" jawab Daffin mengabaikan rasa khawatir Cantika.
Sedangkan Rhea hanya diam tanpa berkomentar apapun ketika Daffin menggendongnya. Dia justru menutup matanya dan sedikit bersandar didada Daffin.
Daffin membawa Rhea keluar dari asrama diikuti Cantika yang tidak berhenti memanggilnya tapi diabaikan oleh pria itu.
"Tika!" William menahan tangan Cantika yang berusaha lari menyusul Daffin.
"Lepasin!" Cantika menghempas genggaman William.
"Daffin!" teriak Cantika lagi dan berniat mengejar kembali.
"Lo gak harus ngejar mereka. Biarin Daffin nenangin dia dulu!" jawab William kembali menahan Cantika.
"Gimana gue bisa tenang kalau Rhea pergi sama cowok kayak gitu!" tegas Cantika menatap tajam.
"Daffin bukan cowok brengsek atau gak tahu malu kayak yang lo pikirin!" jawab William mengimbangi nada bicara Cantika.
"Lo bisa seyakin itu karena dia temen lo!" teriak Cantika.
"Sstttttt udah, jangan ribut!" tegas Agam menghentikan perdebatan tersebut.
"Iya kalian jadi pusat perhatian," bisik Galen menghindari kontak mata dengan semua orang yang berkumpul didepan asrama Cantika.
Menyadari hal itu, Cantika dan William menetralkan suara lalu menyentuh tengkuk mereka masing-masing.
Cantika membungkuk pelan dan berusaha tersenyum. Dia mengunci pintu kamar dan kembali membungkukkan badan lalu pergi diikuti William CS.
Setelah berada di luar asrama, Cantika mengedarkan pandangan mencari keberadaan Daffin. Dia berjalan dengan perasaan khawatir dan panik.
"Kemana dia membawa Rhea?" tanya Cantika menarik kerah baju William.
"Lo tenang dulu!" William mencoba sabar menghadapi Cantika.
"Ikut gue!" lanjutnya menarik tangan Cantika untuk mengikuti langkahnya.
Sementara itu, Daffin dan Rhea berada di rooftop tempat sebelumnya mereka bertemu ketika tengah malam. Dia menurunkan Rhea perlahan sambil menahan tubuh wanita itu sedikit lemas untuk berdiri.
"Duduk sini!" Daffin membantu Rhea duduk perlahan. Kemudian dia ikut duduk dibelakangnya dan membiarkan wanita itu bersandar padanya.
"Fin, gue ngerasa risi. Lo duduk samping gue aja!" ucap Rhea berniat keluar dari kungkungan Daffin.
"Duduk diam!" jawab Daffin memeluk Rhea dari belakang sambil duduk.
"Itu mereka!" Cantika berniat menghampiri Daffin dan Rhea tapi langsung dicegah William.
"Biarin aja. Lo percaya sama gue!" ucap William.
"Kalau dia berani macam-macam, gue bakalan hajar dia dan lo gak boleh nahan gue!" jawab Cantika menatap tajam.
"Um!" William mengangguk dan mereka pun melihat interaksi keduanya dari pintu masuk rooftop.
"Lo kenapa marah-marah kayak tadi? Kasian Cantika sampe mau nangis gitu," ucap Daffin membuka pembicaraan dengan nada lembut.
"Gue cuman marah sama diri sendiri. Gue gak mau Cantika kena getahnya," jawab Rhea sedikit menundukkan pandangan.
"Lo mau Cantika menjauh?" tanya Daffin dan dijawab dengan anggukan oleh wanita dalam pelukannya itu.
"Hah, dasar bego!" Cantika kembali tersulut emosi melihat jawaban Rhea tapi William kembali menahan langkahnya.
"Kenapa?" tanya Daffin.
"Karena Richie!" jawab Rhea tanpa pikir panjang.
"Richie? Siapa dia?" tanya Daffin menatapnya cukup penasaran.
"Dia sahabat gue dan orang yang Cantika kagumi!" jawab Rhea dengan mata berkaca-kaca.
Daffin menatap terkejut dan disisi lain William juga menatap Cantika penuh tanda tanya. Sedangkan Rhea dan Cantika menunjukkan ekspresi yang sama. Mereka tertunduk dengan tatapan sedih lalu menghela napas panjang.
Cantika luruh ke lantai dan duduk bersandar ke dinding dengan wajah menunduk. William jongkok didepannya menatap Cantika penuh rasa penasaran.
"Siapa Richie?" tanya William menatap lekat.
"Sahabat gue," jawab Cantika.
"Orang yang lo kagumi?" tanya William lagi memperjelas.
"Orang yang mencintai Rhea," jawab Cantika memeluk kedua lututnya.
"Hah, maksudnya?" tanya William. Agam dan Galen juga saling menoleh tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Cantika.
"Richie, gue dan Cantika teman baik ketika tinggal di panti. Di usia 8 tahun, Richie diadopsi. Gue sama Cantika ikut seneng karena liat Richie kegirangan. Orangtuanya juga keliatan baik dan sayang banget sama dia, itu cukup melegakan," jelas Rhea.
"Terus kalian gak ketemu lagi?" tanya Daffin.
"Kami masih sering ketemu. Kita bertiga ikut komunitas bela diri yang cukup terkenal di kota. Kami juga sering ikut kompetisi dan keluar sebagai juara tiga besar. Richie selalu jadi yang pertama, disusul Rhea dan gue. Semua mata bangga dari ibu panti dan orangtua Richie selalu begitu hangat buat kami, hingga peristiwa itu terjadi," lanjut Cantika.
"Peristiwa apa?" tanya William.
"Gue dan Richie cukup dekat. Sebenarnya gue yang deketin dia dengan alasan latihan bela diri. Dia pria yang lembut dan hangat. Dia memperlakukan gue dan Rhea sama. Hingga satu hari gue tahu kalau dia punya perasaan lebih sama Rhea, disaat gue juga siap ungkapin rasa itu," jawab Cantika.
"Ungkapin rasa diusia sekecil itu?" tanya William dan Cantika hanya tersenyum.
"Gue bukan orang yang mudah didekati dan mudah disenangi. Gue selalu dianggap berandalan dan dibenci semua orang. Hanya Rhea dan Richie yang mau nemenin orang kayak gue. Mereka yang ngasih gue kehidupan dan hari-hari bahagia yang gak pernah gue rasain," jawab Cantika.
"Bahkan perasaan yang bertepuk sebelah tangan ini gak bikin gue marah ataupun benci. Gue malah bahagia ngeliat Richie ceria didekat Rhea. Sejak saat itu, gue mati-matian ngubur perasaan ini dan terus yakin kalau gue baik-baik aja," lanjut Cantika.
"Gue bener-bener gak tahu kalau Richie punya perasaan lebih sama. Ngeliat kedekatan Richie dan Cantika bikin gue mikir kalau mereka pacaran. Gue seneng karena liat Cantika bahagia sama dia. Tapi ternyata ...." jelas Rhea mengingat kembali masa lalu.
"Aku suka kamu!" ucap Richie dengan senyum manis dan polosnya.
"Hah, gimana bisa? Aku kira kamu sama Cantika—" jawab Rhea mengerutkan kening.
"Nggak kok, aku cuman nemenin latihan dia aja. Cantika bilang dia bosan nomor tiga terus. Kamu tahu dia benar-benar berkembang pesat, keknya kita harus hati-hati bisa-bisa dia yang juara satu hari ini," jawab Richie tersenyum.
"Ooh!" jawab Rhea mengangguk paham.
"Setelah kompetisi, aku mau denger jawaban kamu ya!" ucap Richie lagi sambil menggenggam tangan Rhea.
"Hah, tapi—"
"Bye!" pungkas Richie menyela dan pergi begitu saja.
Rhea hanya memandang bingung sahabatnya itu. Dilain sisi, dia juga memikirkan perasaan Cantika yang dia tahu betul kalau sahabatnya itu mencintai Richie.
Rhea menjauhkan semua pemikirannya dan langsung kembali berkumpul dengan peserta lain karena kompetisi akan segera dimulai.
Mereka sampai ditahap satu lawan satu. Masing-masing dari mereka akan bertarung bahkan dari club yang sama untuk mendapat gelar juara.
Pertarungan terus berlanjut sesuai urutan poin yang diraih. Bagi peserta yang menang akan mendapat tambahan 10 poin yang membuat urutannya naik hingga mendapat nilai tertinggi.
Rhea, Richie dan Cantika berhasil bertahan hingga empat besar. Kompetisi semakin panas dengan teriakan para pendukung yang begitu penasaran dengan juara yang akan lahir sebentar lagi.
"Kita bertiga masuk, lo harus menang lawan Richie," ucap Cantika.
"Lo gak mau liat dia menang?" tanya Rhea menoleh.
"Gue mau sih, tapi lo juga sahabat gue. Tapi siapapun yang menang gak masalah sih buat gue asal masih salah satu dari kalian," jawab Cantika tersenyum lebar.
"Labil lo!" jawab Rhea.
"Richie kenapa ya, kok dari tadi batuk kayak nyesek gitu sih?" gumam Cantika.
"Iya ya, gue kira gue aja yang merhatiin," jawab Rhea.
"Gue denger dia langsung datang setelah sakit dua hari kemarin, apa dia belum sembuh sepenuhnya?" lanjut Cantika.
"Hah dia sakit? Tahu dari mana?" tanya Rhea terkejut.
"Yaelah gue kan ...." jawab Cantika cengengesan.
"Ummm dasar. Gue doain lo jadi sam dia, ya!" ucap Rhea merangkul sahabatnya itu.
"Makasih!" Cantika membalas pelukan Rhea.
"Sorry, gue gak bisa matahin hati Cantika. Dia punya rasa yang begitu besar buat lo dan dia pantes dapetin kebahagiaan ini dari lo, Ri!" gumam Rhea dalam hati sambil memerhatikan Richie.
"Lalu?" tanya Daffin memerhatikan wajah Rhea yang terus menunduk.
"Gue dinyatakan menang tapi ...." jawab Rhea.
"Richie meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit," lanjut Cantika.
"Hah?" William CS terkejut mendengarnya.
"Dokter menemukan sebuah penyakit yang bersarang dalam tubuh Richie. Selama ini dia menanggung penyakitnya itu tanpa dipedulikan oleh orangtua angkatnya. Mereka hanya peduli pada kejuaraan dan terus menekan Richie dengan latihan keras. Hal itu yang membuat penyakitnya kian parah," jelas Cantika.
"Tapi semua itu ditutupi rapat dan orangtua Richie malah menyalahkan Rhea atas semuanya. Mereka membuat pernyataan jika Rhea memiliki dendam pribadi dan berniat membunuhnya. Sejak saat itu, Rhea mengalami depresi dan terus menyalahkan diri sendiri," lanjut Cantika.
"Semua orang bilang gue salah. Mereka bilang gue terlalu berambisi bahkan ada yang bilang gue pembawa sial. Karena kejadian itu, gue menutup diri dan mundur dari semua kompetisi. Gue takut ketemu orang. Gue takut mereka dapet hal buruk gara-gara gue!" jawab Rhea.
"Rhea terus mendapat teror dan cemoohan. Kata-kata jahat, kasar dan menjijikan juga banyak dilontarkan terhadapnya. Bahkan masa-masa SMP harus dia tanggung dengan berbagai perilaku bullying yang dilakukan teman sebaya kami," lanjut Cantika.
"Semua orang membenci dan Rhea hanya menelan semuanya tanpa perlawanan. Gue sering belain dia dan menjauhkan semua hal yang mengganggunya tapi itu gak bikin Rhea ngelupain semuanya," jelas Cantika lagi.
"Gue cuman beban. Harusnya gue yang mati saat itu bukan Richie!" pungkas Rhea.
"Gue—"
"Lo sempurna ... dan bukan cuman gue yang bisa liat itu!" ucapnya lagi. Terdengar begitu manis tapi tidak berhasil membawa senyuman di wajah Rhea.
"Mungkin ini terdengar template. Tapi yang dialami Richie bukan salah lo. Dia emang udah waktunya pergi. Lo gak harus terus-menerus terpuruk kayak gini!" lanjut Daffin.
"Gue salah Fin!" ucap Rhea tanpa menoleh.
"Lo gak salah!" jawab Daffin.
"Gue pembunuh!" lanjut Rhea.
"Lo bukan orang kayak gitu. Bahkan gue yang baru kenal sama lo aja tahu," jawab Daffin.
"Karena lo baru kenal gue, lo gak tahu apa-apa!" jawab Rhea menatap Daffin tajam.
"Lo gak tahu apa-apa!" lanjutnya memperjelas.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments