"Udah dong, marahnya!" Rhea mencolek tangan Cantika yang langsung ditepis oleh sahabatnya itu.
"Ka ...." Rhea menarik napas tapi langsung diam karena disela.
"Lo tuh bisa gak sih, sekali aja ngelawan. Jangan diam aja. Orang kayak dia tuh pantes buat dihajar, tahu gak?" gerutu Cantika yang masih diselimuti rasa kesal.
"Gue cuman males ribut. Lagian dibalas atau nggak, Shena tetap bakalan gangguin kita lagi dan lagi. Lo gak bosen apa, ngeladenin dia terus?" jawab Rhea mencoba membuat sahabatnya itu mengerti alasannya.
"Tapi tetap aja ... seenggaknya kalau lo ngelawan, orang-orang gak akan ngeliat lo rendah dan bersikap lebih dari batasannya. Hanya karena kita siswa jalur beasiswa, bukan berarti kita gak punya suara di sini!" jawab Cantika menatap Rhea serius.
"Um gue tahu ... dan lo emang bener. Tapi gue cuman gak mau, akibat ngeladenin Shena kita kehilangan nama baik di sekolah ini," jawab Rhea membalas tatapan sahabatnya sambil mengelus tangan Cantika, lembut.
"Udah yaa ...!" Rhea kembali menenangkan Cantika sambil tersenyum lalu memberi pelukan agar perasaan mereka menjadi lebih baik.
Bel masuk pun berbunyi, semua siswa kembali ke kelas masing-masing. Shena CS masuk dengan wajah cemberut. Mereka menatap Rhea dan Cantika yang duduk di barisan kedua kursi keempat.
"Malu-maluin, gue gak terima ... liat aja, gue bakalan bales mereka!" ucap Shena merasa geram karena Cantika berhasil membuatnya malu didepan semua orang.
"Itu harus ... orang kayak mereka gak bisa dibiarin, kalau nggak image kita bisa jelek dan makin banyak orang yang bakalan lebih berani nentang kita," sahut Dyra.
"Lo bener, kalau itu terjadi ... abis reputasi kita!" timpal Gwen.
"Itu gak akan dan gak boleh terjadi!" pungkas Shena berdecak kesal.
Lalu dia pergi duduk ke tempatnya bersama Gwen di barisan keempat kursi kedua dan Dyra di belakangnya.
Tidak lama, Pak Dio yang kali ini mengisi kelas pun masuk diikuti empat orang pria yang seketika membuat heboh suasana kelas.
"Udah udah, sstttttt!" Pak Dio menaruh jari telunjuk didepan bibirnya sebagai tanda semua orang diminta diam.
"Bener-bener ya, gak bisa banget liat yang bening-bening langsung pada heboh aja. Giliran Bapak yang masuk, gak ada tuh sambutan riuh kayak gini," lanjutnya.
"Yee beda lah, Pak. Dilihat gini aja, Bapak tahu kan bedanya dimana?" sahut Dyra dan langsung memancing tawa semua orang.
Dio melihat dirinya yang berbaris bersama empat pria itu. "Pantesan aja!" ucapnya langsung mengalihkan pandangan.
"Minder ya, Pak?" lanjut Dyra melihat ekspresi Dio dan semua orang kembali tertawa dibuatnya.
"Eehh udah udah, kamu nih kalau ngeledekin gak pernah setengah-setengah, ya!" jawab Dio.
"Yaudah, kalian pasti udah tahu. Empat orang disebelah Bapak ini adalah murid baru yang akan masuk di kelas kita. Silahkan, perkenalkan diri dulu!" ucap Dio.
Perkenalan dimulai dari sisi kanan Dio, "Halo semuanya, nama gue Agam!"
"Gue, Galen!" lanjut orang disebelah Agam.
"Gue, Wiliam!"
"Gue, Daffin!" ucap orang terakhir yang tampak tidak tertarik dengan sesi tersebut tapi berhasil memecah teriakan para siswi di kelas ini.
Semua orang mengagumi ketampanan dan aura cool dari seorang Daffin. Mereka bahkan tidak segan memuji pria itu secara terang-terangan. Semua orang terhipnotis kecuali Rhea dan Cantika.
Sama seperti Daffin yang tampak cuek dan tidak tertarik untuk berinteraksi didepan kelas, Rhea Cantika juga tampak berekspresi biasa saja ditengah riuh kelas yang terjadi.
Dio kembali mengambil alih kelas dan mempersilakan Daffin CS duduk dibarisan pertama kursi empat dan lima.
Tempat duduk Daffin bersebelahan dengan Rhea tapi keduanya masih tidak tertarik untuk saling melihat satu sama lain.
Berbeda dengan siswi lain yang melihat Rhea penuh keberuntungan karena bisa bersebalahan dengan Daffin CS.
Kalimat seperti, "Iihhh iri banget deh!" atau "Iyaa tahuuu, gue mau banget duduk di sana!" tidak segan keluar dari mulut mereka.
Namun, Shena CS justru menatap penuh kekesalan karena lagi-lagi Rhea Cantika menjadi pusat perhatian.
"Ish nyebelin banget, sih!" gumamnya sambil berdecak kesal dan dibalas anggukan oleh Dyra dan Gwen.
Dio pun mencoba mengambil alih perhatian para siswanya dengan memulai mata pelajaran hari ini. Kelas berlangsung cukup kondusif, semua orang fokus memerhatikan pemaparan materi dengan baik.
Memasuki jam terakhir dari mata pelajaran Dio, semua siswa dibagi menjadi beberapa kelompok untuk mengerjakan tugas presentasi yang akan dikumpulkan besok lusa.
"Kelompok Tiga. Anggotanya, Rhea, Wiliam, Galen, Agam, Cantika dan Daffin—" ucap Dio sambil melihat daftar absensi.
"Aahhhhhhh!!!" keluh semua siswa langsung menyela kalimat gurunya itu.
"Gak bisa gitu dong, Pak. Kok semuanya jadi kelompok Si Upik, sih? Bapak gak adil!" teriak Shena.
"Iya niihhhh, bapak pilih kasih!" sahut Dyra.
"Aahhhhh bapak, nih!" keluh semua orang dengan wajah cemberutnya.
"Sstttttt udah, udah. Ini kelompoknya udah bener kok. Kalian juga bakalan dapet anggota kelompok yang sama rata," ucap Dio.
"Bukan masalah sama ratanya, Pak. Tapi kenapa Baby Daffin juga ikut kelompok Si Upik, gak bisa gitu dong. Harusnya dia itu masuk kelompok saya, Pak!" jawab Shena.
"Uuuhhhhhhh!" protes semua orang pada Shena.
"Apaan sih, sirik aja!" sahut Shena merajuk.
"Udah, udah. Shena, kamu gak boleh kayak gitu, ya. Panggil upik upik, gak baik. Main ganti nama orang aja, upik, baby, apa-apaan itu!" gerutu Dio.
"Yee biarin aja, sih!" sahut Shena mengerucutkan bibirnya.
"Udah, udah, pokoknya nama-nama dari kelompok yang Bapak bikin ini mutlak, gak bisa diganti atau diganggu gugat, paham?" lanjut Dio.
"Iyaa!" jawab semua orang lemas.
"Daffin, gimana? Paham?" tanya Dio tersenyum menampilkan barisan giginya.
"Gak masalah, Pak!" jawab Daffin singkat masih dengan ekspresi cueknya.
"Kalau gitu ... kita lanjutkan. Kelompok Empat ...." Dio kembali menyebut nama-nama muridnya hingga bel selanjutnya berbunyi.
Daffin melirik siswi disebelahnya yang tengah menuliskan nama-nama anggota kelompok tadi. Dia juga melihat siswi tersebut menghela napas dan menutup bukunya seiring Dio yang keluar dari kelas.
Kelas kembali berlangsung dengan mata pelajaran dan guru yang berbeda, semua siswa kembali fokus belajar hingga hari menjelang sore dan sekolah berakhir.
Setelah mata pelajaran terakhir selesai, semua siswa membereskan alat tulisnya dan secara bertahap mereka meninggalkan kelas.
"Tunggu!" ucap Rhea menghentikan langkah Daffin yang hendak keluar dari kursinya.
"Um?" Daffin menoleh sambil mengangkat sebelah alisnya dan kembali duduk di kursinya.
"Sebelumnya kenalin, gue, Rhea dan dia Cantika. Kalian tahu kan, kita satu kelompok di tugas pak Dio? Dan—" ucap Rhea yang berdiri di depan meja Daffin.
"Intinya?" tanya Daffin menyela dengan ekspresi malas dan membuat Rhea menghela napas.
"Kita kerjakan hari ini!" jawab Rhea to the point.
"Gak bisa, gue sibuk!" Daffin beranjak dari kursinya.
"Tunggu!" Rhea menghadang jalan Daffin keluar dari mejanya.
"Tugas ini dikumpilin lusa, kalau nggak hari ini, kapan lagi?" lanjutnya.
"Masih ada dua hari, kebut semalam juga beres itu tugas!" jawab Daffin menyelekan.
"Gak usah dibikin ribet!" lanjutnya sambil melipat kedua tangannya dan hendak melangkah tapi kembali dihadang.
"Lo pikir tugas cuman ini aja? Pokoknya kita kerjain hari ini. Kalau kalian gak ikut, gue gak akan tulis nama kalian di proyek tugasnya!" ancam Rhea.
Cantika tersenyum smirk melihat sikap Rhea yang tegas jika menyangkut masalah nilai sekolah seperti ini. Sementara Galen CS justru merasa takjub karena baru kali ini ada orang yang berani mendebat sahabat mereka itu.
"Lo berani lakuin itu?" Daffin sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Rhea sambil menatap tajam.
"Kenapa gak berani? Gue gak butuh orang-orang yang cuman numpang nama doang!" jawab Rhea melipat kedua tangan menyembunyikan perasaan gugupnya karena ditatap begitu dekat.
"Kalau kayak gitu, lo juga gak bakalan dapet nilai, kan? Lo yakin?" Daffin kembali berdiri tegak, melipat tangan sambil tersenyum smirk menatap wanita didepannya.
"Seenggaknya gue dan Cantika bakalan dapet nilai pengerjaan. Tapi kalian ... gak dapet apa-apa. Oh tunggu, kayaknya sih hukuman berjemur di lapangan bakalan cocok buat kalian," jawab Rhea diakhiri tawanya bersama Cantika.
"Berani lo ngomong kayak gitu?" Daffin kembali mendekat dengan tatapan tajamnya.
"Heh, santai dong!" Cantika menghalangi Rhea dan mendorong Daffin perlahan menggunakan jari telunjuknya.
"Hey!" Galen CS juga bereaksi dengan sikap Cantika yang berani melakukan itu pada Daffin.
"Oups!" Cantika melebarkan kedua telapak tangannya lalu menjauh sambil menoleh pada tiga pria dibalik Daffin.
"Sstt!" Rhea kembali ke depan Cantika dan menatap Daffin.
"Pukul dua siang—" ucap Rhea.
"Di lapangan basket sekolah," jawab Daffin menyela.
"Lapangan basket?" Rhea mengerutkan kening.
"Mau atau nggak, terserah lo. Gue bakalan latihan basket di sana dan lo ... bawa semua yang dibutuhin buat tugas ini!" jawab Daffin lalu melangkah lebih dekat.
"Kami ini murid baru, jadi gak tahu apa-apa. Makanya gue serahin persiapan tugas sama lo, ya!" lanjutnya dengan ekspresi meledek.
Daffin CS tertawa dan melangkah keluar kelas meninggalkan Rhea yang wajahnya sudah berubah merah menahan kesal.
"Ish, tu orang bagus diliat aja tapi gak ada akhlak!" gerutu Rhea sambil menghentakkan kakinya.
"Tapi gue seneng, dia bisa bikin jati diri lo keluar," sahut Cantika yang juga tertawa kecil melihat ekspresi wajah sahabatnya itu.
"Lo suka liat gue kesel kayak gini, hah?" Rhea menoleh lalu menyilangkan kedua tangan.
"Itu juga. Tapi gue seneng lo berani mendebat orang kayak gini, selama mereka emang salah—" jawab Cantika.
"Gue belajar dari lo!" ucap Rhea menyela lalu diakhiri tawa keduanya.
"Yaudah yuk, kita pergi!" Cantika merangkul sahabatnya itu meninggalkan kelas.
***
"Mana boleh gitu, buruan ganti?" protes Daffin.
"Ya lo gak bilang dari awal, kalau kayak gini kan harus diedit lagi!" gerutu Rhea kesal.
"Ya lo gak tanya!" sahut Daffin sedikit meninggikan suara karena terpancing emosi.
"Gue udah tanya, ya. Lo malah fokus ke handphone terus dari tadi!" jawab Rhea tidak kalah nyolot dan keduanya saling menatap tajam karena kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments