Daffin

Sementara itu, Rhea dan Daffin saling memberi tatapan tajam dengan bibir yang mengerucut. Keduanya memalingkan wajah bersamaan, seperti dua bocah yang tengah merajuk satu sama lain.

Cantika dan Agam CS hanya bisa menahan tawa karena perilaku dua orang yang terus berdebat dari awal pengerjaan tugas hingga selesai.

"Akhirnya selesai," ucap Cantika yang langsung mematikan laptop dan semua orang langsung membereskan semua alat tulis mereka.

Ditengah aktivitas tersebut, tiba-tiba dering panggilan masuk ke handphone Rhea, "Halo?" sapanya menjawab telepon tersebut.

"Apa? Iya, iya, aku usahakan, ya ... okeh sampai nanti!" jawab Rhea yang langsung membawa buku-buku untuk dikembalikan dan langsung menarik Cantika untuk segera pergi bersamanya.

"Hey, kalian mau kemana?" teriak Daffin menatap kepergian dua wanita itu.

"Mukanya Rhea berubah kayak khawatir gitu gak sih, setelah dapet telepon?" ucap Galen yang langsung diiyakan oleh William dan Agam.

Empat pria itu saling melempar tatapan dan langsung beranjak dari tempatnya menyusul kepergian Rhea dan Cantika.

Rhea dan Cantika berlari di lorong menuju perpustakaan untuk mengembalikan buku. Kemudian lanjut lari mencari seseorang.

"Itu dia!" ucap Cantika menunjuk ke ujung lorong depan yang menampakkan seorang pria tengah berjalan santai sambil memainkan ponselnya.

Di sisi lain, Daffin CS juga sampai di lorong yang sama dan melihat Rhea Cantika, "Itu mereka!" ucap Galen melihat punggung dua wanita yang dicarinya.

"Eh ... malah lari lagi," sahut Agam memerhatikan dua wanita itu berlari menuju seorang pria.

"Ayo!" ajak Wiliam hendak mengejar.

"Tunggu!" Daffin menghentikan langkah teman-temannya sambil memerhatikan dua wanita tersebut.

"Pak Dio!" panggil Rhea menghentikan langkah pria yang tengah asyik dengan ponselnya tersebut.

"Iya!" Dio menoleh ke sumber suara.

"Pak, maaf mengganggu. Kami ... mau minta izin pulang hari ini—" ucap Rhea gugup.

"Sebentar lagi ujian, kalian gak bisa keluar dari asrama di waktu kayak gini!" jawab Dio menyela dengan perasaan tidak enak.

"Pak, please Pak. Kami bener-bener harus pulang. Sebentar aja gak papa kok, Pak. Tolong, Pak!" pinta Cantika menyatukan kedua telapak tangannya.

"Sebelum jam 10 malam. Bapak gak bisa kasih izin lebih dari itu, gimana?" ucap Dio menawarkan.

Rhea dan Cantika saling menoleh tampak memikirkan tawaran tersebut. Terlihat raut wajah bingung dari keduanya, antara kecewa dan panik.

"Ya sudah Pak, kami mohon izin ya!" jawab Rhea memutuskan.

"Baiklah. Ingat ya, sebelum jam 10 harus sudah pulang!" pungkas Dio dan mendapat anggukan kepala dari keduanya.

"Terimakasih banyak, Pak!" Rhea dan Cantika pun berpamitan lalu segera pergi.

"Pulang? Kenapa mereka mau pulang?" gumam Daffin.

"Bukannya kita ada jadwal ujian minggu depan, ya?" pikir Agam.

"Terus?" tanya Wiliam.

"Yang gue tahu sih, semua siswa terutama yang tinggal di asrama 'tidak dianjurkan' untuk pulang. Katanya sih, biar pada fokus belajar," jelas Agam.

"Terus kenapa mereka tetep maksa pulang?" pikir Galen juga. Semua orang pun saling menatap dan berpikiran hal yang sama.

"Apa ada sesuatu?" pikir Daffin dengan raut wajah khawatir.

"Eehh?" Tiga sahabatnya langsung menoleh dengan tatapan heran dan masih tidak disadari Daffin.

"Uwaahh ada apa nih? Khawatir banget ya, Pak?" tanya Galen menggoda.

"Iya!" jawab Daffin masih terkunci pandanganya pada dua wanita yang berlari menuju luar sekolah.

"Eh?" Daffin terkejut dengan ucapannya sendiri dan langsung menoleh pada teman-temannya yang tengah heboh karena dirinya.

"Cieee ciee cieee!!!" ucap tiga temannya itu.

"A-apaa sih?" Daffin berusaha menyembunyikan rasa gugupnya dan berlalu pergi menuju parkiran, diikuti ketiganya sambil tertawa.

Rhea dan Cantika berhenti di sebuah rumah bertuliskan Panti Asuhan Cemara. Keduanya langsung masuk ke area bangunan itu dengan tergesa-gesa.

Area dalam panti cukup luas dengan beberapa ruangan mengelilingi lapangan yang berukuran sama untuk main sepakbola.

Dua wanita ini berlari menuju salah satu ruangan di sana yang tengah dijaga oleh petugas kesehatan.

"Ibu!" panggil Rhea dan Cantika bersamaan memasuki ruangan tersebut.

Dua gadis itu berdiri di sisi kanan dan kiri ranjang pasien yang tengah ditempati seorang wanita paruh baya berjilbab dengan wajah pucat.

"Ibu Lusi ...," lirih Rhea dengan mata berkaca-kaca.

"Kalian berdua kenapa di sini?" tanya Lusi dengan nada lemas.

"Kita ke sini mau lihat Ibu. Kita khawatir!" jawab Cantika dengan nada lembut sambil menggenggam tangan Lusi, lembut.

"Ya ampuuuunnnn, ini pasti kerjaannya mbak Icha, deh?" gumam Lusi menatap Rhea dan Cantika penuh kasih sayang.

"Kalian tuh gak perlu ke sini, Ibu gak papa kok. Apalagi minggu depan udah ujian, kan?" lanjutnya sambil menggenggam tangan Rhea dan Cantika.

"Tunggu ... kalian gak lari dari asrama, kan? Bukannya kalian udah gak bisa pulang karena ujian?" Lusi menatap kedua wanita itu penuh selidik.

"Nggak kok, Bu ... kami dapet izin buat ke sini tapi gak bisa lama," jelas Rhea dengan nada lembut.

"Kami harus pulang sebelum jam 10 malam nanti. Maaf ya, Bu ... kami—" sambung Cantika.

"Nggak papa. Ibu ngerti. Lagi pula, kalian emang udah harus fokus buat ujian. Ibu minta doanya aja, ya!" jawab Lusi menyela.

"Itu pasti Bu, kita doain supaya Ibu cepat sembuh!" jawab Rhea.

"Udah itu, jangan capek-capek lagi, ya. Jangan handle semuanya sendiri. Di sini udah banyak pegawai yang bisa bantu, jadi gak perlu Ibu capek ikut urus semua hal di sini!" lanjut Cantika.

"Iya iya iya!" Lusi menganggu sambil tersenyum melihat kedua wanita itu.

Sementara itu, Daffin tengah menikmati waktu bersama tiga temannya di salah satu cafe milik keluarga Wiliam.

Mereka berkumpul di ruang privat sambil bermain biliar dan minum wine. Ruangan tersebut dipenuhi suara penuh kompetisi dari Agam CS kecuali Daffin.

Pria itu memilih kesendirian di balkon sambil menyesap segelas wine ditangannya. "Gak perlu telepon kalau kalian gak pulang. Aku gak peduli!" tegas Daffin menjauhkan ponsel dari telinganya lalu dimasukkan ke dalam saku celananya.

"Menyebalkan!" lanjutnya kembali menatap langit malam lalu meneguk habis wine di tangannya.

"Gak pulang?" tanya Wiliam berdiri di samping Daffin.

"Kapan sih mereka tahu pulang?" jawab Daffin menoleh dan tersenyum smirk tapi tatapannya penuh kekecewaan.

William hanya bisa mengangguk kecil sambil menepuk bahu sahabatnya itu. "Lo yakin minum wine hari ini? Mau gue pesenin espresso aja kayak biasa?" tanya William mengalihkan topik.

"Gak perlu ... gue mau nenangin diri dulu," jawab Daffin menggelengkan kepala pelan.

"Tapi jangan sampai mabuk ya, paham?" ucap William memperingatkan dan dijawab dengan anggukan kepala dari Daffin.

William kembali ke dalam ruangan melanjutkan permainan biliar bersama Agam dan Galen dengan sesekali melirik Daffin memastikan sahabatnya itu tidak menghabiskan satu botol wine seorang diri.

Daffin terlihat menyesap gelas wine keduanya masih sambil menikmati pemandangan langit malam dan larut dalam lamunannya sendiri.

"Harusnya ... gue gak perlu balik, kan? Mereka aja masih gak peduli, jadi ngapain gue di sini!" gumam Daffin.

"Apa salah ... kalau gue tetep egois buat narik perhatian kalian?" lanjutnya dengan tatapan sendu.

***

"Gue seburuk itu, ya? Sampai mereka lakuin ini," gumam Rhea meratapi nasibnya yang malang. Daffin hanya bisa diam menatap wanita dihadapannya itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!