"Hallo, Pa," sapa Yudha berusaha tetap lembut walau kepalanya sedang runyam.
"Ah hallo, Yudha ... syukurlah kau cepat mengangkat telepon papa." Meski sang papa belum mengatakan dengan jelas apa maksud dan tujuan menghubunginya, tapi suara yang terdengar di sana sudah cukup untuk Yudha menarik kesimpulannya.
"Aku sudah selesai, ada apa, Pa?" Sedikit basa-basi, meski Yudha sudah bisa menerka apa pembahasan papanya sebentar lagi.
"Kapan kau pulang? Kau tahu om Dimas sudah bertanya pada papa kapan kau siapnya? Jangan terlalu banyak berpikir, kasihan Soraya."
Yudha menggigit bibir bawahnya, setelah mendengar ucapan sang papa dia baru menyadari jika dia sudah membuat kesalahan besar. Bukan hanya soal Kalila, tapi juga Soraya. Wanita cantik yang kala itu datang dan bersedia dipersunting dalam waktu dekat, bodohnya Yudha yang sudah putus asa dan merasa tidak akan mampu jatuh cinta lagi asal iya-iya saja tanpa berpikir panjang ke depannya.
"Yud? Kau dengar papa?" tanya Papa Atma di seberang sana, terdengar jelas jika pria itu tampak khawatir pada putranya.
"Batalkan saja, Pa ... aku belum mau menikah," ucap Yudha pelan, penuh kehati-hatian karena khawatir telinganya akan sakit setelah ini.
"Kau gila? Kenapa baru sekarang jika memang tidak mau!!" Papa Atma terdengar panik, dia memelankan suara bahkan terdengar sedikit berbisik.
"Maaf, Pa."
Yudha tahu dia salah, besar kemungkinan papanya kecewa kali ini. Bagaimana tidak, beberapa bulan lalu Yudha mengiyakan keinginan papanya dan dengan tegas menjawab jika dia bersedia untuk menikah dengan putri konglomerat dari kota Surabaya, Soraya Anandita.
Namun, detik ini semudah pula dia membatalkan sesuatu yang sudah pernah diumumkan. Ya, tahap hubungan mereka hampir melangkah ke pertunangan, hanya menunggu Yudha siap saja sebenarnya.
"Kau pikir semudah itu? Apa yang akan papa katakan pada mereka nanti, Yudha?" tanya Papa Atma begitu pelan, tidak lagi terdengar berisik karena mungkin dia sudah menepi dari gerombolan orang-orang di sekitarnya.
"Papa katakan saja jika aku tidak bisa, selebihnya biar menjadi tanggung jawabku, Pa."
Tidak ada jawaban segera, hanya helaan napas kasar dari sang papa yang terdengar di sana. Yudha tidak menduga jika hari ini dia akan memilih mengakhiri rencana perjodohannya. Entah apa yang Yudha pikirkan, agaknya lidah Yudha begitu lancang akhir-akhir ini.
"Berikan satu alasan yang lebih masuk akal ... jika memang ada papa akan pertimbangkan," tegas sang papa kemudian, meski terdengar menakutkan, tapi yang pasti kali ini Yudha memiliki celah untuk lepas dari perjodohan kuno semacam itu.
"Mentalku belum siap menikah, Pa," ucapnya ragu dan sedikit bergetar, terlalu kentara dan jelas jika Yudha berada di persimpangan dilema saat ini.
"Jika hanya itu, papa tidak bisa kabulkan permintaanmu. Alasan itu terlalu klise, kau sudah dewasa!! Keponakanmu sudah hampir satu tahun. Perasaan itu memang biasa hadir beberapa saat sebelum menikah, tapi ketika sudah kau jalani maka semua perlahan akan tertata, percaya pada papa."
Panjang lebar sang papa bicara, Yudha hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Sejak awal dia juga paham sebenarnya, begitu banyak contoh yang sudah dia jadikan kacamata, pernikahan terkadang tidak butuh cinta dan mental akan tetap siap dengan sendirinya.
"Tenangkan dirimu, papa tidak tahu apa yang kau lihat sampai mendadak berubah pikiran begini ... kau sudah punya Soraya, jadi fokus saja dengan rencana perni_"
"A-aku punya pilihan sendiri, Pa!!" Yudha memejamkan mata, sejak tadi dia menimbang ucapan sang papa dan pada akhirnya mengambil keputusan.
"Hah? Bisa kau ulangi, Yudha? Punya apa?" tanya Papa Atma dengan nada yang kini terdengar berbeda.
"Aku sudah punya calon istri ... pilihanku sudah mantap, aku tidak mencintai Soraya. Lagi pula mana mungkin aku bisa menjadi suami yang baik untuknya jika di hatiku ada wanita lain, Pa," papar Yudha begitu tertata, sebuah kebohongan yang dia lakukan tanpa sengaja dan agaknya akan berkepanjangan nantinya.
"Calon istri?"
"Hm, dia sedang di rumah sakit ... aku akan membawanya pada papa setelah dia sembuh nanti," jawab Yudha seraya memejamkan mata.
Dia paham jika ucapan kali ini adalah keputusan yang akan dia ambil dan harus dijalani seumur hidup. Sama sekali tidak masalah jika memang harus demikian, tiba-tiba saja dia terpikirkan wajah cantik berlumur darah yang berakhir di pangkuannya sore itu.
Yudha tidak mengerti perasaan apa yang ada dalam dirinya. Antara kasihan dan merasa bersalah, tapi yang jelas hancurnya impian Kalila membuat Yudha tidak yakin bisa menjalani hidup bahagia ke depannya. Padahal, belum tentu juga Kalila menerimanya.
"Papa mungkin kecewa, tapi kali ini kumohon izinkan aku menentukan kebahagiaanku sendiri." Yudha berucap seolah benar-benar tengah berada di jalan yang tepat, matanya yang tajam kini terus memandangi liontin berukirkan nama seorang wanita yang dia pilih sebagai takdirnya.
"Iya, setelah ini papa akan bicara pada om Dimas." Setelah cukup lama terdiam, Papa Atma mengutarakan kalimat yang berhasil membuat jiwa Yudha mendadak tenang.
Tidak ada drama pertikaian keluarga, tidak ada juga kemarahan besar-besaran walau tahu tindakannya kali ini teramat fatal. Yudha menghela napas berat usai membicarakan hal yang luar biasa penting, bahkan dapat dikatakan sebagai langkah awal dalam hidupnya.
.
.
Sebagaimana pengakuannya, Yudha memiliki pilihan sendiri. Dua hari berlalu, dia benar-benar kembali ke tanah air. Jika biasanya tujuan utama Yudha adalah Semarang, kali ini berbeda.
Kembali ke Jakarta dengan kisah yang sama sekali tidak dia duga. Langkah kakinya membawa Yudha ke sebuah rumah sakit terbesar di ibu kota, sejak tadi dia berdiri menatap seorang gadis yang termenung dalam diam dengan manik indah tapi seolah kehilangan dunianya.
"Sudah dua hari putriku begitu ... Juan tidak berpikir sedikitpun tentang perasaannya." Yudha tersentak mendengar pengakuan pria gagah yang dia ketahui sebagai ayah dari Kalila.
Rasa bersalah itu semakin berkuasa, Yudha mengatur napas sebelum kemudian mengekor di belakang punggung pria itu. Lidahnya sudah gatal sejak tadi, Yudha ingin bicara serius pada orangtua dari wanita itu.
"Pak Gian bisa kita bicara?"
"Bisa, katakan saja," ucap pria itu menatap datar Yudha yang sempat dia tampar beberapa minggu lalu, hanya kemarahan sesaat karena memang tengah gelap mata.
"Saya tahu ini sedikit lancang, tanpa bermaksud menyakiti hati Anda ... izinkan saya bertanggung jawab penuh atas hidup Kalila," ucap Yudha tegas, tanpa ragu dan sedikitpun tidak takut andai wajahnya kembali menjadi sasaran telapak tangan pria di hadapannya.
"Bertanggung jawab penuh? Maksudmu bagaimana?" tanya pria itu mengerutkan dahi, ucapan Yudha sungguh membuatnya bingung seketika.
"Izinkan saya menikahi putri Anda, secara baik-baik dan saya akan menerima Kalila bagaimanapun keadaannya," tutur Yudha begitu tertata, sontak ucapannya membuat pria itu tercengang bahkan hampir tidak percaya.
"Tunggu!!"
.
.
- To Be Continued -
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Erna Wati
kama bukan yang jadi sutradara ameera dan cakra ya maaf lupa lupa ingat soal nya
2024-08-26
0
M.Rasya Sopyan (adhell)
berarti Juan bukan yang terbaik untuk Kalila ...
2024-05-05
0
Nanik Kusno
good Yudha
2024-04-07
0