Si Tengil & Tuan Pemarah
Seorang gadis cantik memakai helm full face sedang mengendarai Ducati berwana merah dengan kecepatan tinggi, di belakangnya terdapat mobil polisi yang mengejarnya. Sesekali gadis itu melihat kaca spion untuk memastikan jika ia sudah terlepas dari kejaran polisi yang sedari tadi mengikutinya. Gadis tersebut adalah Embun Raina Cahyani, seorang gadis yang kini berusia 22 tahun. Putri tunggal seorang bisnisman Bagas Cahyono dan mendiang Dian Maharani.
Lampu merah dipersimpangan jalan menunjukan warna hijau dan tinggal menunggu beberapa detik lagi sebelum kembali berubah warna menjadi merah, Embun memperdalam gas motor miliknya dan berhasil melewati lampu merah tanpa harus terjebak lebih dulu. Ia mengendurkan stang motornya dan menengok ke belakang, terlihat jika saat itu mobil polisi yang sebelumnya mengejarnya terjebak macet bersama beberapa pengendara lainnya.
“Haha… Emang enak, salah siapa main-main sama gue. Dan loe Jaguar, loe emang yang paling the best dah, nggak sia-sia gue selama ini ngrawat loe.” Embun tersenyum sambil menepuk-nepuk body motor yang ia beri nama Jaguar, seolah motor yang saat ini ia tunggangi bisa mendengar pujian darinya.
Tak ingin membuang waktu lebih lama lagi kini Embun kembali mengendarai motor kesayangannya menuju kampus. Embun merupakan mahasiswa tingkat akhir di salah satu Universitas terkenal di kota X.
20 menit Embun mengendarai motor akhirnya ia sampai di tempat parkir. Kedatangannya langsung disambut dengan suka cita oleh Nina yang juga terlihat barusaja sampai di kampus. Mereka berjalan beriringan memasuki area kampus menuju ruang kelas karena memang mereka mengambil jurusan yang sama.
“Woi, ngapain loe pada disini?” Jessy dan Juna yang saat itu sedang ngobrol santai di depan ruangan kelas sontak saja kaget hingga menjingkat.
“Sialan loe Mbun, kaget ekey. Kalau Ekey jantungan gimana?” Tanya Juna mendramalisir dengan gayanya yang lemah gemulai.
“Ya kalau loe jantungan, terus nanti m*ti tinggal di kubur dong Jun. Gitu aja repot.” Ucap Embun sambil mengedikan bahu acuh.
“Emangnya Loe sakit jantung ya Jun, kok gue baru tau ya?” Tangan Nina terulur menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal sama sekali.
“Sembarangan loe Mbun. Kalau ekey m*ti nanti yei-yei pada nggak bakalan bisa nemuin sahabat kayak ekey lagi.” Juna berucap dengan mengibaskan rambut miliknya yang sebenarnya tidak panjang. “Dan loe Nin, kapan sich yei bisa lebih pinter dikit. Pusing tau nggak?” Juna memijat kedua pelipisnya yang terasa pening tentu saja dengan gerakan tangan yang terlihat anggun layaknya seorang perempuan.
“Juna, loe bener-bener dah. Semakin hari gue lihat loe makin serem aja.” Ujar Jessy.
“Serem kenapa?” Tanya Embun dan Nina berbarengan.
“Ya serem aja. Tingkah loe semakin gemulai, gue aja kalah.”
“Haha… loe bener Jey. Fix, kayaknya kalau Indriana tahu dia bakalan illfeel banget sama loe. Cowok yang selama ini dia deketin, yang dia anggap maco, cool, ganteng, emh… ternyata.” Embun menatap Juna dari atas sampai bawah seolah membatin.
“Ternyata apa hah?” Tanya Juna sewot saat melihat ketiga sahabatnya mengulum senyum dan menatapnya aneh.
“Awas aja kalau loe pada ngomong yang iya-iya sama semua orang tentang gue. Loe, loe, loe dan gue END.” Juna menunjuk satu persatu sahabatnya kemudian memberi isyarat tangan yang sedang menggorok leher seolah mengancam, tentu saja ia mengucapkan kalimat itu dengan suaranya yang ngebass tidak seperti beberapa waktu yang lalu dimana ia terdengar gemulai, layaknya seorang artis yang beberapa waktu lalu sempat viral, eh.
“Buseet dah suara kodamnya keluar.” Ucap Nina.
“Haha…” Ketiga cewek-cewek itu tertawa renyah mendengar ancaman Juna yang bagi mereka tidak menakutkan.
“Iih. Nyebelin dech.” Juna berdiri menghentakan kaki, kesal dengan sahabatnya.
“Udah-udah. Mau sampai kapan kita disini. Mending sekarang kita masuk kelas.” Ucap Embun.
“Aellah, sok Rajin loe Mbun. Biasanya juga loe yang paling mager.” Ucap Juna sontak mendapatkan pelototan mata dari Embun.
“Iya dech ayo kita masuk kelas sekarang.” Nyali Juna yang tadinya setinggi langit seketika menciut setelah mendapatkan pelototan mata dari Embun.
“Gue tu bukannya mager, Cuma males aja.”
“Sama aja dodol.” Ucap mereka serempak.
Begitulah keempat sahabat yang selama ini terlihat tidak akur namun tetap selalu saling support, jika dipertemukan selalu ramai dan saling mendebatkan sesuatu yang tidak penting, namun penuh kejutan. Persahabatan mereka terjalin sedari sekolah menengah atas, mereka dipertemukan saat masa orientasi siswa sewaktu SMA.
Mereka berjalan memasuki kelas masing-masing. Embun dan Nina memilih jurusan ekonomi bisnis, Juna Fashion Designer, sedangkan Jessy memilih jurusan kedokteran.
***
Sore hari Embun dan kawan-kawan berada di coffeshop yang dekat dengan area kampus, mereka berbincang dengan asiknya sambil menyesap minuman yang kata orang penuh akan filosofi itu.
“Hufft, gila bu Betty bener-bener killer. Selama ini gue cuma tahu dari orang-orang kalau dia itu dosen yang super duper killer, dan sekarang gue ngrasain sendiri seberapa killer dia.” Ucap Juna mengawali pembicaraan mereka sore itu.
“Kok gitu?”
“Iya, dan loe tahu yang lebih parah dari itu?” Juna melihat satu persatu sahabatnya dan menghela napas panjang sebelum kembali bercerita.
“Tadi waktu gue lihat pengumunam, ternyata dosen pembimbing gue itu dia. OMG Hello Milo. Gue nggak kebayang gimana nasib gue selanjutnya. Kayaknya sebentar lagi gue bakalan ko*it dah.” Juna memegang dua sisi kepalanya yang tampak pening.
Hahaha…
“Masih mending loe sama dosen yang killer tapi perhatian kayak bu Betty setidaknya dia nggak nyusahin loe, nah gue dapet DPA (Dosen Pembimbing Akademik) yang kecentilan macam bu Shintia. Loe tahu sendiri setiap ada cogan (cowok ganteng) lewat, kita sebagai kaum ciwi-ciwi serasa musnah.” Ucap Nina.
“And you know what guys?” Melihat ketiga orang yang ada di hadapan Nina saat ini menggelengkan kepalanya dengan ekspresi wajah penasaran membuat Nina semakin antusias menceritakan apa yang dia alami barusaja.
“Barusan banget gue disuruh sama dia buat bantuin bawain buku tugas anak-anak yang menggunung bahkan kepala gue sampe kelelep, dan parahnya lagi di tengan jalan dia malah asik ngobrol bareng pak Eko sampe sejam lebih tanpa peduliin gue yang sedang menderita akibat pegel saat itu. Nyebelin banget kan?”
“Kenapa loe nggak langsung naruh buku tugasnya ke ruangan bu Shintia aja, dodol?” Tanya Juna.
“Oh iya, gue lupa!” Nina hanya bisa nyengir kuda saja saat melihat ketiga sahabatnya menepuk dahi mereka masing-masing yang disertai gelengan kepala.
“Mending itu mah, loe tahu kan yang namanya pak Arif?” Tanya Jessy.
“Pak Arif Robot?” Tanya mereka bebarengan. “Jangan bilang…” Jessy mengangguk membenarkan. Sontak saja mereka kompak menghela napas panjang. Sebuah helaan napas seolah beban berat sudah dapat dipastikan akan menghiasi perjalanan dalam menulis tugas akhir mereka. Namun itu hanya berlangsung sebentar karena setelahnya tawa mereka meledak memenuhi seisi cafe.
Hahaha…
Merasa ada sesuatu yang aneh, Nina, Juna dan Jessy menengok ke arah Embun yang sedari tadi hanya diam tanpa berkomentar, namun tak urung ia juga ikut mendengarkan cerita para sahabatnya.
“Loe gimana Mbun? Dari tadi diem aja, lagi sarimalem loe?” Tanya Juna.
“Sariawan kali..” Ucap Embun membenarkan. “Gue mah aman, DPA gue juga aman.”
“Dari tadi aman mulu. Emang siapa DPA loe?” Tanya Juna semakin dibuat penasaran dengan jawaban ambigu Embun. Nina yang sudah tahu siapa DPA Embun hanya diam saja.
“Pak Adnan.” Jawab Embun enteng.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments